Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WNI Korban Sindikat Penipuan di Myanmar Diancam Dibunuh jika Tak Ada Uang Tebusan

Kompas.com - 27/03/2024, 04:15 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Sejumlah warga negara Indonesia yang menjadi korban sindikat penipuan online di Myanmar belum kunjung dapat dievakuasi.

Beberapa di antara mereka diancam dibunuh apabila keluarga di Indonesia tidak membayar tebusan untuk kepulangan mereka.

Pihak keluarga di Indonesia mengaku sudah melaporkan kasus ini kepada Kementerian Luar Negeri. Namun, dalam pengakuan pihak keluarga, pihak Kemlu mengatakan "tolong ulur waktu, bilang kita enggak ada uang buat bayar. Ulur waktu sampai pihak KBRI Yangoon bisa mengevakuasi".

Baca juga: Malaysia Operasi Imigran Gelap di Mal Kuala Lumpur, 4 WNI Ditangkap

Meski demikian, sampai saat ini pihak keluarga masih menunggu kabar dari Kemlu dan sanak saudara mereka yang masih disekap.

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, pada Senin (25/3/2024) kepada BBC News Indonesia mengatakan, pihaknya bersama KBRI Yangon dan KBRI Bangkok saat ini sedang menangani kasus lima WNI yang terjerat bisnis penipuan online di wilayah Hpa Lu, Myanmar.

“Berbagai upaya telah dan terus dilakukan untuk menyelamatkan para WNI tersebut," papar Judha.

Hampir dua tahun belakangan, Nurmaya (46) mesti berjuang mencari nafkah untuk keluarganya.

Perempuan yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, itu bukanlah seorang janda. Namun, keadaan yang tak terduga membuatnya harus banting tulang.

Suami Nurmaya, Asep (bukan nama sebenarnya) menjadi korban sindikat penipuan di Myanmar sejak Juli 2022.

Dari yang awalnya diiming-imingi pekerjaan bidang teknologi informasi di Bangkok, Thailand dengan gaji Rp 10 juta - Rp 20 juta, Asep dan beberapa WNI lainnya malah disekap di kamp-kamp di Myanmar yang berbatasan dengan Thailand untuk menipu orang secara daring.

Para WNI ini dipaksa "bekerja" selama antara 15 jam -18 jam setiap harinya dan mendapat hukuman seperti disetrum atau perlakuan kasar lainnya bila tidak mencapai target atau sekadar kesiangan.

Baca juga: Kapal Tanker Korea Selatan Terbalik di Lepas Pantai Jepang, Bawa 8 Penumpang WNI

“Saya (dan) suami saya sama-sama berjuang. Di sana suami saya berjuang bertahan hidup. Di sini saya berjuang untuk tetap waras, menjaga kesehatan, bekerja untuk anak-anak saya,” ujar Nurmaya menahan tangis saat diwawancarai BBC News Indonesia.

“Saya sih berharap pemerintah segera mengevakuasi mereka. Kita orang awam. Kita tidak mengerti kondisi teknis di sana. Sudah lama banget, sudah hampir dua tahun. Apa karena kita rakyat kecil tidak didengar mereka (pemerintah)?” tambahnya.

Nurmaya bukan satu-satunya orang yang menunggu kepulangan anggota keluarga dari sekapan sindikat penipuan di Myanmar.

Di Bandung, Jawa Barat, Yulia Rosiana lantang bersuara dalam demonstrasi di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (21/3/2024), demi memulangkan kakak kandungnya yang menjadi korban sindikat di Myanmar.

Sempat ada ancaman kakak Yulia akan dibunuh apabila tidak membayar uang tebusan sebesar Rp100 juta.

“Saya sudah berpikir kakak saya mati di sana karena terakhir ancamannya seperti itu,” ujarnya.

Direkrut ke Thailand dengan iming-iming gaji Rp 10 juta - Rp 20 juta

Rumah tangga Asep dan Nurmaya adalah yang termasuk terkena pukulan dahsyat pandemi Covid-19.

Menurut Nurmaya, Asep adalah lulusan SMA yang sempat berkuliah di jurusan administrasi tetapi tidak tuntas.

Asep sempat menekuni bidang restoran dan kafe, tapi pasca-Covid, dia bekerja serabutan karena bisnisnya tutup.

Pada awal Juli 2022, seorang teman Asep memperkenalkan dirinya dengan seseorang yang tengah menawarkan pekerjaan di Thailand. Orang ini memberi kontak dua orang bernama Andri Satria dan Anita.

Teman Asep tidak mengambil tawaran itu karena masih terikat kontrak.

