MENGACU teori Karl Marx, menjadikan “Indonesia Maju” sebagaimana dicanangkan oleh Pemerintahan Indonesia saat ini, selain membutuhkan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) andal, juga memerlukan ketersediaan suprastruktur dan infrastruktur publik yang memadai.
Sampai dengan tahun 2024, Rencana Jangka Panjang Pembangunan (RJPP) Infrastruktur Indonesia, membutuhkan Rp 6.445 triliun.
Sebuah mega ambisi yang diharapkan menjadi lompatan kuantum (quantum leap) untuk menyejajarkan Indonesia dengan negara maju lainnya, menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia.
Terlepas pada berbagai kritik publik yang meminta Pemerintah melakukan prioritisasi, 201 proyek dan 10 program telah diluncurkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 tahun 2020.
Terdapat 22 sektor yang menjadi sasaran PSN, yakni jalan, bendungan dan irigasi, kawasan industri, perkeretaapian, energi, pelabuhan, air bersih dan sanitasi, bandara, edukasi, teknologi informasi dan komunikasi, perumahan, maupun tanggul pantai.
Di luar itu terdapat program terkait smelter, jaringan listrik, super-hub, penyediaan dan ketahanan pangan, kawasan wisata khusus, instalasi pengolahan limbah, dan percepatan pembangunan daerah khusus dan kawasan perbatasan.
Karakteristik pembiayaan infrastruktur padat modal, dengan cost of fund tinggi, dan tenor pengembalian panjang, memaksa Pemerintah memainkan politik anggaran yang ketat.
Terlebih di tengah kesenjangan kemampuan pendanaan domestik dan foreign direct investment (FDI) yang mengalami stagnansi.
Walaupun anggaran infrastruktur meningkat setiap tahunnya, ruang fiskal yang sempit, termasuk posisi debt to GDP yang sudah cukup tinggi 30,2 persen pada 2019 dan semakin meningkat pada 2020 sebagai dampak Pandemi Covid-19, membuat struktur pembiayaan APBN menjadi sangat terbatas.
Mengandalkan BUMN sebagai lokomotif pembangunan, juga mengalami keterbatasan. Tingkat hutang dibandingkan EBITDA, maupun hutang dibandingkan ekuitas beberapa sudah memasuki tahapan kritis.
Kondisi keuangan PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Hutama Karya (Persero), PT Adhi Karya (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk misalnya, sudah di atas ambang batas, sekitar tiga hingga empat kali debt to equity ratio-nya.
Hadirnya Sovereign Wealth Fund atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI), juga disikapi beragam pendapat oleh publik.
Sejumlah saham BUMN infrastruktur sudah terlebih dahulu bullish, hanya karena narasi LPI akan menjadi potensial pembeli inisiatif recycle capital BUMN tersebut, sehingga peralihannya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur lainnya.
Selain kepastian sumber pendanaannya, entah itu mengandalkan un-productive domestic capital seperti un-spending government budget, un-allocated SOE's dividend payment, surplus transaksi berjalan, cadangan untuk stabilitas nilai tukar, cadangan devisa dan un-productive asset negara lainnya, atau dari potensi luar negeri dana pensiun, G-G fund, bank pembangunan internasional, dan lain-lain, isu kedua yang dihadapi LPI adalah mekanisme penyalurannya.
Publik menunggu kejelasan apakah LPI bisa menyediakan pembiayaan dan atau menjadi reserve funding bagi proyek infrastruktur, ataukah hanya investasi langsung dengan mengambilalih kepemilikan saham di level proyek.