Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BPOM Sebut 71,4 Persen Relawan Vaksin Nusantara Alami Kejadian Tak Diinginkan, Ahli: Tak Layak Disebut Vaksin

Kompas.com - 15/04/2021, 10:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat 71,4 persen relawan uji klinis tahap I vaksin Nusantara mengalami apa yang disebut Kejadian Tak Diinginkan (KTD), berupa nyeri otot hingga gatal-gatal.

Laporan ini dikeluarkan di tengah langkah sejumlah politikus menjalani pengambilan darah untuk uji vaksin Nusantara, yang mereka anggap sebagai langkah nasionalisme.

Di sisi lain, sejumlah ahli menyatakan metode vaksin Nusantara lebih cocok digunakan untuk pengobatan kanker dibandingkan digunakan secara massal melawan virus Covid-19, bahkan tak layak disebut sebagai vaksin.

BPOM melaporkan 71,4 persen relawan uji vaksin 'Covid-19' Nusantara mengalami apa yang disebut Kejadian yang Tak Diinginkan (KTD).

Baca juga: Vaksin Nusantara Belum Diuji pada Hewan, Ahli Sebut Tak Wajar Diuji Langsung ke DPR

"Sebanyak 20 dari 28 subjek (71.4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2," tulis laporan yang diterima BBC News Indonesia dari BPOM, Rabu (14/04/2021).

KTD yang dimaksud adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal.

Bukan hanya itu, pada grade 3, terdapat enam relawan yang mengalami KTD. Satu relawan mengalami hiperneatremi atau konsentrasi natrium yang tinggi dalam darah dengan gejala seperti orang kekurangan air minum.

"Tiga subjek mengalami peningkatan kolesterol," tulis laporan tersebut.

Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah politikus seperti Aburizal Bakrie dan Gatot Nurmantyo memamerkan telah menjalani pengambilan darah untuk vaksin Nusantara.

Sejumlah anggota DPR yang membidangi kesehatan juga ikut andil dalam pengambilan darah tersebut.

Ketua Komisi IX DPR, Felly Estelita Runtuwene yang ikut mendukung langkah vaksin Nusantara ini menilai saat ini terjadi krisis vaksin dunia, sehingga dibutuhkan vaksin buatan dalam negeri.

"Kemudian kemarin bicara soal nasionalisme vaksin, juga lagi dalam pembicaraan hangat juga kan. Baik pemerintah Indonesia, maupun yang belum memproduksi vaksin," katanya kepada BBC News Indonesia, Rabu (14/04/2021).

Bulan lalu saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan, Ketua Tim Pengembang Vaksin Nusantara, Terawan Agus Putranto berharap pemerintah melanjutkan vaksin ini.

Kata Terawan, setidaknya, vaksin Nusantara bisa digunakan untuk mengatasi pasien Covid-19 yang mengalami autoimun, dan komorbid berat.

"Ini sebuah solusi, alternatif yang bisa digunakan," kata Terawan.

Namun, langkah vaksin Nusantara mengambil sampel darah dari para politikus ini bukan bagian dari uji klinis fase II, kata Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari BPOM, Lucia Rizka Andalusia.

"Kita tidak ada sih, tidak ada permohonan uji klinis fase kedua RSPAD (Gatot Subroto), juga tidak ada. Dan kita tidak memberi persetujuan juga," kata Rizka kepada BBC News Indonesia, Rabu (14/04).

Sebelumnya, BPOM telah memberikan sejumlah catatan kepada tim peneliti vaksin Nusantara, bahkan lembaga ini belum memberikan izin uji klinis fase II.

Kepala Badan POM Penny Kusumastuti Lukito mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Rapat tersebut membahas tentang dukungan pemerintah terhadap pengembangan vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa.ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN Kepala Badan POM Penny Kusumastuti Lukito mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Rapat tersebut membahas tentang dukungan pemerintah terhadap pengembangan vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa.

BPOM temukan sejumlah masalah vaksin Nusantara

Temuan BPOM di antaranya, produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril, penggunaan antigen yang hanya layak untuk laboratorium bukan manusia, metode pengujian tidak dilakukan validasi dan standardisasi sebelum pelaksanaan penelitian.

"Beberapa alat ukur tidak terkaliberasi dan metode pengujian tidak tervalidasi dengan baik, sehingga akurasi hasil pengujian tidak dapat diterima," tulis laporan BPOM.

Selain itu, BPOM juga menemukan persetujuan Lolos Kaji Etik penelitian tidak dilakukan oleh Komite Etik tempat penelitian dilakukan. Terdapat data-data yang diganti oleh peneliti dengan menghilangkan data lama.

Beberapa tahapan proses pembuatan dan pengujian vaksin sel dendtritik dilakukan oleh AIVITA Biomedical Inc (dilaksanakan tenaga kerja asing).

"Terkait hal tersebut, belum ada kontrak antara AIVITA dengan RSUP Dr. Kariadi."

Baca juga: Vaksin Nusantara Terawan Berbasis Sel Dendritik, Apa Bedanya dengan Vaksin Lain?

Ikut dikritisi para ahli

Metode vaksin Nusantara menggunakan basis sel dendritik (dendritic cell), yang bersifat personal. Caranya, seseorang diambil sampel darahnya untuk diberikan antigen berupa virus yang sudah dilemahkan. Setelah diolah, kemudian disuntikkan kembali ke orang tersebut.

Pakar biologi molekuler, Ahmad Utomo mengatakan vaksin Nusantara tidak cocok diterapkan di situasi pandemi. Kata dia, metode yang digunakan vaksin Nusantara terlalu individual yang lebih pas mengobati penyakit kanker.

Beda dengan vaksin lain yang bersifat massal, di mana seluruh orang bisa mendapatkan suntikan yang sama.

"Vaksin seperti dendritik ini lebih cocok pada penyakit-penyakit yang non-infeksi seperti kanker misalnya. Kalau kanker imunitas sel itu penting," kata Ahmad Utomo kepada BBC News Indonesia, Rabu (14/04/2021).

Ilustrasi sel dendritik, sel imun yang menghadirkan antigen.SHUTTERSTOCK/Kateryna Kon Ilustrasi sel dendritik, sel imun yang menghadirkan antigen.

Selain itu, Ahmad Utomo mengatakan karena ini sangat individual, akan sulit untuk mendapatkan nilai efikasi. Ia juga berpendapat vaksin ini jauh lebih mahal dari vaksin yang sudah ada seperti Sinovac dan AstraZeneca karena penerapannya rumit.

Pengurus Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia, Masdalina Pane juga berpendapat serupa. Ia meyakini metode vaksin Nusantara akan menelan biaya mahal, karena penerapannya berlaku ekslusif untuk perorangan.

Dari keilmuan epidemiologi, kata Masdalina, vaksin Nusantara tak layak disebut sebagai vaksin.

"Karena kalau vaksin itu sifatnya massal... Sementara vaksin Nusantara itu sangat individual sekali, selnya itu berasal dari tubuh kita sendiri. Apakah ini terapi... tapi saya tidak setuju kalau namanya vaksin," kata Masdalina kepada BBC News Indonesia, Rabu (14/04/2021).

Baca juga: 7 Polemik Vaksin Nusantara, Uji Klinis Lanjut Meski Tak Ada Izin BPOM

Sementara itu, Ahli Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia, Rita Damayanti ikut menimpali. Menurutnya, vaksin Nusantara 'pasti lebih mahal' dibanding vaksin yang digunakan untuk program kesehatan masyarakat.

"Itu kurang masuk akal bagi public health, tapi kalau model untuk orang kaya, yang bisa bayar mahal, itu sih terserah, tapi itu tak bisa dipaksakan untuk program public health," katanya.

Dalam laporan BPOM juga disebutkan, seluruh komponen utama pembuatan vaksin dendritik impor dari Amerika Serikat. Untuk transfer teknologi sekaligus kerjasama industrial, "belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi, membutuhkan waktu dua hingga lima tahun untuk mengembangkan di Indonesia."

BPOM juga menyarankan agar penelitian ini dikembangkan dulu di pra-klinik sebelum masuk uji klinik untuk mendapatkan konsep dasar yang jelas, "Sehingga pada uji klinik di manusia bukan merupakan percobaan yang belum pasti."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com