Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Green Building, Yay or Nay?

London, Shanghai, New York, Paris, dan Washington DC adalah 5 kota yang tahun ini didapuk oleh Knight Frank sebagai kota berkelanjutan dalam sektor real estat, dari 286 kota global yang diseleksi.

Tahbis tersebut diproses atas penilaian indeks kota berkelanjutan pada sektor real estat yang mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu pengurangan emisi karbon, jaringan transportasi publik, dan jumlah green building.

Green building pada dasarnya merupakan metode yang mengatur siklus operasionalisasi gedung, dengan mempertimbangkan sumber energi dan teknologi yang digunakan.

Selain itu juga mencakup pengolahan zat sisa/buangan, pemeliharaan gedung, efisiensi penggunaan air, dan penyediaan infrastruktur hijau untuk mendukung wellbeing dari penghuni bangunan.

Saat ini, terdeteksi bahwa energi yang digunakan untuk operasional bangunan dan konstruksi menjadi kontributor penghasil emisi yang tinggi, yaitu berkisar 40 persen.

Untuk itu, implementasi green building dapat diperhitungkan sebagai derivasi aksi yang perlu dilakukan demi capaian sustainable development goals (SDGs) yakni net zero carbon pada tahun 2030.

Sejatinya, green building dapat disebut sebagai bentuk adopsi garden city ke skala tapak. Konsep yang dikemukakan oleh Ebenezer Howard (1898) ini menelaah kebutuhan perancangan kota yang seimbang, untuk mencapai lingkungan ideal dan peningkatan kualitas hidup penghuninya.

Publikasi Knight Frank mengenai Trends in Global Real Estate Investment-2021 menyebutkan bahwa, saat ini investor properti telah memahami urgensi investasi keberlanjutan melalui mekanisme green building.

Selain itu, investor global menjadikan parameter green building sebagai alat screening pertama untuk memilih investasi aset yang dituju.

Di lain pihak, perbankan memberikan opsi insentif pada pendanaan properti dengan green concept.

Saat ini, beberapa metode digunakan untuk melabeli gedung sebagai green building, di antaranya adalah BREEAM, NABERS, LEED, Greenship, EDGE, dan sebagainya.

Metode-metode tersebut disusun untuk mencapai efisiensi energi dan pengurangan emisi.

Tentu saja setiap metode memiliki acuan tersendiri yang intinya akan menilai bagaimana siklus operasional bangunan sejalan dengan doughnut economy.

Sebagai contoh, metode green building Building Research Establishment Environmental Assessment Method (BREEAM) yang dikembangkan di Inggris, telah berpengalaman selama 31 tahun dalam mengkaji dan mengarahkan operasional pengelolaan gedung hijau.

Dan saat ini terdapat hampir 3.000 gedung berlabel BREEAM di London. Lalu bagaimana kuantifikasi keuntungan dari model pengelolaan bangunan hijau?.

Dari sumber yang sama dijelaskan bahwa keuntungan dari implementasi gedung hijau BREEAM, adalah nilai atau harga jual ruang pada gedung yang lebih tinggi 10 persen dengan yield yang lebih optimistis dibandingkan dengan gedung tanpa label hijau.

Sementara itu, dalam sumber yang lain disebutkan bahwa, penerapan operasional gedung hijau di India mampu menghemat 40-50 persen penggunaan energi dan menghemat 20-30 persen penggunaan air.

Namun implementasi green building bukan hal yang mudah, termasuk gedung baru.

Desain, material bangunan, pilihan teknologi untuk penggunaan energi menjadi investasi jangka panjang, harus dipersiapkan.

Biaya tambahan pun beragam, berkisar mulai dari 3 persen hingga 5 persen, dan akan terbayar dalam 2-3 tahun ke depan.

Lain lagi di Kuwait. Dalam tiga tahun terakhir penggunaan tenaga surya dan angin untuk melistriki bangunan menjadi hal yang marak.

Hal ini dilakukan sebagai upaya beralih dari energi berbahan bakar fosil ke energi alternatif terbarukan dari tenaga surya dan angin.

