Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pembebasan Pilot Susi Air Masih Diupayakan di Tengah Perpecahan Internal TPNPB

PAPUA, KOMPAS.com - Setelah setahun disandera, upaya pembebasan pilot Susi Air asal Selandia Baru, Phillip Mark Mehrtens, "masih diupayakan".

Pengamat menilai, upaya komunikasi antara Jakarta, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Selandia Baru, belum efektif karena masing-masing "belum saling percaya", sehingga dibutuhkan satu pihak yang dipercaya sebagai jembatan.

Dalam rilisnya yang diterima BBC News Indonesia pada Rabu (7/2/2024) siang, Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) menuding pemerintah Indonesia dan Selandia Baru "tidak mampu membuka diri" dalam upaya pembebasan sang pilot.

Mereka juga menuduh keduanya "tidak mampu menerima tawaran negosiasi damai" dan "tidak mau menerima tawaran baik" TPNPB.

Dalam bagian lain rilisnya, TPNPB juga menuduh Indonesia dan Selandia Baru "menganggap remeh upaya goodwill" TPNPB.

Tuduhan ini berbeda dengan keterangan seorang pejabat TNI Angkatan Darat kepada BBC News Indonesia pada Selasa (6/2/2024).

"(Upaya pembebasan) masih terus dilakukan dengan mengedepankan keselamatan pilot Phillip," kata Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Letkol Khristomei Sianturi.

Tudingan TPNPB itu juga berbeda dengan pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Selandia Baru, Winston Peters, Senin (5/2/2024).

Dikutip dari Kantor Berita Reuters, Peters mengatakan bahwa berbagai lembaga pemerintah Selandia Baru terus bekerja sama dengan mitra-mitra di Indonesia untuk menjamin pembebasan Mehrtens.

Seperti diketahui, kelompok penyandera ini sejak awal menuntut agar tuntutan kemerdekaan Papua dijadikan bagian negosiasi dari pembebasan sang pilot. Sebuah tuntutan yang sejak awal ditolak oleh pemerintah Indonesia.

TPNPB kemudian mengeklaim akan mengembalikan pilot Phillip Mehrtens kepada keluarganya melalui Yuridiksi Sekretaris Jenderal Perserikatn Bangsa-Bangsa (PBB).

Tidak dirinci lebih lanjut tentang kapan dan di mana si pilot akan "dikembalikan" kepada keluarganya.

Sang pilot disandera sejak 7 Februari 2023 oleh salah-satu kelompok di dalam TPNPB, yang dipimpin Egianus Kogoya.

Warga Selandia Baru itu disandera setelah dia mendaratkan pesawat Susi Air di Lapangan Terbang Distrik Paro, Nduga, Papua Pegunungan.

Sejak saat itulah muncul seruan dari berbagai pihak agar TNPB membebaskannya, namun belum membuahkan hasil.

Secara terpisah, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Letkol Khristomei Sianturi menuturkan upaya pembebasan "masih terus dilakukan dengan mengedepankan keselamatan pilot Phillip".

Hal itu disampaikan Khristomei dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Rabu (6/2/2024).

Menurutnya, TNI masih mengedepankan "cara yang damai dan persuasif" demi membebaskan pilot asal Selandia Baru itu.

Mereka mengeklaim sudah melibatkan tokoh agama dan adat agar sandera dibebaskan.

"Cara yang kami kedepankan adalah cara-cara persuasif, Papua itu kan tanah yang diberkati kami tidak mau sampai ada pertumpahan darah lagi hanya karena membebaskan seorang pilot," kata Khristomei.

Sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak mengatakan pihaknya "menerima informasi" dari Markas Besar TNI tentang rencana pembebasan sang pilot.

Namun proses pembebasan itu disebutnya masih "perlu waktu".

"[...] Perlu waktu untuk bertemu. Akhirnya perlu berapa hari lagi untuk menyampaikan, berapa lagi hari ke sana," kata Maruli Simanjuntak kepada wartawan di Jakarta, Senin (5/2/2024).

Menurutnya, koordinasi tentang upaya pembebasan Philip Mehrtens dipimpin langsung oleh Panglima TNI.

Walaupun semula diberitakan bahwa TPNPB kemungkinan pembebasan sang pilot itu terjadi pada 7 Februari 2024, namun informasi itu dibantah oleh Juru bicara Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB).

Kepada BBC News Indonesia, Juru bicara TPNPB Sebby Sambom membantah bahwa pihaknya "siap membebaskan Phillip pada 7 Februari 2024" seperti yang diberitakan oleh sejumlah media.

Menurutnya, upaya pembebasan belum bisa diwujudkan lantaran kelompok Egianus Kogoya, sebagai pihak yang menahan Phillip, masih menolak untuk membebaskannya.

“Kami sudah minta untuk bebaskan pilot, tapi Egianus belum mau membebaskan karena ada komplikasi. Ada kelompok lain yang intervensi,” kata Sebby kepada BBC News Indonesia pada Selasa (6/2/2024).

Keterangan Sebby ini berbeda dengan rilis TPNPB yang diterima BBC News Indonesia pada Rabu (7/2/2024).

Dalam rilis itu, TPNPB mengatakan, pihaknya memberikan "apresiasi yang setingginya" kepada Panglima TPNPB Komando Daerah III Ndugama Darakma dan pasukannya. Hal ini ditekankan karena mereka disebut telah "memperlakukan dengan baik" dan "menjamin kesehatan" sang pilot.

Rilis itu tidak menyebut secara rinci siapa Panglima TPNPB Komando Daerah III Ndugama Darakma. Namun selama ini, Sebby menyebut sang pilot disandera Egianus dan pasukannya di wilayah itu.

Sebby mengeklaim markas pusat TPNPB akan mengirim "tim besar" untuk berkomunikasi dengan Kogoya yang selama ini sudah tidak terjalin.

Upaya itu pun, kata Sebby, kemungkinan membutuhkan waktu setidaknya berminggu-minggu mengingat sulitnya akses untuk menemui Egianus yang selalu berpindah-pindah.

Menurut informasi terakhir yang diterima Sebby, Phillip disebut dalam kondisi "baik, tapi penyakit kronisnya kambuh dan dia membutuhkan obat".

Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Letkol Khristomei Sianturi menuturkan upaya pembebasan "masih terus dilakukan dengan mengedepankan keselamatan pilot Phillip".

Philip disandera oleh kelompok Egianus Kogoya pada 7 Februari 2023 ketika kelompok Kogoya membakar pesawat Susi Air di Lapangan Terbang Distrik Paro, Nduga, Papua Pegunungan.

Sebby mengaku pihaknya ingin membebaskan Phillip "atas dasar kemanusiaan" dan TPNPB "menghormati hukum humaniter internasional".

Mereka juga mempertimbangkan status Phillip sebagai warga negara Selandia Baru, yang menurutnya, banyak masyarakat di negara itu mendukung kemerdekaan Papua.

"Kami berusaha cari solusi untuk bebaskan dia segera," tutur Sebby.

Namun kelompok Egianus Kogoya disebut menolak pembebasan itu. Ketua Organisasi Papua Merdeka (OPM) Jeffrey P Bomanak, yang posisinya tidak diakui oleh TPNPB, turut mendukung sikap Egianus.

Menurut Jeffrey, dikutip dari video di channel Youtube-nya, penyanderaan itu tidak akan mereka lepaskan sampai Indonesia membuka diri melakukan negosiasi eksternal bersama OPM dan TPNPB terkait nasib bangsa Papua untuk merdeka.

Sebby menuding bahwa pernyataan Jeffrey tersebut sebagai bentuk "provokasi" terhadap Egianus.

"Itu karena ada virus-virus, provokator-provokator yang masuk," kata

Bagaimanapun, menurut Sebby, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mensyaratkan pembebasan itu mesti melalui "pihak ketiga yang netral".

Jalan tengah apa yang mungkin ditempuh?

Pengamat konflik Papua dari Australian National University, Hipolitus Wangge mengatakan, pekerjaan rumah terbesar saat ini adalah menemukan pihak yang "benar-benar dipercaya" oleh para pihak yang terlibat.

Menurut Hipolitus, upaya menjalin komunikasi sejauh ini tampaknya belum efektif dan belum bisa membuahkan kepercayaan di antara para pihak yang terlibat.

Upaya membangun kepercayaan makin dipersulit lantaran terjadi apa yang disebut sebagai "perselisihan pendapat" di antara faksi-faksi di tubuh sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), seperti diakui salah-satu pimpinannya sendiri.

Di sinlah, menurut Hipolitus Wangge, perbedaan sikap antara faksi-faksi di tubuh TPNPB ini masih menjadi persoalan krusial mengapa upaya pembebasan sulit dilaksanakan.

"Apa yang disampaikan Sebby saat ini belum tentu menggambarkan apa yang dinyatakan oleh Egianus," kata Hipolitus ketika dihubungi.

Artinya, komitmen yang disebutkan oleh markas pusat TPNPB --yang diwakili oleh Sebby-- belum tentu menggambarkan komitmen dari Egianus Kogoya, sebagai pihak yang menahan pilot Phillip.

Untuk saat ini, Hipolitus mengatakan pekerjaan rumah terbesar yang perlu diselesaikan adalah menemukan pihak yang benar-benar dipercaya oleh semua pihak untuk menjembatani komunikasi.

"Pemerintah Indonesia kan selalu menjelaskan bahwa mereka sudah berkomunikasi, sudah pendekatan ini, pendekatan itu," kata Hipolitus.

"Tapi dalam praktiknya itu sulit karena yang menjadi masalah adalah komitmen dan kepercayaan masyarakat Papua terutama di wilayah konflik itu susah sekali mau menerima kehadiran pemerintah Indonesia yang belum memahami beban sejarah dan trauma mereka."

Sejauh ini, pemerintah daerah di Nduga, tokoh-tokoh gereja setempat, pihak dari Henry Dunant Center, akademisi hingga pihak internasional lainnya yang bersedia memfasilitasi.

"Tapi itu sepertinya belum berjalan maksimal karena salah satu persoalannya, pihak yang ditunjuk oleh pemerintah belum tentu diterima oleh TPNPB. Begitu juga sebaliknya, yang ditunjuk oleh TPNPB tidak dipercaya oleh Selandia Baru atau Indonesia," ujar Hipolitus.

"Jadi penting untuk mengidentifikasi siapa yang bisa mendapat kepercayaan dari berbagai pihak ini," sambungnya.

Selain itu, tercapainya kesepakatan internal di tubuh TPNPB untuk sama-sama berkomitmen membebaskan Phillip juga penting. Sebab, komitmen itu dapat mempermudah upaya negosiasi dengan Pemerintah Indonesia maupun Selandia Baru.

Menurutnya, memang sulit membayangkan jalan tengah yang bisa dikompromikan oleh kedua belah pihak.

Itu mengingat kelompok Kogoya meyakini penyanderaan Phillip sebagai salah satu jalan untuk meraih kemerdekaan mereka, sedangkan Jakarta akan sulit berkompromi dengan itu.

Namun menurut Hipolitus, setidaknya ada tawaran-tawaran yang mungkin saja diajukan untuk memupuk kepercayaan kedua belah pihak.

"Ketika komitmen ini sudah dicapai, paling tidak ada tawaran-tawaran yang bisa dilakukan untuk sedikit banyak memberi kepercayaan terhadap kedua belah pihak, baik pemerintah Indonesia maupun TPNPB," kata

Tawaran-tawaran itu misalnya bisa saja berupa pengurangan jumlah pasukan TNI-Polri di wilayah Nduga atau tidak memproses hukum Egianus Kogoya dan para panglima di sayap militer OPM ini.

TPNPB: 'Libatkan pihak ketiga yang netral'

Juru bicara TPNPB Sebby Sambom menegaskan bahwa jika kesepakatan untuk membebaskan sandera dengan Egianus tercapai, mereka ingin prosesnya ditempuh melalui pihak ketiga yang netral.

“Kami akan minta dijemput oleh tim yang netral, itu bisa dari perwakilan PBB. Sekretariat Jenderal PBB kan punya kantor perwakilan di setiap negara. Di negara mana kami minta jemput, atau melalui Palang Merah Internasional, lembaga yang dipercaya, atau Dewan Gereja,” papar Sebby.

Namun untuk saat ini, dia menyatakan, bahwa markas pusat TPNPB “tidak akan berbicara lagi” dengan Jakarta.

“Tadi malam (Senin) kami rapat, kami sudah putuskan bahwa tidak akan ada lagi bicara dengan Jakarta, karena Jakarta sudah tidak mampu bebaskan pilot. Kami akan bebaskan pilot di luar hukum yuridiksi Indonesia,” ujar Sebby.

“Itu cara kami, apa saja akan kami lakukan kalau Egianus setuju. Tidak lewat Indonesia, tidak lewat Jakarta,” sambungnya.

Selama ini, Sebby menuturkan pihaknya berharap pemerintah Indonesia dan Selandia Baru untuk berdiskusi. Namun, Jakarta dianggap tidak merespons harapan itu karena Presiden Jokowi “tidak menugaskan menteri-menterinya”.

Selandia Baru serukan pembebasan segera

Selandia Baru sendiri kembali mendesak agar Phillip segera dibebaskan.

"Kami sangat mendesak mereka yang menahan Phillip untuk segera membebaskannya dan tanpa membahayakannya. Penahanannya yang terus-menerus tidak akan menguntungkan siapa pun," kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Selandia Baru Winston Peters dalam pernyataan terbaru pada Senin (5/2) dikutip dari Reuters.

Peters mengatakan bahwa berbagai lembaga pemerintah Selandia Baru terus bekerja sama dengan mitra-mitra di Indonesia untuk menjamin pembebasan Mehrtens.

Seruan untuk pembebasan segera juga diutarakan oleh Amnesty International Indonesia.

"Menyandera Phillip melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan sangat melemahkan kesehatan fisik dan mentalnya," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Amnesty mengingatkan agar TPNPB harus selalu mengutamakan keselamatan warga sipil yang tidak terlibat konflik.

Penyanderaan terhadap Phillip dinilai "melanggar hukum internasional dan standar hak asasi manusia".

https://www.kompas.com/global/read/2024/02/07/195800870/pembebasan-pilot-susi-air-masih-diupayakan-di-tengah-perpecahan-internal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke