Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Reaksi Israel dan Potensi Blunder Geopolitik Amerika

Kompas.com - 16/10/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"The firm view of the Islamic Republic is that the governments that are gambling on normalizing relations with the Zionist regime will suffer losses. Defeat awaits them. They are making a mistake.

BEGITU bunyi beberapa kalimat yang disampaikan pemimpin besar spiritual Iran, Ali Khamenei, beberapa hari sebelum serangan dadakan Hamas ke Israel.

Saya mengutip pernyataan tersebut dari analisis Suzanne Maloney, "The End of America’s Exit Strategy in the Middle East", di laman Foreign Affairs, 10 Oktober 2023.

Sebagaimana dikatakan Suzanne yang dikenal sebagai pakar tentang Iran dan mantan penasihat di Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, baik serangan Hamas maupun reaksi Israel, akan terkait dan berimbas kepada ranah geopolitik di Timur Tengah.

Terlepas apakah pernyataan Ali Khamenei menyimbolkan keterlibatan Iran secara langsung dalam serangan tersebut atau tidak, yang jelas keputusan Hamas untuk melakukan serangan dadakan akan menjadi keputusan yang disukai oleh Iran, baik atas serangan itu sendiri maupun atas imbas geopolitiknya setelah itu.

Baca juga: Kegagalan Intelijen dan Potensi Jebakan Geopolitik yang Menghantui Israel

Sebagaimana saya tulis di tulisan sebelumnya, reaksi Israel atas serangan Hamas akan sangat berpengaruh pada rencana normalisasi hubungan diplomatik antara Tel Aviv dan Riyadh.

Faktanya, tak perlu menunggu lama untuk melihat efeknya. Setelah Israel melakukan pembalasan ke Gaza dan mengumumkan himbauan langkah evakuasi lebih dari satu juta penduduk Gaza, Saudi Arabia membekukan rencana pembicaraan lebih lanjut tentang normalisasi hubungan diplomatik Israel dan Saudi Arabia.

Jadi asumsi bahwa serangan dadakan Hamas adalah bagian dari strategi pembiaran intelijen Israel agar memiliki legitimasi untuk menduduki Gaza dan melumpuhkan Hamas secara total sangat sulit untuk diterima.

Pasalnya, baik secara geopolitik maupun secara kemanusiaan, biaya yang ditanggung Israel terlalu besar untuk membiarkan secara sengaja serangan Hamas tersebut untuk terjadi.

Secara geopolitik, reaksi agresif Israel akan semakin membahayakan posisi negara Bintang Daud itu di Timur Tengah di satu sisi karena akan meningkatkan sentimen anti-Israel dari negara-negara di jazirah Arab.

Di sisi lain, menguasai Gaza akan semakin meningkatkan ketidakpastian atas rencana solusi dua negara (two states solution) di kemudian hari.

Keduanya, tentu akan menjauhkan kawasan Timur Tengah dari stabilitas yang sebenarnya sangat diharapkan oleh Israel dan negara-negara Arab lainnya.

Sementara secara kemanusiaan, banyaknya jumlah korban dari sisi Israel menggambarkan bahwa serangan dadakan Hamas bukanlah bagian dari rencana badan intelijen Israel.

Pasalnya, setelah serangan terjadi, justru legitimasi dan profesionalisme badan intelijen Israel semakin dipertanyakan. Terlebih lagi, bagi badan Intelijen kelas dunia seperti Mossad, bahkan satu nyawa pun sangatlah berharga. Apalagi itu ratusan nyawa.

Jadi serangan dadakan Hamas tidak saja menimbulkan banyak korban di sisi Israel, tapi juga merusak berbagai rencana strategis geopolitik Israel, mendemitologisasi status Israel sebagai perisai militer Amerika Serikat untuk melindungi mitra-mitra Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, dan sangat menguntungkan negara yang menjadi salah satu "existential threat" bagi Israel, yakni Iran.

Selain berbagai kerugian yang dialami Israel, seperti kata Ali Khamenei di atas, serangan Hamas juga akan membuat negara-negara yang telah dan akan menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel akan mengalami kerugian ("suffer losses").

Reaksi agresif Israel di Gaza menyuluk antipati negara-negara Liga Arab, yang sebagian di antaranya telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, United Emirates Arab (UEA) dan Arab Saudi tentunya.