“(Andri Satria dan Anita) yang menawarkan ke suami saya untuk bekerja sebagai IT dengan gaji Rp10 juta - Rp 20 juta. Niat suami saya sudah benar. Dia ingin meningkatkan derajat keluarganya,” tutur Nurmaya, yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Sempat ada pertemuan-pertemuan via aplikasi Zoom antara Asep, Andri Satria, Anita, dan beberapa orang lainnya yang “direkrut”. Nurmaya menyebut mereka kemudian diberangkatkan pada 10 Juli 2022 ke Bangkok, Thailand.

Sesampainya di Bangkok, Asep masih sempat mengabari Nurmaya saat tiba di hotel dan makan di restoran. Keesokan harinya, Asep dan rekan-rekannya diboyong ke Mae Sot, kota di wilayah barat Thailand yang berbatasan dengan Myanmar.

Baca juga: Cerita WNI Asal Surabaya Ikut Garap Kung Fu Panda 4, Kerjakan Adegan Tersulit

“Mereka kemudian menyeberang (ke Myanmar) dengan kapal. Mungkin kapal kecil kali, ya?” ujarnya.

Selama dua minggu ke depan, Asep dan rekan-rekannya digembleng untuk bisa mengetik dengan cepat sebelum mulai dipekerjakan. Baru setelah satu bulan, Asep menyadari bahwa dia dipekerjakan sebagai scammer.

“Akhir Agustus atau September, suami saya menyadari ada yang tidak beres. Dia akhirnya menelepon, minta tolong (hubungi) KBRI,” cerita Nurmaya.

Sementara di Bandung, Yulia Rosiana, mengungkapkan nasib kakaknya pada aksi Kamisan yang digelar di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (21/3/2024).

Kakak Yulia, Bima (bukan nama sebenarnya) yang berusia 37 tahun itu awalnya ditawari bekerja di perusahaan manufaktur perakitan telepon seluler di Thailand.

Menurut Yulia, Bima sebetulnya berniat bekerja di Korea Selatan. Bahkan sudah belajar bahasa Korea dan kursus di bidang manufaktur di sebuah lembaga pelatihan kerja (LPK) di Sukabumi.

Sayangnya, impian itu kandas karena pandemi Covid. Dia pun kemudian mendapat tawaran untuk kerja di Thailand dengan gaji Rp 17 juta.

Dengan kondisi sudah sekian tahun bekerja sebagai guru honorer, Bima menyambut tawaran tersebut dan mengeluarkan Rp 20 juta untuk mengurus berbagai dokumen.

Setruman, cambukan, dan pukulan jika tidak mencapai target

Dibantu seorang kerabat, Nurmaya akhirnya mulai menyambangi Kementerian Luar Negeri dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Jakarta dengan bantuan LSM Migrant Care.

Sayangnya, hingga kini masih belum membuahkan hasil.

Hati Nurmaya berontak karena suaminya mengaku mendapat siksaan mulai dari setruman, cambukan, dan pemukulan apabila tidak mencapai target pendapatan yang diminta ‘perusahaan’.

“Harus dapat korban untuk dapat income (pendapatan). Mereka mengerjakannya walaupun bertentangan dengan hati nurani mereka,” tutur Nurmaya yang menyebut suaminya hanya bisa tidur maksimal lima jam setiap malam –sisanya hanya bekerja, bekerja, dan bekerja layaknya “perbudakan zaman modern”.

Baca juga: Penjelasan Kemenlu RI soal 6 WNI Terlibat Perampokan Jam Tangan Mewah di Hong Kong

“Saya tunggu enam bulan… setahun…sekarang dua tahun, tapi hasilnya belum ada,” ujar Nurmaya dengan suara tercekat.

Dia mengaku masih tetap harus bekerja untuk biaya hidup. Meski kedua anaknya sudah bekerja, tetap saja tidak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Di Bandung, Yulia mengatakan kakaknya dan sejumlah WNI lainnya di Myanmar “tidak bisa melawan, tidak bisa kabur karena mereka diawasi oleh militer bersenjata”.

“Keluarga kami dipaksa 15 jam-18 jam bekerja tanpa henti, tanpa libur, setiap hari. Mereka dipaksa bekerja, mereka disiksa, mereka dipukul, dicambuk, dijemur, hingga disetrum hampir setiap hari,” ujar Yulia kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Sama seperti Asep, Bima malah dipaksa bekerja sebagai scammer tanpa digaji, disiksa jika tidak memenuhi target, dan diperjualbelikan dari perusahaan satu ke perusahaan lain.

“Kakak saya sudah dijual ke tiga perusahaan. Dijual oleh perusahaan pertama ke perusahaan kedua karena tidak bisa membayar uang tebusan atau mereka menyebutnya denda sebesar Rp150 juta,” ujar Yulia.

