"Tapi dalam praktiknya itu sulit karena yang menjadi masalah adalah komitmen dan kepercayaan masyarakat Papua terutama di wilayah konflik itu susah sekali mau menerima kehadiran pemerintah Indonesia yang belum memahami beban sejarah dan trauma mereka."
Sejauh ini, pemerintah daerah di Nduga, tokoh-tokoh gereja setempat, pihak dari Henry Dunant Center, akademisi hingga pihak internasional lainnya yang bersedia memfasilitasi.
"Tapi itu sepertinya belum berjalan maksimal karena salah satu persoalannya, pihak yang ditunjuk oleh pemerintah belum tentu diterima oleh TPNPB. Begitu juga sebaliknya, yang ditunjuk oleh TPNPB tidak dipercaya oleh Selandia Baru atau Indonesia," ujar Hipolitus.
"Jadi penting untuk mengidentifikasi siapa yang bisa mendapat kepercayaan dari berbagai pihak ini," sambungnya.
Selain itu, tercapainya kesepakatan internal di tubuh TPNPB untuk sama-sama berkomitmen membebaskan Phillip juga penting. Sebab, komitmen itu dapat mempermudah upaya negosiasi dengan Pemerintah Indonesia maupun Selandia Baru.
Menurutnya, memang sulit membayangkan jalan tengah yang bisa dikompromikan oleh kedua belah pihak.
Itu mengingat kelompok Kogoya meyakini penyanderaan Phillip sebagai salah satu jalan untuk meraih kemerdekaan mereka, sedangkan Jakarta akan sulit berkompromi dengan itu.
Namun menurut Hipolitus, setidaknya ada tawaran-tawaran yang mungkin saja diajukan untuk memupuk kepercayaan kedua belah pihak.
"Ketika komitmen ini sudah dicapai, paling tidak ada tawaran-tawaran yang bisa dilakukan untuk sedikit banyak memberi kepercayaan terhadap kedua belah pihak, baik pemerintah Indonesia maupun TPNPB," kata
Tawaran-tawaran itu misalnya bisa saja berupa pengurangan jumlah pasukan TNI-Polri di wilayah Nduga atau tidak memproses hukum Egianus Kogoya dan para panglima di sayap militer OPM ini.
Juru bicara TPNPB Sebby Sambom menegaskan bahwa jika kesepakatan untuk membebaskan sandera dengan Egianus tercapai, mereka ingin prosesnya ditempuh melalui pihak ketiga yang netral.
“Kami akan minta dijemput oleh tim yang netral, itu bisa dari perwakilan PBB. Sekretariat Jenderal PBB kan punya kantor perwakilan di setiap negara. Di negara mana kami minta jemput, atau melalui Palang Merah Internasional, lembaga yang dipercaya, atau Dewan Gereja,” papar Sebby.
Namun untuk saat ini, dia menyatakan, bahwa markas pusat TPNPB “tidak akan berbicara lagi” dengan Jakarta.
“Tadi malam (Senin) kami rapat, kami sudah putuskan bahwa tidak akan ada lagi bicara dengan Jakarta, karena Jakarta sudah tidak mampu bebaskan pilot. Kami akan bebaskan pilot di luar hukum yuridiksi Indonesia,” ujar Sebby.
“Itu cara kami, apa saja akan kami lakukan kalau Egianus setuju. Tidak lewat Indonesia, tidak lewat Jakarta,” sambungnya.
Selama ini, Sebby menuturkan pihaknya berharap pemerintah Indonesia dan Selandia Baru untuk berdiskusi. Namun, Jakarta dianggap tidak merespons harapan itu karena Presiden Jokowi “tidak menugaskan menteri-menterinya”.
Selandia Baru sendiri kembali mendesak agar Phillip segera dibebaskan.
"Kami sangat mendesak mereka yang menahan Phillip untuk segera membebaskannya dan tanpa membahayakannya. Penahanannya yang terus-menerus tidak akan menguntungkan siapa pun," kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Selandia Baru Winston Peters dalam pernyataan terbaru pada Senin (5/2) dikutip dari Reuters.
Peters mengatakan bahwa berbagai lembaga pemerintah Selandia Baru terus bekerja sama dengan mitra-mitra di Indonesia untuk menjamin pembebasan Mehrtens.
Seruan untuk pembebasan segera juga diutarakan oleh Amnesty International Indonesia.
"Menyandera Phillip melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan sangat melemahkan kesehatan fisik dan mentalnya," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Amnesty mengingatkan agar TPNPB harus selalu mengutamakan keselamatan warga sipil yang tidak terlibat konflik.
Penyanderaan terhadap Phillip dinilai "melanggar hukum internasional dan standar hak asasi manusia".
Salah satunya, Konvensi Menentang Penyanderaan tahun 1979 dan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang melindungi hak-hak dasar individu, termasuk atas kebebasan dan keamanan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.