Antipati tersebut sangat bisa dipahami. Pasalnya, reaksi Israel membombardir Gaza dan memaksa penduduk Gaza untuk mengevakuasi diri ke luar kawasan Gaza Utara dan kota Gaza ke wilayah selatan Gaza akan berujung pada pendudukan yang tidak bisa diprediksi sampai kapan berlangsung di satu sisi dan akan menciptakan bencana kemanusiaan di sisi lain.

Meskipun berdalih untuk membasmi Hamas, pendudukan akan dipandang oleh masyarakat dunia dan negara-negara Arab sebagai penjajahan baru dan pengingkaran atas kesepakatan "two states solution".

Walhasil, akan muncul demonstrasi masif di seluruh dunia, terutama di negara-negara Arab, yang akan memaksa autokrat-autokrat Timur Tengah menyerap aspirasi rakyatnya untuk menghindari "Arab Spring" jilid dua.

Massa anti-Israel yang menyuarakan pembelaan atas Palestina bisa berujung pada aspirasi antiautokrat di negaranya masing-masing jika autokrat-autokrat Timur Tengah gagal menyerap aspirasi tersebut.

Karena itu, suara bulat menolak pendudukan Gaza oleh Israel muncul dari Liga Arab. Reaksi Israel berpeluang memunculkan "Existential Threat" bagi aristokrat-aristokrat Timur Tengah jika mereka tidak menyesuaikan aspirasi kekuasaannya dengan aspirasi publik yang berkembang.

Begitu pula dengan pernyataan penundaan atas tindak lanjut rencana normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi dan Israel oleh Riyadh.

Sementara itu, serangan dadakan Hamas juga berpeluang semakin merusak reputasi geopolitik Amerika Serikat di Timur Tengah. Baik karena serangan itu sendiri, maupun karena reaksi Israel atas serangan dadakan tersebut.

Nyatanya, Amerika Serikat baru saja melakukan terobosan diplomatik dengan Iran. Amerika Serikat bersedia membatalkan pembekuan aset Iran di Amerika sekitar 6 miliar dollar AS (dibekukan setelah Revolusi Mullah 1989) sebagai konsesi untuk pembebasan beberapa warga Amerika Serikat yang ditahan oleh pemerintah Iran.

Otomatis, serangan Hamas mendelegitimasi langkah Amerika Serikat tersebut, karena seolah-olah pembatalan pembekuan aset Iran di negara Paman Sam berimbas kepada penambahan "leverage" militer kepada proksi-proksi militer Tentara Garda Nasional Iran, mulai dari Hamas, Hizbullah, dan beberapa milisi Syiah di Suriah.

Kesan yang muncul adalah Amerika Serikat secara tidak langsung memberikan modal tambahan kepada Iran untuk meningkatkan produksi roketnya untuk kemudian disuplai kepada Hamas, Hizbullah, dan bahkan Rusia.

Artinya, konsesi yang dibuat Amerika Serikat dengan Iran memang tidak menambah ancaman dari sisi Iran sendiri, tapi justru dari proksi-proksi yang dipakai Iran sebagai perisai militernya melawan Israel dan Amerika Serikat.

Namun celakanya, reaksi Amerika Serikat atas serangan dadakan yang diterima Israel juga memperburuk citra geopolitik negeri Paman Sam tersebut. Bantuan militer Amerika Serikat ternyata digunakan oleh Israel tidak saja untuk melumpuhkan Hamas, tapi sekaligus untuk menduduki Gaza.

Sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media, Amerika Serikat menambah anggaran bantuan untuk Israel, yang membuat Israel sebagai negara penerima bantuan Amerika Serikat terbesar sejak perang dunia kedua, lalu mengirimkan sokongan kapal induk (aircraft carrier) dan beberapa jenis pesawat tempur pendukungnya, serta bantuan amunisi, yang semuanya akan menambah kepercayaan diri Israel dalam ‘melampiaskan amarahnya’ di Gaza.

Sebagaimana ditulis oleh Suzanne Maloney di dalam analisisnya, langkah Amerika Serikat tersebut sekaligus membatalkan "exit strategy" Amerika Serikat dari Timur Tengah, karena yang terjadi adalah sebaliknya, Amerika Serikat justru semakin aktif di sana atas nama membela Israel.

