Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangun Rumah Berkualitas dan Terjangkau, Indonesia Harus Berguru pada Singapura

Kompas.com - 02/10/2021, 11:16 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Indonesia tampaknya harus betul-betul berguru ke Singapura.

Negeri jiran ini sukses melayani rakyatnya agar dapat memiliki hunian layak dengan harga terjangkau melalui program-program populis mereka.

Selain terjangkau, perumahan di Singapura terkenal dengan kualitasnya sebagai salah satu yang terbaik di dunia.

Tak hanya itu, tingkat kepemilikan hunian, Singapura juga termasuk sebagai salah satu yang tertinggi di dunia, yakni sebesar 90,4 persen pada 2020. Sementara Indonesia masih punya backlog 11,4 juta rumah.

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit, dalam mengembangkan hunian rakyat, Pemerintah Singapura membentuk sebuah badan bernama Housing Development Board (HDB).

Baca juga: Indonesia 76 Tahun, Masih Jauh dari Merdeka Punya Rumah

HDB memiliki otoritas tunggal untuk membangun rumah rakyat Singapura sejak 1960 hingga saat ini.

Mereka memiliki visi pengembangan ke depan, menentukan area cakupan, menguasai lahan, pengelolaan, penataan, hingga mengurus masalah pembiayan dan keseimbangan antara pasokan dan permintaan.

"100 persen perumahan rakyat kelas bawah dan menengah di Singapura dipasok oleh HDB," ujar Panangian kepada Kompas.com, Sabtu (2/10/2021).

Kesuksesan HDB tidak jatuh dari langit. Ada sejarah panjang, dan pembelajaran penting menyertai kiprah mereka sejak dibentuk pada 1 Februari 1960.

Jauh sebelum pembentukan HDB ini, sejak mendapatkan kemerdekaannya pada 1959, Singapura berjuang mengatasi berbagai krisis, termasuk salah satunya adalah masalah perumahan.

Dikutip dari situs hdb.gov.sg, sebelumnya pemerintah Singapura hanya mampu menyediakan 20.907 unit dalam jangka waktu 12 tahun, yakni dari 1947 hingga 1959.

Jumlah ini tentu kurang jika dibandingkan dengan penduduk yang melebihi 1,6 juta jiwa pada saat itu.

Untuk itu, perdana menteri saat itu, Lee Kuan Yew, membentuk HDB yang merupakan kepanjangan tangan Kementerian Pengembangan Nasional Singapura dalam mengurus persoalan perumahan.

Baca juga: Pemerintah Lambat Urus Tanah, Milenial Hampir Mustahil Punya Rumah

Pembentukan badan ini seolah menjadi titik balik Pemerintah Singapura dalam mengatasi krisis perumahan.

Kehadiran HDB telah sukses menghilangkan permukiman kumuh dan merelokasi penghuninya ke blok-blok apartemen kecil namun bersih dan layak dalam waktu satu tahun.

Setelah itu, HDB mulai membangun permukiman baru di lahan bekas kebakaran. Dalam waktu lima tahun, HDB berhasil membangun lebih dari 54.000 unit apartemen, serta merumahkan lebih dari 400.000 orang.

Untuk mengatasi masalah kekurangan dana, pemerintah kemudian mengenalkan skema tabungan untuk meringankan pembayaran uang muka.

Tabungan ini awalnya ditujukan bagi pensiun, namun kini semua orang dapat memanfaatkan pinjaman.

Hal ini kemudian dianggap sebagai salah satu kesuksesan pemerintah dalam mengatasi kekurangan perumahan.

HDB merupakan juga dikenal sebagai lembaga nirlaba yang memiliki dua fungsi utama yakni untuk mengelola permintaan dan pasokan.

Selain itu, HDB juga berfungsi sebagai pengembang, pembangun serta pemelihara aset atas unit hunian yang telah didirikan.

Dari sisi permintaan, HDB mendapatkan dana dari pemerintah dengan bunga 2,5 pesen per tahun selama 20 tahun sesuai dengan masa pinjaman.

