Di dalam 28 dokumen Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, hanya sepuluh provinsi di Indonesia yang mengalokasikan ruang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove. Totalnya tercatat seluas 26.924,27 hektar.
Sisanya, 18 provinsi di Indonesia tidak mengalokasikan ruang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove di dalam Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
"Fakta ini menunjukkan perlindungan mangrove di Indonesia hanya narasi indah di atas kertas," kata dia.
Baca juga: Karakteristik Hutan Mangrove yang Harus Kamu Ketahui
Sampai saat ini, pemerhati dan aktivis lingkungan juga masih menolak beberapa poin di dalam UU Cipta Kerja.
Menurut WALHI, diterbitkannya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun 2020 lalu akan menjadi penghambat dari target rehabilitasi mangrove ini.
"Pasal 5 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan, akan menghancurkan hutan mangrove di Indonesia," jelasnya.
Selain beberapa persoalan di atas, ada banyak lagi penghalang atau penghambat target rehabilitasi mangrove di Indonesia 2024 nanti.
Parid menyebutkan, masih ada masalah ekspansi industri pertambakan udang dan ancaman pembangunan ibu kota negara baru di Balikpapan.
Dengan beberapa catatan di atas, WALHI menilai bahwa pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, tidak betul-betul serius melakukan rehabilitasi hutan mangrove di Indonesia.
"Maraknya proyek reklamasi, pertambangan migas, pertambangan pasir, pertambangan nikel, tidak adanya ruang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove dalam Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta adanya IUP seluas 48.456,62 hektar, menjadi bukti buruknya komitmen pemerintah," kata Parid.
Ia menambahkan, hadirnya UU Cipta Kerja yang mengutamakan investasi ekstraktif dan eksploitatif semakin mempertegas, bahwa rencana pemerintah untuk merehabilitasi hutan mangrove hanya komitmen di atas kertas.
Oleh karena itu, jika pemerintah hendak merehabilitasi hutan mangrove, maka WALHI mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mencabut berbagai izin proyek yang merusak dan menghancurkan mangrove, termasuk mencabut peraturan perundangan serta kebijakan yang mempercepat kerusakan mangrove di Indonesia, terutama mencabut UU Cipta Kerja yang memberikan keleluasaan penghancuran mangrove.
Lebih jauh, kata Parid, peraturan yang bertentangan dengan mandat rakyat dalam konstitusi harus segera dievaluasi.
Sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945, yang lebih mengutamakan prinsip kekeluargaan dalam pengaturan tata kelola sumber-sumber penghidupan, yang termasuk sumber daya alam di dalamnya.
Baca juga: Permukaan Laut Naik, Hutan Mangrove Berpotensi Hilang pada 2050
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.