Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BPOM Sebut 71,4 Persen Relawan Vaksin Nusantara Alami Kejadian Tak Diinginkan, Ahli: Tak Layak Disebut Vaksin

Kompas.com - 15/04/2021, 10:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Namun, langkah vaksin Nusantara mengambil sampel darah dari para politikus ini bukan bagian dari uji klinis fase II, kata Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari BPOM, Lucia Rizka Andalusia.

"Kita tidak ada sih, tidak ada permohonan uji klinis fase kedua RSPAD (Gatot Subroto), juga tidak ada. Dan kita tidak memberi persetujuan juga," kata Rizka kepada BBC News Indonesia, Rabu (14/04).

Sebelumnya, BPOM telah memberikan sejumlah catatan kepada tim peneliti vaksin Nusantara, bahkan lembaga ini belum memberikan izin uji klinis fase II.

Kepala Badan POM Penny Kusumastuti Lukito mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Rapat tersebut membahas tentang dukungan pemerintah terhadap pengembangan vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa.ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN Kepala Badan POM Penny Kusumastuti Lukito mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Rapat tersebut membahas tentang dukungan pemerintah terhadap pengembangan vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa.

BPOM temukan sejumlah masalah vaksin Nusantara

Temuan BPOM di antaranya, produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril, penggunaan antigen yang hanya layak untuk laboratorium bukan manusia, metode pengujian tidak dilakukan validasi dan standardisasi sebelum pelaksanaan penelitian.

"Beberapa alat ukur tidak terkaliberasi dan metode pengujian tidak tervalidasi dengan baik, sehingga akurasi hasil pengujian tidak dapat diterima," tulis laporan BPOM.

Selain itu, BPOM juga menemukan persetujuan Lolos Kaji Etik penelitian tidak dilakukan oleh Komite Etik tempat penelitian dilakukan. Terdapat data-data yang diganti oleh peneliti dengan menghilangkan data lama.

Beberapa tahapan proses pembuatan dan pengujian vaksin sel dendtritik dilakukan oleh AIVITA Biomedical Inc (dilaksanakan tenaga kerja asing).

"Terkait hal tersebut, belum ada kontrak antara AIVITA dengan RSUP Dr. Kariadi."

Baca juga: Vaksin Nusantara Terawan Berbasis Sel Dendritik, Apa Bedanya dengan Vaksin Lain?

Ikut dikritisi para ahli

Metode vaksin Nusantara menggunakan basis sel dendritik (dendritic cell), yang bersifat personal. Caranya, seseorang diambil sampel darahnya untuk diberikan antigen berupa virus yang sudah dilemahkan. Setelah diolah, kemudian disuntikkan kembali ke orang tersebut.

Pakar biologi molekuler, Ahmad Utomo mengatakan vaksin Nusantara tidak cocok diterapkan di situasi pandemi. Kata dia, metode yang digunakan vaksin Nusantara terlalu individual yang lebih pas mengobati penyakit kanker.

Beda dengan vaksin lain yang bersifat massal, di mana seluruh orang bisa mendapatkan suntikan yang sama.

"Vaksin seperti dendritik ini lebih cocok pada penyakit-penyakit yang non-infeksi seperti kanker misalnya. Kalau kanker imunitas sel itu penting," kata Ahmad Utomo kepada BBC News Indonesia, Rabu (14/04/2021).

Ilustrasi sel dendritik, sel imun yang menghadirkan antigen.SHUTTERSTOCK/Kateryna Kon Ilustrasi sel dendritik, sel imun yang menghadirkan antigen.

Selain itu, Ahmad Utomo mengatakan karena ini sangat individual, akan sulit untuk mendapatkan nilai efikasi. Ia juga berpendapat vaksin ini jauh lebih mahal dari vaksin yang sudah ada seperti Sinovac dan AstraZeneca karena penerapannya rumit.

Pengurus Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia, Masdalina Pane juga berpendapat serupa. Ia meyakini metode vaksin Nusantara akan menelan biaya mahal, karena penerapannya berlaku ekslusif untuk perorangan.

Dari keilmuan epidemiologi, kata Masdalina, vaksin Nusantara tak layak disebut sebagai vaksin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com