Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WNI Korban Sindikat Penipuan di Myanmar Diancam Dibunuh jika Tak Ada Uang Tebusan

Kompas.com - 27/03/2024, 04:15 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Kakak Yulia, Bima (bukan nama sebenarnya) yang berusia 37 tahun itu awalnya ditawari bekerja di perusahaan manufaktur perakitan telepon seluler di Thailand.

Menurut Yulia, Bima sebetulnya berniat bekerja di Korea Selatan. Bahkan sudah belajar bahasa Korea dan kursus di bidang manufaktur di sebuah lembaga pelatihan kerja (LPK) di Sukabumi.

Sayangnya, impian itu kandas karena pandemi Covid. Dia pun kemudian mendapat tawaran untuk kerja di Thailand dengan gaji Rp 17 juta.

Dengan kondisi sudah sekian tahun bekerja sebagai guru honorer, Bima menyambut tawaran tersebut dan mengeluarkan Rp 20 juta untuk mengurus berbagai dokumen.

Setruman, cambukan, dan pukulan jika tidak mencapai target

Dibantu seorang kerabat, Nurmaya akhirnya mulai menyambangi Kementerian Luar Negeri dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Jakarta dengan bantuan LSM Migrant Care.

Sayangnya, hingga kini masih belum membuahkan hasil.

Hati Nurmaya berontak karena suaminya mengaku mendapat siksaan mulai dari setruman, cambukan, dan pemukulan apabila tidak mencapai target pendapatan yang diminta ‘perusahaan’.

“Harus dapat korban untuk dapat income (pendapatan). Mereka mengerjakannya walaupun bertentangan dengan hati nurani mereka,” tutur Nurmaya yang menyebut suaminya hanya bisa tidur maksimal lima jam setiap malam –sisanya hanya bekerja, bekerja, dan bekerja layaknya “perbudakan zaman modern”.

Baca juga: Penjelasan Kemenlu RI soal 6 WNI Terlibat Perampokan Jam Tangan Mewah di Hong Kong

“Saya tunggu enam bulan… setahun…sekarang dua tahun, tapi hasilnya belum ada,” ujar Nurmaya dengan suara tercekat.

Dia mengaku masih tetap harus bekerja untuk biaya hidup. Meski kedua anaknya sudah bekerja, tetap saja tidak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Di Bandung, Yulia mengatakan kakaknya dan sejumlah WNI lainnya di Myanmar “tidak bisa melawan, tidak bisa kabur karena mereka diawasi oleh militer bersenjata”.

“Keluarga kami dipaksa 15 jam-18 jam bekerja tanpa henti, tanpa libur, setiap hari. Mereka dipaksa bekerja, mereka disiksa, mereka dipukul, dicambuk, dijemur, hingga disetrum hampir setiap hari,” ujar Yulia kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Sama seperti Asep, Bima malah dipaksa bekerja sebagai scammer tanpa digaji, disiksa jika tidak memenuhi target, dan diperjualbelikan dari perusahaan satu ke perusahaan lain.

“Kakak saya sudah dijual ke tiga perusahaan. Dijual oleh perusahaan pertama ke perusahaan kedua karena tidak bisa membayar uang tebusan atau mereka menyebutnya denda sebesar Rp150 juta,” ujar Yulia.

Oleh perusahaan kedua, kata dia, malah ada ancaman dibunuh kalau tidak membayar uang tebusan sebesar Rp100 juta. Ia pun panik dan kelabakan.

“Saya sudah berpikir kakak saya mati di sana karena terakhir ancamannya seperti itu. Sampai kami sekeluarga menggelar pengajian meminta doa untuk keselamatan kakak saya. Tapi kemudian ada kabar dari kakak saya. Sekarang kakak disekap di perusahaan ketiga yang meminta uang tebusan Rp 80 juta,” tutur Yulia.

Bima diperbudak di perusahaan ketiga itu bersama empat orang WNI lainnya – salah satunya Asep. Di antara mereka ada yang sudah lebih dari dua tahun mengalami penyekapan dan penyiksaan.

Baca juga: Polisi Hong Kong Tangkap 6 WNI Diduga Rampok 25 Jam Tangan Senilai Rp 12 Miliar

"Tolong ulur waktu, bilang kita enggak ada uang untuk bayar"

Yulia mengaku sudah melaporkan nasib kakaknya ke Kementerian Luar Negeri Indonesia.

"(Mereka) bilang: ‘tolong ulur waktu, bilang kita enggak ada uang buat bayar. Ulur waktu sampai pihak KBRI Yangon bisa mengevakuasi.’ Tapi enggak ada kabar dari Kemenlu dan kakak saya selama sebulan,” ungkapnya.

Yulia mengaku juga sudah melapor ke Polda Jawa Barat, Bareskrim Polri, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, KBRI Myanmar, serta Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) daerah hingga pusat.

Hasilnya? Nihil.

“Ujungnya selalu dengan alasan, Myanmar tempat konflik, mereka tidak ada wewenang masuk ke sana, yurisdiksi hukum, selalu itu yang disampaikan,” keluh Yulia.

Namun, Yulia membandingkan dengan kasus TPPO di Myanmar pada pertengahan 2023, ketika sebanyak 20 orang WNI bisa dipulangkan setelah ada perintah dari Presiden Joko WIdodo.

“Setelah ada perintah presiden, dengan cepat 20 orang bisa dievakuasi dari sana. Berarti bukan tidak bisa, kan bisa saja kalau pemerintah mau mengupayakan,” kata dia.

“Kalau pemerintah memprioritaskan ini, tidak harus menunggu lama. Ini kakak saya sudah satu tahun empat bulan. Pemerintah di mana? Ini warga negaranya meminta perlindungan,” ucap Yulia.

Pemulangan 20 WNI itu juga berujung pada penangkapan Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi – yakni “Andri Satria” dan “Anita” yang “merekrut” Bima, suami Nurmaya tadi.

Apa kata Kementerian Luar Negeri?

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Nugraha, Judha Nugraha, mengatakan pihaknya bersama KBRI Yangon dan KBRI Bangkok saat ini sedang menangani kasus lima WNI yang terjerat bisnis penipuan online di wilayah Hpa Lu, Myanmar.

“Berbagai upaya telah dan terus dilakukan untuk menyelamatkan para WNI tersebut antara lain melalui penyampaian nota diplomatik kepada Kemlu Myanmar, mengadakan pertemuan dengan berbagai otoritas terkait seperti Kepolisian dan Imigrasi Myanmar, serta kerja sama dengan masyarakat sipil. Koordinasi juga dilakukan dengan Perwakilan Negara Asing di Myanmar yang menghadapi kasus serupa antara lain Sri Lanka, RRT, Filipina, Vietnam, Thailand, Nepal, dan India,” tutur Judha kepada BBC News Indonesia, Senin (25/3/2024).

Family engagement juga dilakukan Kemlu kepada keluarga lima WNI di Indonesia. Komunikasi intensif dan rutin dilakukan baik melalui pertemuan daring maupun melalui grup WhatsApp untuk menyampaikan update berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah” untuk membebaskan anggota keluarganya.”

Baca juga: Ditangkap, WNI Ini Ceritakan Besaran Gaji Saat Jadi Pembersih Rumah Ilegal di Malaysia

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com