Pun betapa banyak kalangan mengambil keuntungan dengan menggunakan teknologi. Masa pandemi Covid-19 ini, berseliweran berita-berita palsu.
Ketidakjujuran seseorang berkomunikasi dengan siapa sampai pihak rumah sakit mengambil keputusan status bahwa yang bersangkutan adalah positif virus corona baru mengakui bahwa ia baru datang dari luar negeri.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Menguji Iman dan Imun saat Pandemi Covid-19 di Bulan Ramadhan
Tak pelak zaman serba aplikasi ini orang sudah abai dengan tentangga, nihil keberpihakan kepada yang butuh, cuek, cenderung hidup individualistik alias nafsi-nafsi.
Perhatikan Syair Syauqi Bey yang berbunyi: Innamal umamul akhlaqu ma baqiyat wa inhumu dzahabat akhlaquhum dzahabu.
Artinya, hidup dan bangunnya suatu bangsa tergantung pada akhlaknya, jika mereka tidak lagi menjunjung tinggi norma-norma akhlakul karimah, maka bangsa tu akan musnah bersamaan dengan runtuhnya akhlaknya.
Dalam hidup bernegara, kekuasaan telah berubah tujuan. Kekuasaan yang semula untuk memberikan kemaslahatan bagi hajat hidup orang banyak berubah memperkaya diri sendiri dan keluarga.
Seharusnya kebijakan yang diambil untuk maslahah rakyat berakhir ke kepentingan orang berduit. Dalam bidang ekonomi dan lingkungan, alam telah dijarah tanpa memikirkan nasib generasi mendatang.
QS Arrum: 41 menyebutkan, dzaharal fasadu filbarri walbahri bima kasabat iidinnas. Artinya, telah nampak kerusakan di muka bumi akibat tangan-tangan jahil manusia.
Kekuasaan haruslah amanah dan diletakkan bagi kepentingan sebesar-besarnya warga bangsa dan umat seperti disebutkan oleh Allah dalam QS Annisaa:58:
Iinnallaha ya’murukum antuaddul amannaati ila ahliha waiza hakamtum bainannasi an tahkumuu bil adli. (Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkan dengan adil.
Para ulama kita secara sederhana membagi akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak mahmudah (terpuji) dan akhlak mazmumah (tercela).
Dalam kehidupan kita mustahil bagi kita untuk melakukan semua perbuatan terpuji, tetapi kita selalu berusaha untuk konsisten dan istiqomah melakukan kebaikan.
Jikalau ada perbuatan salah dan khilaf maka suatu kewajaran karena memang kita bukan makhluk sempurna. Akhlak tidak mengenal kasta.
Siapapun asalkan mereka orang-orang yang beragama maka akhlak harus menghiasi dirinya. Jangan sampai kita sibuk dengan melaksanakan syariat seperti puasa, salat, zakat, dan haji tetapi kita kehilangan akhlak.
Fenomena beragama secara syariat menunjukkan grafik yang tinggi tetapi tidak diiringi akhlak terpuji.