Oleh perusahaan kedua, kata dia, malah ada ancaman dibunuh kalau tidak membayar uang tebusan sebesar Rp100 juta. Ia pun panik dan kelabakan.

“Saya sudah berpikir kakak saya mati di sana karena terakhir ancamannya seperti itu. Sampai kami sekeluarga menggelar pengajian meminta doa untuk keselamatan kakak saya. Tapi kemudian ada kabar dari kakak saya. Sekarang kakak disekap di perusahaan ketiga yang meminta uang tebusan Rp 80 juta,” tutur Yulia.

Bima diperbudak di perusahaan ketiga itu bersama empat orang WNI lainnya – salah satunya Asep. Di antara mereka ada yang sudah lebih dari dua tahun mengalami penyekapan dan penyiksaan.

Baca juga: Polisi Hong Kong Tangkap 6 WNI Diduga Rampok 25 Jam Tangan Senilai Rp 12 Miliar

"Tolong ulur waktu, bilang kita enggak ada uang untuk bayar"

Yulia mengaku sudah melaporkan nasib kakaknya ke Kementerian Luar Negeri Indonesia.

"(Mereka) bilang: ‘tolong ulur waktu, bilang kita enggak ada uang buat bayar. Ulur waktu sampai pihak KBRI Yangon bisa mengevakuasi.’ Tapi enggak ada kabar dari Kemenlu dan kakak saya selama sebulan,” ungkapnya.

Yulia mengaku juga sudah melapor ke Polda Jawa Barat, Bareskrim Polri, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, KBRI Myanmar, serta Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) daerah hingga pusat.

Hasilnya? Nihil.

“Ujungnya selalu dengan alasan, Myanmar tempat konflik, mereka tidak ada wewenang masuk ke sana, yurisdiksi hukum, selalu itu yang disampaikan,” keluh Yulia.

Namun, Yulia membandingkan dengan kasus TPPO di Myanmar pada pertengahan 2023, ketika sebanyak 20 orang WNI bisa dipulangkan setelah ada perintah dari Presiden Joko WIdodo.

“Setelah ada perintah presiden, dengan cepat 20 orang bisa dievakuasi dari sana. Berarti bukan tidak bisa, kan bisa saja kalau pemerintah mau mengupayakan,” kata dia.

“Kalau pemerintah memprioritaskan ini, tidak harus menunggu lama. Ini kakak saya sudah satu tahun empat bulan. Pemerintah di mana? Ini warga negaranya meminta perlindungan,” ucap Yulia.

Pemulangan 20 WNI itu juga berujung pada penangkapan Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi – yakni “Andri Satria” dan “Anita” yang “merekrut” Bima, suami Nurmaya tadi.

Apa kata Kementerian Luar Negeri?

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Nugraha, Judha Nugraha, mengatakan pihaknya bersama KBRI Yangon dan KBRI Bangkok saat ini sedang menangani kasus lima WNI yang terjerat bisnis penipuan online di wilayah Hpa Lu, Myanmar.

“Berbagai upaya telah dan terus dilakukan untuk menyelamatkan para WNI tersebut antara lain melalui penyampaian nota diplomatik kepada Kemlu Myanmar, mengadakan pertemuan dengan berbagai otoritas terkait seperti Kepolisian dan Imigrasi Myanmar, serta kerja sama dengan masyarakat sipil. Koordinasi juga dilakukan dengan Perwakilan Negara Asing di Myanmar yang menghadapi kasus serupa antara lain Sri Lanka, RRT, Filipina, Vietnam, Thailand, Nepal, dan India,” tutur Judha kepada BBC News Indonesia, Senin (25/3/2024).

Family engagement juga dilakukan Kemlu kepada keluarga lima WNI di Indonesia. Komunikasi intensif dan rutin dilakukan baik melalui pertemuan daring maupun melalui grup WhatsApp untuk menyampaikan update berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah” untuk membebaskan anggota keluarganya.”

Baca juga: Ditangkap, WNI Ini Ceritakan Besaran Gaji Saat Jadi Pembersih Rumah Ilegal di Malaysia

Menurut Judha, Hpa Lu merupakan wilayah konflik bersenjata antara Tatmadaw alias militer Myanmar dan kelompok etnis bersenjata. Di wilayah-wilayah konflik tersebut, Tatmadaw maupun otoritas penegak hukum Myanmar tidak memiliki kontrol penuh.

Data dari Kementerian Luar Negeri menunjukkan sejak tahun 2020 hingga saat ini, mereka dan perwakilan di luar negeri menangani dan menyelesaikan lebih dari 3.400 kasus WNI yang terjerat online scam di delapan negara, termasuk Myanmar.

“Tidak kurang dari 700 diantaranya terindikasi sebagai kasus TPPO,” ujarnya.

