Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa Manusia Indonesia? Studi Ungkap Tak Ada Pribumi atau Nonpribumi

Kompas.com - 15/08/2021, 17:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Jejak genetika yang ditinggalkan nenek moyang dalam setiap sel orang Indonesia membuktikan mereka adalah pendatang. Klaim sebagai manusia Indonesia asli terbukti tidak memiliki dasar ilmiah.

Sarie Febriani samar-samar ingat cerita tentang sebagian leluhurnya berasal dari negeri Champa. Kisah ini disampaikan oleh neneknya lebih dari 30 tahun silam. Usianya ketika itu barangkali belum genap 10 tahun.

Disampaikan berulang-ulang oleh sang nenek, kata Champa — kini berada di wilayah Vietnam — akhirnya menjadi akrab dan menetap di benaknya.

Namun Sarie kecil saat itu tak menunjukkan minat untuk mencari tahu tentang negeri jauh itu.

"Saya enggak terlalu mikirin, kuanggap hanya dongeng seorang nenek," kata Sarie, seraya tergelak, mencoba membayangkan lagi apa yang dia pikirkan dahulu di hadapan neneknya.

Baca juga: Faktanya, Semua Orang Indonesia Imigran, Tidak Ada yang Pribumi

Puluhan tahun kemudian, ketika Sarie merasakan kebutuhan untuk mengetahui lebih mendalam tentang dirinya dan leluhurnya, 'dongeng' mengenai negeri Champa itu — ternyata — bukanlah isapan jempol.

Informasi itu tidak dia dapatkan dari buku sejarah, tulang-belulang, atau artefak leluhur serta tumpukan arsip, tapi dari jejak genetik yang ditinggalkan nenek moyangnya di dalam tubuhnya sendiri.

Seperti diketahui, setiap orang membawa catatan dalam hampir setiap sel tubuhnya, dan Sarie memanfaatkan temuan para ahli genetika yang mampu membaca cerita yang tercatat dalam DNA manusia.

Asam deoksiribonukleat, lebih dikenal dengan DNA (deoxyribonucleic acid), adalah gudang maya tak terbatas yang menyimpan informasi biomedis dan jejak sejarah manusia — tak mungkin terhapus.

Melalui uji atau tes DNA, Sarie seperti terhubung kembali dengan nenek moyangnya sekaligus membuka "file tersembunyi" yang selama ini tak diketahuinya tentang siapa dirinya — juga kebenaran cerita sang nenek tentang Champa.

"Ternyata sesuai banget dengan cerita nenek dulu," ujar Sarie, kelahiran 1977, usai membaca hasil uji DNA-nya.

Latar belakang genetik Sarie memperlihatkan bahwa di dalam tubuhnya mengalir jejak moyang berbeda, yaitu dari Asia Tenggara (93,7 persen) dan Asia Timur (6,25 persen).

 

Sarie Febriane (kanan) dan neneknya, Niniek Soewarni, dalam sebuah acara keluarga pada 1993.Arsip Sarie Febriane via BBC Indonesia Sarie Febriane (kanan) dan neneknya, Niniek Soewarni, dalam sebuah acara keluarga pada 1993.

"Gen dari Asia Tenggara itu ada dari Thai, Malaysia, Kamboja, Burma. Semuanya 61,56 persen. Tapi Vietnam paling besar, yaitu 32,19 persen," ungkap jurnalis surat kabar Kompas ini.

"(Gen) Vietnamnya gede banget!"

Belakangan, ibu dua anak ini mengorek informasi lebih mendalam kepada ibunya tentang kepastian pertautan antara leluhurnya di Keraton Pakubuwono, Solo, dan negeri Champa.

Dan, petikan-petikan dongeng neneknya, serta sudut-sudut negeri Vietnam yang pernah dia kunjungi, kembali muncul sekelebat, ketika ibunya menegaskan kembali bahwa salah-seorang leluhurnya pernah menikahi putri dari Champa.

Begitulah sepenggal kisah Sarie Febriane.

Tapi bagaimana dia memaknai keragaman gen dalam tubuhnya di tengah situasi sekarang? Apakah dia menjadi kekuatan pembebas atau justru membatasi?

Jawaban Sarie dapat kita ikuti belakangan. Kini simak kisah seorang warga Indonesia di Selandia Baru yang menemukan "kejutan" setelah membaca jejak gen di tubuhnya.

Wahyu Aspriyanti, kelahiran 1987, memutuskan mengikuti uji DNA semula dilatari semacam "hiburan" untuk memperkaya konten YouTube miliknya.

