Kepala Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa stagflasi masih belum berpotensi terjadi di Indonesia.
“Kalau berbicara tentang stagflasi itu sendiri, pertumbuhan yang tertekan akibat adanya inflasi yang tinggi, saya rasa masih belum terlihat hingga akhir tahun ini. Bahkan, di tahun depan saya rasa masih belum terjadi,” kata Andry kepada BBC News Indonesia.
Meskipun INDEF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dalam negeri akan mengalami penurunan tahun depan, menurut Andry penurunan itu belum signifikan dan harga-harga barang pokok juga akan tetap stabil di kala tahun politik.
“Karena inflasi dan daya beli masyarakat itu erat hubungannya dengan pemilih dan elektabilitas dari capres dan cawapres itu sendiri,” ujarnya.
Sementara, lanjutnya, stagflasi berisiko terjadi di beberapa negara karena suku bunga global yang masih cukup tinggi. Tak hanya itu, tingkat inflasi di sejumlah negara tahun ini juga sedang tinggi akibat kondisi geopolitik dan faktor El Nino.
Kedua kondisi tersebut membuat pemasokan pangan dan energi menjadi semakin mahal, khususnya bagi negara-negara pengimpor. Tetapi Indonesia masih belum terdampak secara signifikan.
“Pemerintah tetap akan menjaga (tingkat inflasi) bahkan kalau kita mendengar juga bahwa untuk pengamanan itu tetap dipenuhi melalui impor, dan hal-hal tersebut menurut saya membuat stagflasi agak sulit untuk terjadi di Indonesia,” jelas Andry.
Baca juga: Javier Milei: Butuh 2 Tahun untuk Jinakkan Inflasi Argentina
Dalam pidatonya, Milei menyebut sejumlah persoalan ekonomi yang dilimpahkan dari pemerintahan sebelumnya di bawah kepemimpinan Alberto Fernandez dan Cristina Fernandez de Kirchner. Menurutnya, itu merupakan warisan terburuk dalam sejarah Argentina.
Kendala terbesar, ungkapnya, adalah defisit fiskal dan eksternal, yang setara dengan 17 poin penurunan PDB.
"Oleh karena itu, tidak ada solusi yang dapat dilakukan untuk menghindari defisit fiskal," jelasnya, sebelum menjelaskan bahwa ia berencana memotong belanja negara sebesar lima poin, dan menghentikan penerbitan uang.
Ia menyebutnya sebagai "satu-satunya penyebab inflasi secara empiris. Benar dan sahih secara teoritis".
Milei berjanji bahwa itu akan menjadi "penyesuaian teratur yang keseluruhan bebannya jatuh pada negara, dan bukan pada sektor swasta."
"Tidak ada hal hebat, stabil maupun abadi yang tercapai di dunia menyangkut kebebasan manusia dan rasa syukur orang-orang yang didapat tanpa usaha besar dan pengorbanan menyakitkan."
Para kritikus Milei memperingatkan bahwa kebijakannya akan mempengaruhi salah satu dari sedikit indeks "positif" Argentina: tingkat pengangguran.