Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syarifah Syaukat
Mahasiswa CEP Doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

Mahasiswa CEP Doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, ini juga seorang peneliti senior sejak 2009 hingga saat ini pada Pusat Penelitian Geografi Terapan FMIPA UI.

Sejak 2020, Syarifah menempati posisi sebagai Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia.

Green Building, Yay or Nay?

Kompas.com - 23/10/2021, 10:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GREEN BUILDING adalah konsep yang telah kita dengar sejak tahun 1980 di Jerman. Dan 41 tahun kemudian, hasilnya mulai terlihat.

London, Shanghai, New York, Paris, dan Washington DC adalah 5 kota yang tahun ini didapuk oleh Knight Frank sebagai kota berkelanjutan dalam sektor real estat, dari 286 kota global yang diseleksi.

Tahbis tersebut diproses atas penilaian indeks kota berkelanjutan pada sektor real estat yang mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu pengurangan emisi karbon, jaringan transportasi publik, dan jumlah green building.

Green building pada dasarnya merupakan metode yang mengatur siklus operasionalisasi gedung, dengan mempertimbangkan sumber energi dan teknologi yang digunakan.

Selain itu juga mencakup pengolahan zat sisa/buangan, pemeliharaan gedung, efisiensi penggunaan air, dan penyediaan infrastruktur hijau untuk mendukung wellbeing dari penghuni bangunan.

Saat ini, terdeteksi bahwa energi yang digunakan untuk operasional bangunan dan konstruksi menjadi kontributor penghasil emisi yang tinggi, yaitu berkisar 40 persen.

Untuk itu, implementasi green building dapat diperhitungkan sebagai derivasi aksi yang perlu dilakukan demi capaian sustainable development goals (SDGs) yakni net zero carbon pada tahun 2030.

Sejatinya, green building dapat disebut sebagai bentuk adopsi garden city ke skala tapak. Konsep yang dikemukakan oleh Ebenezer Howard (1898) ini menelaah kebutuhan perancangan kota yang seimbang, untuk mencapai lingkungan ideal dan peningkatan kualitas hidup penghuninya.

Publikasi Knight Frank mengenai Trends in Global Real Estate Investment-2021 menyebutkan bahwa, saat ini investor properti telah memahami urgensi investasi keberlanjutan melalui mekanisme green building.

Selain itu, investor global menjadikan parameter green building sebagai alat screening pertama untuk memilih investasi aset yang dituju.

Di lain pihak, perbankan memberikan opsi insentif pada pendanaan properti dengan green concept.

Saat ini, beberapa metode digunakan untuk melabeli gedung sebagai green building, di antaranya adalah BREEAM, NABERS, LEED, Greenship, EDGE, dan sebagainya.

Metode-metode tersebut disusun untuk mencapai efisiensi energi dan pengurangan emisi.

Tentu saja setiap metode memiliki acuan tersendiri yang intinya akan menilai bagaimana siklus operasional bangunan sejalan dengan doughnut economy.

Sebagai contoh, metode green building Building Research Establishment Environmental Assessment Method (BREEAM) yang dikembangkan di Inggris, telah berpengalaman selama 31 tahun dalam mengkaji dan mengarahkan operasional pengelolaan gedung hijau.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com