Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gelombang Omicron Diprediksi Puncaknya Februari hingga Maret 2022, Apa yang Perlu Dilakukan?

Kompas.com - 17/01/2022, 16:01 WIB
Zintan Prihatini,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

Meskipun 90 persen pasien Omicron tidak bergejala lantaran sudah memiliki imunitas dari vaksin atau infeksi sebelumnya.

"Tapi proses infeksi yang terjadi dalam tubuhnya tidak berbanding lurus dengan gejala. Artinya, dampak ini bisa jangka pendek di mana dia tetap terdampak secara kesehatan di dalam tubuhnya atau setidaknya berpotensi besar menularkan pada orang di sekitarnya," terang Dicky.

"Hal ini tentu dinilai dapat menyebar kepada mereka yang berisiko tinggi," sambung dia.

Kelompok rentan terhadap Omicron

Lebih lanjut, Dicky menyatakan beberapa kelompok seperti lansia, orang dengan komorbid, atau mereka yang imunitasnya lemah berpotensi membebani fasilitas pelayanan kesehatan, harus di rumah sakit, hingga meninggal.

Di samping itu, peningkatan kasus Omicron di Indonesia yang harus diwaspadai adalah banyak kelompok masyarakat di Indonesia yang masuk kategori berisiko dan belum divaksinasi Covid-19 seperti anak-anak, bayi, maupun ibu hamil.

"Ini yang terlihat di banyak negara. Kasus Omicron dampaknya lebih berat terlihat pada anak dibandingkan Delta karena mayoritas belum divaksinasi. Bahkan di Australia kematian pada anak lebih signifikan terjadi setelah kemunculan varian Omicron," kata Dicky.

Kemudian, Dicky juga memaparkan bahwa sistem pelayanan kesehatan berpotensi kewalahan apabila kasus Omicron semakin melonjak. Dampak varian Omicron juga dinilai lebih besar pada aspek kesehatan masyarakat, dan sektor lainnya termasuk perekonomian.

Baca juga: Kasus Omicron di Indonesia Mayoritas Berasal dari Turki, Apa Penyebabnya?

Di sisi lain, varian virus baru ini juga menyebabkan dampak jangka menengah, yang pada akhirnya akan menjadikan virus menginfeksi dengan bebas tanpa terkendali.

"Ini membuat virus bereplikasi dan bermutasi yang dari sekian miliar mutasi akan ada satu atau dua yang akhirnya melahirkan varian baru yang lebih merugikan. Itu yang terjadi dari semua Variant of Concern, bisa lahir di mana saja yang mengabaikan sistem deteksi ini," lanjutnya.

Sementara itu, efek jangka panjang dari minimnya deteksi adalah melahirkan tsunami Long Covid. Kondisi ini diketahui dapat mengganggu fungsi atau kerusakan pada organ vital penderitanya.

"Itulah sebabnya kenapa 3T itu tidak bisa diremehkan, tidak bisa diabaikan karena bukan masalah kita performanya baik dari angka saja. Yang harus dipastikan adalah kita temukan kasus sehingga kita selesaikan masalah pandemi ini dengan tidak melahirkan masalah baru di kemudian hari," ungkap Dicky.

Selain itu, dia mengingatkan program vaksinasi Covid-19 dan booster yang saat ini masih terus berjalan dapat membantu pemerintah untuk menekan lonjakan kasus Covid-19 akibat Omicron.

Mengantisipasi puncak gelombang Omicron di Indonesia, Dicky mengimbau agar masyarakat disiplin protokol kesehatan dengan 5M yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjauhi kerumunan, menjaga jarak, dan mengurangi mobilitas untuk mencegah paparan Covid-19.

Baca juga: Omicron di Indonesia Capai 254 Kasus, Ini Gejala yang Paling Banyak Dikeluhkan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com