Dengan kata lain, kebijakan "Pivot to Asia" yang dicanangkan oleh pemerintahan Barack Obama, lalu dilanjutkan oleh Donald Trump dan Joe Biden, akan semakin sulit diwujudkan.

Energi negeri Paman Sam yang semestinya digunakan untuk Asia Pasifik justru kembali terserap oleh urusan Ukraina dan Israel. China dan Rusia tentu akan menjadi penikmat utama dari langkah agresif baru Amerika Serikat tersebut.

Bantuan militer masif untuk Israel akan mengalihkan sebagian kekuatan dan kemampuan Amerika Serikat dalam menopang Ukraina, yang tentu saja hal itu sangat diharapkan oleh Rusia dalam kurun waktu setahun belakangan.

Sudah bukan rahasia lagi, bantuan Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa adalah faktor penting yang membuat Ukraina hingga hari ini masih berdiri tegak melawan Rusia.

Jika kapasitas Amerika Serikat dalam memberikan bantuan kepada Ukraina menjadi berkurang, karena Amerika Serikat harus berbagi konsentrasi dengan urusan Israel, maka Rusia adalah pihak pertama yang paling diuntungkan.

Pun bertambahnya fokus Amerika Serikat, dari Ukraina ke Israel, akan membuat cengkeraman Amerika Serikat di Asia Pasifik semakin melemah dan berpeluang teralihkan secara perlahan.

Tentu kondisi tersebut menjadi berita gembira bagi China yang sudah sejak satu dekade lalu semakin agresif membangun kekuatan militer di kawasan Asia Pasifik.

Kekuatan yang menopang dominasi Amerika Serikat di Asia Pasifik akan ikut semakin terkuras oleh urusan Israel. Apalagi, di sisi lain China justru tidak hanya semakin agresif secara militer, tapi juga secara ekonomi di Asia.

Proyek-proyek Silk Road (jalur sultra) China di Asia semakin menekan pengaruh ekonomi Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik.

Lebih dari itu, di Timur Tengah reputasi Amerika Serikat akan semakin rontok, setali tiga uang dengan yang dialami oleh Israel, karena segala bantuan militer dan finansial yang diberikan oleh Amerika Serikat justru digunakan oleh Israel untuk menduduki Gaza, yang justru ditolak oleh negara-negara anggota Liga Arab.

Di sisi lain, Iran akan semakin dilirik oleh negara-negara Arab sebagai salah satu faktor kunci untuk menghadirkan stabilitas di Timur Tengah.

Sebagaimana disebutkan di atas, akibat aksi militer Israel di Gaza, Arab Saudi akhirnya lebih memprioritaskan perbaikan relasi diplomatik dengan Iran dan Suriah ketimbang dengan Israel.

Dan sudah bukan rahasia lagi bahwa "peace broker" antara ketiga negara tersebut adalah China dan Rusia, bukan Amerika Serikat.

Artinya, ke depan, stabilitas Timur Tengah akan jauh lebih bergantung kepada China dan Rusia, ketimbang Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Pun tak berbeda dengan Asia Pasifik, cengkeraman ekonomi China juga semakin kuat di Timur Tengah. China menggelontorkan miliaran dollar untuk menopang proyek-proyek strategis para autokrat Timur Tengah untuk memuluskan kepastian pasokan migas ke China.

Di sinilah paradoksnya nanti. Bahwa di satu sisi reaktivasi keterlibatan Amerika Serikat di Timur Tengah via Israel justru bergerak berlawanan dengan delegitimasi dan penurunan pengaruh Amerika Serikat di sana karena peningkatan sentimen anti-Israel akan berbanding lurus dengan peningkatan sentimen anti-Amerika.

Sementara di sisi lain, stabilitas Timur Tengah akan semakin jauh dari harapan di satu sisi dan ancaman teror di seluruh dunia akan semakin meningkat di sisi lain.

Pendudukan Gaza oleh Israel potensial pula akan mereaktivasi banyak faksi dan sel terorisme di seluruh dunia, yang sewaktu-waktu akan meledak di tempat dan waktu yang semakin tak terprediksi.

Sebagaimana pengalaman terdahulu, sel-sel terorisme tersebut sebagian besar untuk Asia ada di Indonesia dan Malaysia. Artinya, tingkat karawanan nasional kita atas terorisme akan semakin meningkat.

Bahkan sebelum konflik ini bermula, kepolisian Indonesia sudah sangat sering melakukan penangkapan sel-sel teroris, yang sebagian lokasinya justru tidak jauh dari Jakarta atau kota besar lainnya.

Artinya, kewaspadaan nasional harus ikut ditingkatkan. Bukan saja dari potensi demonstrasi anti-Israel yang diperkirakan akan sering terjadi pada hari-hari mendatang, tapi juga potensi ledakan bom sporadis di lokasi-lokasi strategis yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional apalagi menjelang pemilihan umum nanti.

Terakhir, lagi-lagi situasi-situasi di atas akan menjadi kekalahan geopolitik bagi Israel, Amerika Serikat, G7, dan sistem ekonomi politik demokratis, seiring dengan semakin matangnya reputasi China, Rusia, dan BRICS Plus sebagai alternatif sistem ekonomi politik bagi negara-negara yang sedang mencari sandaran ideologi dan geopolitik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Misteri Area 51: Konspirasi dan Fakta di Balik Pangkalan Militer Tersembunyi AS

Misteri Area 51: Konspirasi dan Fakta di Balik Pangkalan Militer Tersembunyi AS

Global
Kepala Politik Hamas Ucap Duka Mendalam pada Pemimpin Tertinggi Iran

Kepala Politik Hamas Ucap Duka Mendalam pada Pemimpin Tertinggi Iran

Global
Panas Ekstrem 47,4 Derajat Celcius, India Liburkan Sekolah Lebih Awal

Panas Ekstrem 47,4 Derajat Celcius, India Liburkan Sekolah Lebih Awal

Global
Israel Batal Sita Kamera Associated Press Setelah Panen Kecaman

Israel Batal Sita Kamera Associated Press Setelah Panen Kecaman

Global
Hari Ini, Irlandia dan Norwegia Akan Mengakui Negara Palestina Secara Resmi

Hari Ini, Irlandia dan Norwegia Akan Mengakui Negara Palestina Secara Resmi

Global
Pecah Rekor Lagi, Pendaki Nepal Kami Rita Sherpa Capai Puncak Everest 30 Kali

Pecah Rekor Lagi, Pendaki Nepal Kami Rita Sherpa Capai Puncak Everest 30 Kali

Global
Presiden Iran Meninggal, Puluhan Ribu Orang Hadiri Pemakaman Ebrahim Raisi

Presiden Iran Meninggal, Puluhan Ribu Orang Hadiri Pemakaman Ebrahim Raisi

Global
Rangkuman Hari Ke-818 Serangan Rusia ke Ukraina: 3.000 Napi Ukraina Ingin Gabung Militer | 14.000 Orang Mengungsi dari Kharkiv 

Rangkuman Hari Ke-818 Serangan Rusia ke Ukraina: 3.000 Napi Ukraina Ingin Gabung Militer | 14.000 Orang Mengungsi dari Kharkiv 

Global
Belum Cukup Umur, Remaja 17 Tahun di India Pilih Partai PM Modi 8 Kali di Pemilu

Belum Cukup Umur, Remaja 17 Tahun di India Pilih Partai PM Modi 8 Kali di Pemilu

Global
Menlu AS Tuding ICC Hambat Gencatan Senjata Perang Israel-Hamas

Menlu AS Tuding ICC Hambat Gencatan Senjata Perang Israel-Hamas

Global
Menteri Keamanan To Lam Resmi Terpilih Jadi Presiden Vietnam

Menteri Keamanan To Lam Resmi Terpilih Jadi Presiden Vietnam

Global
Anggota Kabinet Perang Israel Ron Dermer Sebut Tak Ada Kelaparan di Gaza, Kok Bisa? 

Anggota Kabinet Perang Israel Ron Dermer Sebut Tak Ada Kelaparan di Gaza, Kok Bisa? 

Global
Amelia Earhart, Perempuan Pertama yang Melintasi Atlantik

Amelia Earhart, Perempuan Pertama yang Melintasi Atlantik

Internasional
6 Fakta soal Helikopter Presiden Iran, Termasuk Buatan AS dan Sudah Usang

6 Fakta soal Helikopter Presiden Iran, Termasuk Buatan AS dan Sudah Usang

Global
Rusia Umumkan Mulai Latihan Peluncuran Senjata Nuklir Taktis

Rusia Umumkan Mulai Latihan Peluncuran Senjata Nuklir Taktis

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com