Pun bertambahnya fokus Amerika Serikat, dari Ukraina ke Israel, akan membuat cengkeraman Amerika Serikat di Asia Pasifik semakin melemah dan berpeluang teralihkan secara perlahan.
Tentu kondisi tersebut menjadi berita gembira bagi China yang sudah sejak satu dekade lalu semakin agresif membangun kekuatan militer di kawasan Asia Pasifik.
Kekuatan yang menopang dominasi Amerika Serikat di Asia Pasifik akan ikut semakin terkuras oleh urusan Israel. Apalagi, di sisi lain China justru tidak hanya semakin agresif secara militer, tapi juga secara ekonomi di Asia.
Proyek-proyek Silk Road (jalur sultra) China di Asia semakin menekan pengaruh ekonomi Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik.
Lebih dari itu, di Timur Tengah reputasi Amerika Serikat akan semakin rontok, setali tiga uang dengan yang dialami oleh Israel, karena segala bantuan militer dan finansial yang diberikan oleh Amerika Serikat justru digunakan oleh Israel untuk menduduki Gaza, yang justru ditolak oleh negara-negara anggota Liga Arab.
Di sisi lain, Iran akan semakin dilirik oleh negara-negara Arab sebagai salah satu faktor kunci untuk menghadirkan stabilitas di Timur Tengah.
Sebagaimana disebutkan di atas, akibat aksi militer Israel di Gaza, Arab Saudi akhirnya lebih memprioritaskan perbaikan relasi diplomatik dengan Iran dan Suriah ketimbang dengan Israel.
Dan sudah bukan rahasia lagi bahwa "peace broker" antara ketiga negara tersebut adalah China dan Rusia, bukan Amerika Serikat.
Artinya, ke depan, stabilitas Timur Tengah akan jauh lebih bergantung kepada China dan Rusia, ketimbang Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Pun tak berbeda dengan Asia Pasifik, cengkeraman ekonomi China juga semakin kuat di Timur Tengah. China menggelontorkan miliaran dollar untuk menopang proyek-proyek strategis para autokrat Timur Tengah untuk memuluskan kepastian pasokan migas ke China.
Di sinilah paradoksnya nanti. Bahwa di satu sisi reaktivasi keterlibatan Amerika Serikat di Timur Tengah via Israel justru bergerak berlawanan dengan delegitimasi dan penurunan pengaruh Amerika Serikat di sana karena peningkatan sentimen anti-Israel akan berbanding lurus dengan peningkatan sentimen anti-Amerika.
Sementara di sisi lain, stabilitas Timur Tengah akan semakin jauh dari harapan di satu sisi dan ancaman teror di seluruh dunia akan semakin meningkat di sisi lain.
Pendudukan Gaza oleh Israel potensial pula akan mereaktivasi banyak faksi dan sel terorisme di seluruh dunia, yang sewaktu-waktu akan meledak di tempat dan waktu yang semakin tak terprediksi.
Sebagaimana pengalaman terdahulu, sel-sel terorisme tersebut sebagian besar untuk Asia ada di Indonesia dan Malaysia. Artinya, tingkat karawanan nasional kita atas terorisme akan semakin meningkat.
Bahkan sebelum konflik ini bermula, kepolisian Indonesia sudah sangat sering melakukan penangkapan sel-sel teroris, yang sebagian lokasinya justru tidak jauh dari Jakarta atau kota besar lainnya.
Artinya, kewaspadaan nasional harus ikut ditingkatkan. Bukan saja dari potensi demonstrasi anti-Israel yang diperkirakan akan sering terjadi pada hari-hari mendatang, tapi juga potensi ledakan bom sporadis di lokasi-lokasi strategis yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional apalagi menjelang pemilihan umum nanti.
Terakhir, lagi-lagi situasi-situasi di atas akan menjadi kekalahan geopolitik bagi Israel, Amerika Serikat, G7, dan sistem ekonomi politik demokratis, seiring dengan semakin matangnya reputasi China, Rusia, dan BRICS Plus sebagai alternatif sistem ekonomi politik bagi negara-negara yang sedang mencari sandaran ideologi dan geopolitik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.