Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WHO: Pandemi Bikin Kematian akibat Tuberkulosis Meningkat

Kompas.com - 18/10/2021, 09:02 WIB
Monika Novena,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan mengenai kematian global akibat tuberkulosis (TB).

Dalam laporan tersebut, WHO menyebut bahwa kematian akibat tuberkulosis atau TB meningkat untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade.

Meningkatnya kematian akibat tuberkulosis merupakan dampak dari pandemi Covid-19 yang berpengaruh pada layanan pengujian dan perawatan pasien TB.

Mengutip The Independent, Minggu (17/10/2021) sekitar 1,5 juta orang meninggal karena penyakit TB pada tahun 2020. Jumlah tersebut naik dari tahun sebelumnya, yaitu 1,4 juta orang.

Baca juga: Tuberkulosis Tulang, Gejala, dan Perawatannya

Peningkatan kematian tersebut terjadi terutama di 30 negara dengan beban tuberkulosis tertinggi.

Proyeksi pemodelan juga menunjukkan bahwa jumlah orang yang meninggal karena penyakit tersebut dapat meningkat pada 2021 dan 2022.

Meski mengalami kenaikan jumlah kematian, WHO mencatat bahwa diagnosis baru tuberkulosis turun dari 7,1 juta menjadi 5,8 juta selama periode yang sama. Sedangkan jumlah orang yang mengakses pengobatan pencegahan juga menurun 21 persen menjadi 2,8 juta orang.

"Ini adalah berita yang mengkhawatirkan yang harus menjadi peringatan global akan kebutuhan mendesak mengenai investasi dan inovasi untuk menutup kesenjangan dalam diagnosis, pengobatan, dan perawatan bagi jutaan orang yang terkena penyakit kuno ini," ungkap Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.

Penyakit TB sendiri sudah menjangkiti manusia selama ribuan tahun.

Tuberkulosis pertama kali terbukti dapat disembuhkan pada akhir 1950-an. Sekitar 85 persen orang yang terinfeksi berhasil diobati dengan program obat enam bulan dan bisa membatasi penularan infeksi.

Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium tuberculosis. Infeksi bakteri menyebar melalui droplet dari batuk atau bersin dari orang yang terinfeksi.

Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat menyerang bagian tubuh lainnya, seperti ginjal atau otak.

Sebelum munculnya Covid-19, tuberkulosis merupakan penyakit menular paling mematikan yang beredar di antara manusia. Sekitar 90 persen yang terkena tuberkulosis tinggal di 30 negara, termasuk India, Nigeria, Afrika Selatan, dan Vietnam.

Namun, sebagai akibat Covid-19, target global untuk menanggulangi TB semakin tak terjangkau.

WHO menyebut dampak pada layanan tuberkulosis pada tahun 2020 sangat parah, lebih sedikit orang yang didiagnosis dan diobati.

Padahal, WHO sendiri memproyeksikan 'Strategi Akhir TB' yang ditetapkan pada tahun 2015 dapat mengurangi 90 persen kematian karena TB dan 80 persen infeksi pada tahun 2030.

Sebagai bagian dari laporannya, WHO pun mengurai dua tantangan utama yang muncul sepanjang 2020 dalam mengatasi tuberkulosis.

  1. Pertama, perpindahan sumber daya manusia dan keuangan dari layanan TB ke Covid-19.
  2. Kedua, ketidakmampuan orang untuk mencari dan mengakses perawatan secara teratur selama lockdown.

Baca juga: Respon Tuberkulosis di Indonesia Lebih Buruk Selama Pandemi Covid-19

Badan amal internasional Medecins Sans Frontieres (MSF) menyayangkan bahwa ada jutaan orang harus meninggal setiap tahun karena penyakit yang dapat disembuhkan.

"Dengan peningkatan kematian akibat TB yang mengkhawatirkan pada tahun 2020 akibat pandemi Covid-19, lebih banyak yang harus dilakukan untuk menutup kesenjangan pengujian yang mematikan dan memastikan lebih banyak orang yang terinfeksi TB didiagnosis dan diobati," tambah Stijn Deborggraeve, penasihat diagnostik MSF.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com