KOMPAS.com- Epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, karakter Covid-19 tampaknya tidak akan pernah menjadi endemi, dan berulang kali lonjakan kasusnya sebagai epidemi.
Hal ini disampaikan Dicky dalam update tinjauan epidemiologis pandemi Covid-19 kepada Kompas.com, Minggu (20/2/2022).
Infeksi virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 ini dinilai Dicky Budiman tidak akan pernah menjadi endemi, karena tren kasusnya justru menunjukkan potensi Covid-19 sebagai penyakit epidemi.
"Jadi karakter asli dari Covid-19 ini cenderung lebih bersifat menyebabkan lonjakan-lonjakan kasus. Itulah yang disebut epidemi," kata Dicky kepada Kompas.com, Selasa (23/2/2022).
Untuk diketahui, endemi adalah penyakit yang muncul dan menjadi karakteristik di wilayah tertentu, misalnya penyakit malaria di Papua, dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit ini akan selalu ada di daerah tersebut, namun dengan frekuensi atau jumlah kasus yang rendah.
Sedangkan, epidemi terjadi ketika suatu penyakit telah menyebar dengan cepat ke wilayah atau negara tertentu dan mulai memengaruhi populasi penduduk di wilayah atau negara tersebut.
Contoh penyaki epidemi sebelumnya yaitu flu burung (H5N1) di Indonesia pada tahun 2012, Virus Ebola di Republik Demokratik Kongo (DRC) pada 2019, SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) pada tahun 2003, dan penyakit Ebola di Negara Afrika.
Baca juga: Menebak Masa Depan Covid-19 di Indonesia, dari Pandemi Menjadi Epidemi
Menjelaskan soal Covid-19 menjadi epidemi, Dicky menerangkan bahwa, untuk menyebutkan suatu penyakit sebagai endemi, seharusnya infeksi atau penularannya sifatnya statis.
Suatu penyakit disebut endemi ketika angka reproduksinya 1 atau di bawah 1 (< 1). Dengan begitu, kasus infeksinya akan mendatar datanya, tidak mengalami lonjakan-lonjakan yang fluktuatif sifatnya.
Data statis endemi ini juga berdasarkan kesepakatan, entah itu 10, 50 atau berapa per kapita, dan itu diatur sesuai kesepakatan.
"Endemi itu bagaimana sesuai kesepakatan. Global akan memberikan panduan, misalnya 10 per kapita di anggap (penyakit) endemi dan terkendali, dan itu yang akan jadi patokan dan reproduksinya (penularannya) itu harus satu atau di bawah satu," jelasnya.
Dicky menegaskan bahwa sebenarnya endemi itu bukanlah suatu target yang harus dituju, karena itu nanti pasti ada saja yang mengalami keparahan dan harus di bawa ke ICU bahkan meninggal dunia.
Sedangkan, epidemi lebih ke hal yang menyerupai Kejadian Luar Biasa (KLB) karena terjadi lonjakan-lonjakan pada fase-fase tertentu, mungkin 4-6 bulan sekali dan lain sebagainya.
"Dan sekarang (Covid-19) itu, epidemi namanya. Tapi, makin lama makin kecil gelombangnya," kata dia.
Baca juga: Belajar Melawan Stigma Pandemi Covid-19 dari Epidemi HIV di Indonesia
"Itulah karakter asli dari Covid-19," tambahnya.
Ini berarti Covid-19 masih akan menemukan orang yang tidak divaksinasi atau sudah divaksin dan menyebar dengan cepat pada kelompok itu.
Dikcy berkata, sulit bagi kita di seluruh negara tidak hanya Indonesia untuk menerima bahwa pandemi Covid-19 ini semakin besar peluangnya tetap menjadi epidemi bukan endemi.
Akan tetapi, kata Dicky, bukan berarti kita membiarkan semua orang mengalami penyakit akibat infeksi Covid-19 ini, dan kita harus tetap berupaya mengendalikan potensi lonjakan kasusnya terus terkendali.
Untuk itu, strategi penanganan Covid-19 tetap yang terutama adalah mengendalikan transmisi ini sebisa mungkin, dan tidak menyepelehkan penanganannya seolah sudah epidemi atau endemi.
Baca juga: Meski Omicron Bergejala Covid-19 Ringan, Epidemiolog Sebut Infeksinya Masih Berbahaya
"Jangan diarahkan penanganannya seolah sudah endemi. Karena, endemi itu tetap serius berbahaya. Bukan berarti tidak berbahaya dan harus dihindari semaksimal mungkin," ucap dia.
"Kalupun kasus infeksinya masih ada, ya kalau bisa jangan di Indonesia. Itu yang harus dituju, termasuk menghindari terjadi epidemi juga," imbuhnya.
Setiap infeksi epidemi mengikuti pola ini kecuali dihilangkan dengan vaksinasi atau dikurangi dengan tindakan nonfarmasi.
Ia menegaskan, Iinfeksi alami tidak pernah menghilangkan infeksi apapun, dan sepertinya kita akan melihat pola berlanjut untuk SARS-CoV-2.
Oleh karena itu, vaksin, masker, dan publik lainnya tindakan kesehatan diperlukan.
Baca juga: Kasus Covid-19 Melonjak, Epidemiolog Ingatkan Ancaman Gelombang Ketiga
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.