Baca juga: Lima Tahun Lagi, Generasi Milenial Terancam Tidak Bisa Membeli Rumah

Sementara dari segi pasokan, HDB mendapatkan tiga hal berupa dukungan dari pemerintah. Dukungan tersebut berupa modal awal pembangunan, subsidi pemerintah, serta sewa tanah dengan harga yang sangat murah dalam jangka waktu 90 tahun.

Hal ini tentu membuat Pemerintah Singapura tidak kehilangan hak atas kepemilikan tanahnya.

Ada pun jenis properti yang dikelola oleh HDB di antranya adalah flat, berupa unit-unit studio tipe satu kamar hingga lima kamar, dan eksekutif.

Menurut catatan Kompas.com, HDB juga telah berperan dalam membantu menjaga harga dan biaya perumahan di Singapura lebih masuk akal dibandingkan harga di kota utama China, Hongkong, maupun Tokyo.

Program perumahan yang digagas HDB tidak hanya ditujukan bagi masyarakat menengah ke bawah, namun juga bagi kalangan umum.

Bahkan harganya bisa 20 pesen sampai 30 persen lebih murah dibanding perumahan umum yang ditawarkan.

Sebelum mendapatkan unitnya, pembeli harus memesan unit beberapa tahun sebelumnya dan menempatinya selama jangka waktu tertentu sebelum menjualnya.

Selain itu, pemerintah juga menyediakan tabungan untuk kebutuhan perumahan.Tabungan ini awalnya ditujukan hanya untuk pensiunan. Namun kini, semua orang dapat mengaksesnya.

Baca juga: Beli Rumah Nyicil KPR atau Ngontrak Seumur Hidup? Kenali Plus Minusnya

Sejak saat itu, HDB mengeklaim telah membangun lebih dari 1 juta unit apartemen. Persentase masyarakat yang tinggal di perumahan rakyat atau public housing telah meningkat dari sembilan persen pada 1970 menjadi lebih dari 90 persen pada 2019.

Sementara persentase kepemilikan hunian juga turut meningkat dari 29 persen pada 1970 menjadi 90,4 persen pada 2020.

Meski terkenal dengan perumahan yang terbaik di dunia, namun skema ini juga digunakan pemerintah sebagai kontrol sosial.

Pemerintah memastikan seluruh ras (Melayu, China, dan India) di Singapura berada di dalam satu blok hunian HDB. Hal ini dilakukan untuk mencegah terbentuknya kantong-kantong rasial di setiap perumahan.

Perumnas

Bagaimana dengan Indonesia? Lembaga dengan peran serupa sejatinya telah kita miliki yakni Perum Perumnas yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan keseluruhan sahamnya dimiliki oleh Pemerintah.

Perumnas didirikan sebagai solusi pemerintah dalam menyediakan perumahan yang layak bagi masyarakat menengah ke bawah, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1974, diubah dengan PP Nomor 12 Tahun 1988, dan disempurnakan melalui PP Nomor 15 Tahun 2004 tanggal 10 Mei 2004.

Tak hanya itu, Perumnas juga mendapat tugas dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk mengelola perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), membangun rumah bagi PNS, Polri, TNI serta membeli kembali rumah bersubsidi yang telah dijual oleh pemiliknya.

Baca juga: Indonesia Perlu HDB Seperti Singapura

Mengutip laman PPDPP Kementerian PUPR, penugasan teknis ini mengingat Perumnas adalah lembaga atau badan yang diamanatkan oleh UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang rumah susun dan juga penjabaran dari PP Nomor 83 Tahun 2015 tentang Perum Perumnas.

Penugasan kepada Perumnas untuk melaksanakan program pemerintah di bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman serta rumah bersubsidi perlu mendapat dukungan fiskal bukan saja dari Kementerian Teknis dalam hal ini Kementerian PUPR tetapi juga dari Kementerian Keuangan atas perintah Presiden.

Kendati dibekali seperangkat aturan dan perundang-undangan serta suntikan dana dari pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), namun kondisi Perumnas, meminjam istilah Panangian, ibarat hidup segan mati tak mau.

