Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Reaksi Israel dan Potensi Blunder Geopolitik Amerika

Kompas.com - 16/10/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Meskipun berdalih untuk membasmi Hamas, pendudukan akan dipandang oleh masyarakat dunia dan negara-negara Arab sebagai penjajahan baru dan pengingkaran atas kesepakatan "two states solution".

Walhasil, akan muncul demonstrasi masif di seluruh dunia, terutama di negara-negara Arab, yang akan memaksa autokrat-autokrat Timur Tengah menyerap aspirasi rakyatnya untuk menghindari "Arab Spring" jilid dua.

Massa anti-Israel yang menyuarakan pembelaan atas Palestina bisa berujung pada aspirasi antiautokrat di negaranya masing-masing jika autokrat-autokrat Timur Tengah gagal menyerap aspirasi tersebut.

Karena itu, suara bulat menolak pendudukan Gaza oleh Israel muncul dari Liga Arab. Reaksi Israel berpeluang memunculkan "Existential Threat" bagi aristokrat-aristokrat Timur Tengah jika mereka tidak menyesuaikan aspirasi kekuasaannya dengan aspirasi publik yang berkembang.

Begitu pula dengan pernyataan penundaan atas tindak lanjut rencana normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi dan Israel oleh Riyadh.

Sementara itu, serangan dadakan Hamas juga berpeluang semakin merusak reputasi geopolitik Amerika Serikat di Timur Tengah. Baik karena serangan itu sendiri, maupun karena reaksi Israel atas serangan dadakan tersebut.

Nyatanya, Amerika Serikat baru saja melakukan terobosan diplomatik dengan Iran. Amerika Serikat bersedia membatalkan pembekuan aset Iran di Amerika sekitar 6 miliar dollar AS (dibekukan setelah Revolusi Mullah 1989) sebagai konsesi untuk pembebasan beberapa warga Amerika Serikat yang ditahan oleh pemerintah Iran.

Otomatis, serangan Hamas mendelegitimasi langkah Amerika Serikat tersebut, karena seolah-olah pembatalan pembekuan aset Iran di negara Paman Sam berimbas kepada penambahan "leverage" militer kepada proksi-proksi militer Tentara Garda Nasional Iran, mulai dari Hamas, Hizbullah, dan beberapa milisi Syiah di Suriah.

Kesan yang muncul adalah Amerika Serikat secara tidak langsung memberikan modal tambahan kepada Iran untuk meningkatkan produksi roketnya untuk kemudian disuplai kepada Hamas, Hizbullah, dan bahkan Rusia.

Artinya, konsesi yang dibuat Amerika Serikat dengan Iran memang tidak menambah ancaman dari sisi Iran sendiri, tapi justru dari proksi-proksi yang dipakai Iran sebagai perisai militernya melawan Israel dan Amerika Serikat.

Namun celakanya, reaksi Amerika Serikat atas serangan dadakan yang diterima Israel juga memperburuk citra geopolitik negeri Paman Sam tersebut. Bantuan militer Amerika Serikat ternyata digunakan oleh Israel tidak saja untuk melumpuhkan Hamas, tapi sekaligus untuk menduduki Gaza.

Sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media, Amerika Serikat menambah anggaran bantuan untuk Israel, yang membuat Israel sebagai negara penerima bantuan Amerika Serikat terbesar sejak perang dunia kedua, lalu mengirimkan sokongan kapal induk (aircraft carrier) dan beberapa jenis pesawat tempur pendukungnya, serta bantuan amunisi, yang semuanya akan menambah kepercayaan diri Israel dalam ‘melampiaskan amarahnya’ di Gaza.

Sebagaimana ditulis oleh Suzanne Maloney di dalam analisisnya, langkah Amerika Serikat tersebut sekaligus membatalkan "exit strategy" Amerika Serikat dari Timur Tengah, karena yang terjadi adalah sebaliknya, Amerika Serikat justru semakin aktif di sana atas nama membela Israel.

Dengan kata lain, kebijakan "Pivot to Asia" yang dicanangkan oleh pemerintahan Barack Obama, lalu dilanjutkan oleh Donald Trump dan Joe Biden, akan semakin sulit diwujudkan.

Energi negeri Paman Sam yang semestinya digunakan untuk Asia Pasifik justru kembali terserap oleh urusan Ukraina dan Israel. China dan Rusia tentu akan menjadi penikmat utama dari langkah agresif baru Amerika Serikat tersebut.

Bantuan militer masif untuk Israel akan mengalihkan sebagian kekuatan dan kemampuan Amerika Serikat dalam menopang Ukraina, yang tentu saja hal itu sangat diharapkan oleh Rusia dalam kurun waktu setahun belakangan.

Sudah bukan rahasia lagi, bantuan Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa adalah faktor penting yang membuat Ukraina hingga hari ini masih berdiri tegak melawan Rusia.

Jika kapasitas Amerika Serikat dalam memberikan bantuan kepada Ukraina menjadi berkurang, karena Amerika Serikat harus berbagi konsentrasi dengan urusan Israel, maka Rusia adalah pihak pertama yang paling diuntungkan.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com