Judha memperinci dari data per Oktober 2023 yakni 3.347 kasus, 324 dari Myanmar dan 1.699 di Kamboja.

Judha mengimbau masyarakat untuk berhati-hati atas tawaran kerja di luar negeri melalui media sosial yang menjanjikan gaji tinggi tanpa meminta kualifikasi khusus.

“Kesadaran masyarakat juga perlu terus ditingkatkan untuk tidak mengambil risiko berangkat bekerja keluar negeri tanpa melalui prosedur resmi. Kemlu mencatat adanya kasus berulang dimana WNI korban online scam yang telah ditangani dan dipulangkan, kembali lagi bekerja ke luar negeri di sektor bisnis yang sama,” ujarnya.

Ketika BBC News Indonesia menanyakan apakah tidak diakuinya junta militer Myanmar oleh Indonesia memperumit keadaan ini, Judha menyebut: “Dalam konteks perlindungan WNI mengingat perlindungan WNI adalah merupakan isu kemanusiaan, kita berkoordinasi dengan otoritas-otoritas yang ada di Myanmar”.

“Sejauh ini tantangan yang kita hadapi di lapangan adalah otoritas Myanmar tidak memiliki kontrol penuh terhadap lokasi-lokasi online scammer yang ada di Myawaddy maupun Hpa Lu,” tutur Judha.

Dihubungi secara terpisah, Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI Yangon, Dicky Omar, menyebut semua negara yang warganya menjadi korban menghadapi kendala utama yang sama: situasi politik dan keamanan Myanmar di tengah konflik berkepanjangan.

“Termasuk keterbatasan kewenangan dan jangkauan otoritas pusat di samping permasalahan yang bersifat lintas negara,” ujarnya.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia?

Siti Badriyah, koordinator advokasi kebijakan Migrant Care, mengonfirmasi kepada BBC News Indonesia bahwa para korban di Myanmar yang ditangani Migrant Care ditawari bekerja di Thailand sebagai pekerja bidang administrasi atau penerjemah.

“Mereka tidak tahu kalau mereka itu sebenarnya dipekerjakan di Myanmar karena janjinya di Thailand. Setelah dari Thailand itu kemudian diseberangkan ke Myanmar,” ujarnya.

Menurut Siti Badriyah, Kementerian Luar Negeri sendiri sebenarnya mengakui bahwa sulit untuk mengevakuasi para korban dari daerah yang dikuasai pemberontak.

Meskipun begitu, Siti mengatakan Indonesia seharusnya bisa berbuat lebih dengan memaksimalkan keketuaan Indonesia di ASEAN.

“Keketuaan Indonesia di ASEAN mestinya dimaksimalkan untuk membuat regulasi pencegahan dan penanganan TPPO di Asia Tenggara,” ujar Siti.

Meski begitu, Siti mengakui bahwa ini pun kurang karena regulasi tentang TPPO di tingkat ASEAN hanya mengikat secara moral dan bukan hukum.

Baca juga: Cerita WNI Puasa di Australia, Hampir Pingsan Saking Panasnya

Dia pun mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat perjanjian bilateral dengan Myanmar tentang TPPO yang mengikat secara hukum.

Siti menambahkan bahwa Indonesia perlu meningkatkan sosialisasi untuk migrasi secara aman dan mengingatkan bahwa TPPO kepada masyarakat luas – selain tentunya meningkatkan jumlah lapangan kerja di dalam negeri.

Di sisi lain, Siti mengingatkan bahwa Myanmar bukanlah tujuan migrasi pekerja migran.

Menurutnya, “Myanmar sebenarnya juga negara pengirim pekerja migran.

Dia pun mencurigai adanya keterlibatan orang Indonesia dalam “perusahaan-perusahaan” scammer di Myanmar sehingga ada yang mempekerjakan orang dari Indonesia.

Siti menyebut penegak hukum di Indonesia “juga bermasalah” ihwal TPPO karena pelaku tidak mendapat hukuman yang setimpal dan membuat efek jera sehingga terus terjadi kasus.

Dia pun menyebut “mafia” TPPO yang “kuat dan terstruktur”.

Di sisi lain, era digital pun membuat banyak orang berpendidikan tinggi yang juga jadi korban. Minimnya lapangan pekerjaan juga menjadi masalah.

“Mungkin korban yang sudah dipulangkan kembali lagi ke sana karena kondisi di dalam negeri setelah di kampungnya mereka tidak ada pekerjaan sama sekali,” ujar Siti Badriyah.

“Kita yang selalu dicurhati korban kadang sampai tak tahu lagi kenapa makin banyak korban," tambahnya.

Nama-nama korban sengaja disamarkan untuk melindungi keamanan mereka.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com