Ayu, begitu sapaannya, seringkali berseloroh dengan suaminya — warga negara Italia — bahwa gen dalam dirinya adalah produk campuran.

"Paling-paling campuran Tionghoa atau Timur Tengah," Ayu mengutarakannya sambil tersipu. Dua tahun lalu, dia dan suaminya ikut tes DNA. Dan, hasilnya? Mengejutkan.

Memang dia tak terkejut ketika mengetahui 'tidak ada kemurnian' dalam darahnya, yaitu campuran Filipina, Indonesia dan Melayu (64,9 persen). Ada pula potongan DNA-nya dari Thailand dan Kamboja (33,3 persen).

Tapi, Ayu terkejut ada bagian DNA-nya yang berasal dari etnis Mesoamerican dan Andean sebesar 1,8 persen.

"(Wilayah itu) itu kayak Peru, Bolivia, Argentina, dan lain-lain, serta Andean."

 

Ayu, begitu sapaannya, seringkali berseloroh dengan suaminya ? warga negara Italia ? bahwa gen dalam dirinya adalah produk campuran. Paling-paling campuran Tionghoa atau Timur Tengah, ujarnya tersipu.Arsip Wahyu Aspriyanti via BBC Indonesia Ayu, begitu sapaannya, seringkali berseloroh dengan suaminya ? warga negara Italia ? bahwa gen dalam dirinya adalah produk campuran. Paling-paling campuran Tionghoa atau Timur Tengah, ujarnya tersipu.

Bagaimana cerita di balik 'kontribusi' orang-orang Amerika Latin terhadap genomnya, Ayu angkat tangan — tidak tahu. Ayahnya berasal dari sebuah kota di pulau Jawa, adapun ibunya berlatar Betawi.

"Saya tidak tahu kalau mau mencari data (tentang nenek moyang) itu harus ke mana," dia berujar. Paling-paling yang diketahuinya hanyalah informasi hingga empat generasi ke belakang.

Kini, Ayu memaknai keragaman genetika di dalam DNA-nya semakin menguatkan sikapnya yang sejak awal menolak rasisme.

"Hampir seluruh manusia itu ada 'etnis-etnis' lain di tubuhnya. Jadi seharusnya enggak ada lagi sikap rasis," tegas Ayu yang sejak delapan tahun lalu tinggal dan bekerja di Selandia Baru.

"Kita harus mulai belajar untuk respek terhadap perbedaan, karena kita hidup berdampingan dengan orang lain 'kan. Lagi pula kita saling membutuhkan satu sama lain."

Semua orang Indonesia adalah pendatang

Campuran beragam genetika, seperti diwakili sosok Sarie dan Ayu, semakin menguatkan bukti ilmiah bahwa tidak ada manusia Indonesia yang 'murni' atau 'asli'.

"Semua orang Indonesia adalah migran (pendatang)," kata peneliti genetika manusia dan evolusi dari Eijkman Institute, Pradiptajati Kusuma, dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, akhir Juli lalu.

Kesimpulan seperti ini menguatkan temuan-temuan sebelumnya pada pengetahuan arkeologi dan linguistik yang mengindikasikan bahwa nenek moyang orang-orang Indonesia adalah pendatang.

Hasil studi genetika Eijkman Institute, yang melibatkan 70 populasi etnik di 12 pulau di Indonesia, membuktikan adanya pembauran beberapa leluhur genetik dari periode dan jalur berbeda.

Pencampuran genetika di Indonesia, demikian kata Pradipta, terkait erat dengan aktivitas migrasi orang-orang dari daratan Asia — dimulai sekitar 50.000 tahun silam — ke wilayah yang kini disebut Indonesia.

Baca juga: Tak Ada Pribumi, Begini Tes DNA Tentukan Asal Usul Orang Indonesia

Pengembaraan manusia modern (homo sapiens) ke Indonesia merupakan bagian kisah epik para leluhur yang keluar dari Afrika — Out of Africa — ke seluruh dunia kira-kira 150.000 dan 200.000 tahun silam.

"Tidak hanya sekali (gelombang migrasi ke Indonesia), tapi berkali-kali," ungkapnya. "Kompleks sebenarnya, cuma kita menggeneralisir kurang-lebih ada empat gelombang kedatangan."

Sejak dahulu kala, wilayah Indonesia telah menjadi tempat manusia berlalu-lalang. Sebelum menuju Pasifik atau ke Australia, mereka melalui atau memilih menetap di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com