Bahkan, Perumnas terus mengalami penurunan pendapatan yang signifikan sebesar 27,25 persen pada Semester I-2021 dibanding periode yang sama tahun 2020. Hal ini disebabkan melambatnya penjualan rumah untuk MBR dan komersial.

Alhasil, inventori rumah Perumnas menjadi besar, yang mengakibatkan rasio utang terhadap ekuitas meningkat tajam.

Perumnas tercatat memiliki utang sebesar Rp 4,62 triliun yang saat ini sedang dilakukan restrukturisasi.

Baca juga: Perumnas Percepat Pembangunan Hunian Berkonsep TOD di Tiga Lokasi

"Perumnas jadi ngambang, membangun perumahan komersial tapi nggak laku. Selain itu, kendati underbow dari BUMN, tapi tidak punya visi dan misi, jadi siapa pun direksi yang ditugaskan akan kebingungan itu mengurusi Perumnas, karena sejak deregulasi yang dilakukan tahun 1988 itu, praktis peran Perumnas ompong," tutur Panangian.

Peran perumnas hanya bisa dianggap sebagai pelopor pembangunan perumahan rakyat di daerah pinggiran kota di Indonesia, seperti Depok, Simalingkar Medan, dan lain-lain pada kurun 1974 hingga 1980-an.

Saat itu, lembaga ini diakui sebagai pemain kunci (key players) yang otoritatif, pengembang sekaligus regulator dalam pembangunan rumah rakyat. Namun saat ini, peran mereka sudah jauh berkurang bahkan tidak lagi signifikan.

"Sebaliknya, pengembang swasta justru semakin menguasai peran pembangunan rumah rakyat yang mencakup hampir 90 persen pasokan rumah secara Nasional," ungkap Panangian.

Hal senada dikatakan Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Arief Sabaruddin.

Menurutnya, BUMN Karya lain sudah banyak yang fokus dan memasok rumah-rumah komersial.

"Perumnas harus ada perlakuan dan penugasan khusus. Kembali pada khittahnya menyediakan hunian untuk rakyat," imbuh Arief kepada Kompas.com, Sabtu (2/10/2021).

Revolusi perumahan

Jadi, timpal Panangian, jangan pernah lagi bermimpi membandingkan Perum Perumnas dengan HDB Singapura.

Baca juga: Beli atau Sewa Rumah? Ini Tips Cerdas Bagi Milenial

Secara visi dan terobosan saja sudah jauh berbeda, konon pula dalam tataran praksis. Hal ini diperparah ketiadaan kementerian khusus perumahan rakyat yang dilikuidasi sejak Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menjabat pada 2014 lalu.

Oleh karena itu, harus ada revolusi besar-besaran, karena Indonesia masih setengah-setengah dalam mengatasi masalah di sektor perumahan.

Padahal ketimpangan ketersediaan pasokan dan kebutuhan hunian sudah demikian lebar, yakni di atas 11 juta unit.

Revolusi dimulai dari Pemerintah dalam menciptakan visi dan terobosan baru, jangan setengah-setengah, siapkan pendanaan, regulasi yang mendukung, dan pertanahan.

Di segmen pendanaan, Indonesia harus betul-betul menyiapkannya. Contohlah Singapura, Malaysia, Rusia, dan China yang sudah memiliki semacam central provident fund (CPF) atau tabungan wajib bagi penduduk yang bekerja terutama untuk mendanai kebutuhan pensiun, kesehatan, dan perumahan mereka.

Di Singapura, CPF dikelola oleh sebuah badan hukum yang bertanggung jawab kepada Departemen Tenaga Kerja. Pengusaha harus berkontribusi 16 persen dari total gaji pokok bulanan karyawan.

Sementara penghasilan karyawan dipotong 20 persen dari penghasilan bulanannya.

"Kalau Pemerintah mau mengambil jalan itu, sudah bagus. Tapi apakah Pemerintah mau? Bikinlah itu Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR satu pendapat dan tujuan. Termasuk itu lembaga Sarana Multigriya Finansial atau juga PPDPP yang sekarang cuma jadi alat birokrat saja," tuntas Panangian.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com