Peralihan ini diperlukan, mengingat prediksi penggunaan energi sampai tahun 2030 di Kuwait akan meningkat tiga kali lipat.

Dengan energi terbarukan di Kuwait, didapat hasil monev bahwa operasional gedung hijau dapat menghemat energi sampai 39-42 persen pada tahun 2030, dan mencapai penghematan 48-53 persen satu dekade setelahnya.

Sementara itu, biaya yang diperlukan untuk instalasi teknologi terbarukan sekaligus storage system (mengingat matahari dan angin sangat bergantung dengan cuaca) akan terbayar dalam jangka panjang, atau berkisar 20 tahun.

Bentuk investasi hijau berjangka panjang yang dikenalkan Pemerintah Kuwait dengan road map yang terukur ini disusun agar masyarakat dan investor mendapatkan petunjuk detail terkait capaian akhir dari kebijakan ini.

Kuantifikasi E dalam Environmental, Social, Governance (ESG) di bidang properti terukur secara ekonomis melalui penghematan dalam jangka panjang, sehingga skenario optimis pada sektor pengelolaan properti hijau diharapkan dapat menjadi salah satu tool menuju net zero carbon.

Lalu, bagaimana dengan penerapan green building di Indonesia?

Label hijau yang berlaku di Indonesia telah mulai dikembangkan oleh lembaga independen sejak tahun 2009, dan Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan yang terkait, di antaranya Peraturan Menteri PUPR Nomor 02 tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Hijau.

Saat ini, setidaknya sekitar 100-an gedung hijau dari fungsi yang beragam ada di Indonesia, dengan sebarannya terkonsentrasi di Jakarta.

Menurut Spatial Digital Platform (KFMap) yang dikembangkan Knight Frank Indonesia diketahui bahwa, setidaknya terdapat 1.389 bangunan properti di Jakarta.

Mulai dari fungsi apartemen, gedung perkantoran, hotel dan pusat perbelanjaan. Namun, jumlah tersebut belum termasuk gedung pemerintahan.

Secara jumlah, berarti jalan panjang ESG Indonesia di bidang properti masih terbentang.

Akselerasi label hijau tidak hanya dibutuhkan untuk gedung baru, namun juga gedung lama perlu beradaptasi terhadap siklus hijau.

Salah satu cerita sukses gedung hijau pada fungsi perkantoran yang beroperasi tahun 2013 di bilangan Kebayoran Baru adalah mampu menghemat energi hingga 61 persen. Gedung ini juga melakukan daur ulang air hujan.

Sementara itu, gedung perkantoran lainnya, di bilangan Sudirman yang telah beroperasi sejak tahun 1980 melakukan adaptasi dengan perangkat dan siklus pengelolaan hijau, sehingga mampu menghemat energi dan penggunaan air, masing-masing di kisaran 28 persen.

Konversi penghematan ini berimplikasi pada pengurangan biaya rutin operasional bangunan, dan tentu saja pengurangan emisi.

Intinya, transformasi menjadi tahapan penting dalam implementasi green building di Indonesia, dan hal ini perlu dipahami oleh para pemangku kepentingan.

Tidak hanya sebagai tren, namun interdependensi antara sektor ekonomi dan lingkungan hidup, karena keuntungan pengelolaan aset hijau akan memperpanjang usia aset itu sendiri.

Termasuk memperpanjang usia lingkungan hidup, dan berujung pada peningkatan kualitas hidup dari penghuni gedung.

Sejalan dengan itu, gerakan ini dapat diperhitungkan sebagai bagian upaya mencapai SDG pada beberapa tujuan.

Satu yang pasti yaitu goal ke-7 dalam memastikan bahwa penggunaan clean energy dan efisiensi listrik untuk penerangan dapat ditekan.

Hal ini sekaligus berkontribusi untuk mencapai goal ke-11 yaitu menciptakan kota dan komunitas yang berkelanjutan.

Dan, tentu saja upaya ini sekaligus menjadi bagian dari program mitigasi atas risiko perubahan iklim.

https://www.kompas.com/properti/read/2021/10/23/100622621/green-building-yay-or-nay

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke