Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WNI Korban Sindikat Penipuan di Myanmar Diancam Dibunuh jika Tak Ada Uang Tebusan

Kompas.com - 27/03/2024, 04:15 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Menurut Judha, Hpa Lu merupakan wilayah konflik bersenjata antara Tatmadaw alias militer Myanmar dan kelompok etnis bersenjata. Di wilayah-wilayah konflik tersebut, Tatmadaw maupun otoritas penegak hukum Myanmar tidak memiliki kontrol penuh.

Data dari Kementerian Luar Negeri menunjukkan sejak tahun 2020 hingga saat ini, mereka dan perwakilan di luar negeri menangani dan menyelesaikan lebih dari 3.400 kasus WNI yang terjerat online scam di delapan negara, termasuk Myanmar.

“Tidak kurang dari 700 diantaranya terindikasi sebagai kasus TPPO,” ujarnya.

Judha memperinci dari data per Oktober 2023 yakni 3.347 kasus, 324 dari Myanmar dan 1.699 di Kamboja.

Judha mengimbau masyarakat untuk berhati-hati atas tawaran kerja di luar negeri melalui media sosial yang menjanjikan gaji tinggi tanpa meminta kualifikasi khusus.

“Kesadaran masyarakat juga perlu terus ditingkatkan untuk tidak mengambil risiko berangkat bekerja keluar negeri tanpa melalui prosedur resmi. Kemlu mencatat adanya kasus berulang dimana WNI korban online scam yang telah ditangani dan dipulangkan, kembali lagi bekerja ke luar negeri di sektor bisnis yang sama,” ujarnya.

Ketika BBC News Indonesia menanyakan apakah tidak diakuinya junta militer Myanmar oleh Indonesia memperumit keadaan ini, Judha menyebut: “Dalam konteks perlindungan WNI mengingat perlindungan WNI adalah merupakan isu kemanusiaan, kita berkoordinasi dengan otoritas-otoritas yang ada di Myanmar”.

“Sejauh ini tantangan yang kita hadapi di lapangan adalah otoritas Myanmar tidak memiliki kontrol penuh terhadap lokasi-lokasi online scammer yang ada di Myawaddy maupun Hpa Lu,” tutur Judha.

Dihubungi secara terpisah, Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI Yangon, Dicky Omar, menyebut semua negara yang warganya menjadi korban menghadapi kendala utama yang sama: situasi politik dan keamanan Myanmar di tengah konflik berkepanjangan.

“Termasuk keterbatasan kewenangan dan jangkauan otoritas pusat di samping permasalahan yang bersifat lintas negara,” ujarnya.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia?

Siti Badriyah, koordinator advokasi kebijakan Migrant Care, mengonfirmasi kepada BBC News Indonesia bahwa para korban di Myanmar yang ditangani Migrant Care ditawari bekerja di Thailand sebagai pekerja bidang administrasi atau penerjemah.

“Mereka tidak tahu kalau mereka itu sebenarnya dipekerjakan di Myanmar karena janjinya di Thailand. Setelah dari Thailand itu kemudian diseberangkan ke Myanmar,” ujarnya.

Menurut Siti Badriyah, Kementerian Luar Negeri sendiri sebenarnya mengakui bahwa sulit untuk mengevakuasi para korban dari daerah yang dikuasai pemberontak.

Meskipun begitu, Siti mengatakan Indonesia seharusnya bisa berbuat lebih dengan memaksimalkan keketuaan Indonesia di ASEAN.

“Keketuaan Indonesia di ASEAN mestinya dimaksimalkan untuk membuat regulasi pencegahan dan penanganan TPPO di Asia Tenggara,” ujar Siti.

Meski begitu, Siti mengakui bahwa ini pun kurang karena regulasi tentang TPPO di tingkat ASEAN hanya mengikat secara moral dan bukan hukum.

Baca juga: Cerita WNI Puasa di Australia, Hampir Pingsan Saking Panasnya

Dia pun mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat perjanjian bilateral dengan Myanmar tentang TPPO yang mengikat secara hukum.

Siti menambahkan bahwa Indonesia perlu meningkatkan sosialisasi untuk migrasi secara aman dan mengingatkan bahwa TPPO kepada masyarakat luas – selain tentunya meningkatkan jumlah lapangan kerja di dalam negeri.

Di sisi lain, Siti mengingatkan bahwa Myanmar bukanlah tujuan migrasi pekerja migran.

Menurutnya, “Myanmar sebenarnya juga negara pengirim pekerja migran.

Dia pun mencurigai adanya keterlibatan orang Indonesia dalam “perusahaan-perusahaan” scammer di Myanmar sehingga ada yang mempekerjakan orang dari Indonesia.

Siti menyebut penegak hukum di Indonesia “juga bermasalah” ihwal TPPO karena pelaku tidak mendapat hukuman yang setimpal dan membuat efek jera sehingga terus terjadi kasus.

Dia pun menyebut “mafia” TPPO yang “kuat dan terstruktur”.

Di sisi lain, era digital pun membuat banyak orang berpendidikan tinggi yang juga jadi korban. Minimnya lapangan pekerjaan juga menjadi masalah.

“Mungkin korban yang sudah dipulangkan kembali lagi ke sana karena kondisi di dalam negeri setelah di kampungnya mereka tidak ada pekerjaan sama sekali,” ujar Siti Badriyah.

“Kita yang selalu dicurhati korban kadang sampai tak tahu lagi kenapa makin banyak korban," tambahnya.

Nama-nama korban sengaja disamarkan untuk melindungi keamanan mereka.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com