Selama proses hukum hampir 22 tahun, ExxonMobil berupaya menyanggah dan membatalkan gugatan penduduk ini selama sembilan kali.
Dalam gugatan yang diajukan pada Juni 2001 di Pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat itu disebutkan ExxonMobil menyewa tentara Indonesia untuk menjaga keamanan dengan bayaran disebutkan 500.000 dollar AS (atau saat ini setara dengan nilai Rp 7,3 miliar) per bulan.
Dokumen pengadilan menyebutkan pada Februari 2001, jumlah tentara yang dikerahkan ke Aceh sebanyak 5.500 personel, dan 1.000 di antara mereka dipekerjakan menjaga ExxonMobil atau sekitar 20 persen.
Bentuk penyiksaan yang diceritakan seorang penggugat lain adalah alat kelaminnya disetrum dan diancam akan dieksekusi di lubang berisi setumpuk tulang tengkorak manusia.
Seorang penggugat lain menggambarkan diserang secara seksual ketika tengah hamil besar.
Namun apa yang dialami oleh John Doe dan Jane Doe ini memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat secara resmi diperdengarkan di pengadilan Washington DC.
Kuasa hukum penggugat, Agnieszka, mengatakan penduduk yang menjadi korban ini "hanya menjalani kehidupan sehari-hari…kehidupan damai, seperti menggarap sawah, melakukan kegiatan di desa mereka…Tingkat kekerasan ini gila dan tidak dapat diprediksi. Ada yang tengah membeli nasi di warung (saat diserang)."
Perusahaan raksasa ExxonMobil menyewa tiga firma hukum besar dan berusaha menggagalkan gugatan ini dengan berbagai cara.
"Seharusnya tidak butuh waktu lama agar cerita mereka didengar..bukan 20 tahun kemudian setelah melewati berbagai ganjalan legal," kata Agnieszka.
"Kekuatan yang kami bawa adalah dengan kesaksian penggugat yang solid. Mereka memiliki saksi mata dan mereka ingin mencari keadilan," tambahnya.
Pengacara HAM dari Firma Hukum Cohen Milstein ini mengatakan harapannya agar kasus ini dapat membuat perusahaan besar "lebih berhati-hati" dalam operasional mereka terutama menyangkut keamanan penduduk sipil.
"Masih ada lebih banyak lagi korban. Sebagian dari mereka terlalu takut untuk direkam pembicaraan mereka," cerita Terry kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin.
Faktor utama untuk menyeleksi penggugat, kata Terry, adalah "mereka yang mengalami luka-luka atau memiliki anggota keluarga yang terbunuh dalam periode waktu itu dan dapat menggambarkan siapa yang bertanggung jawab atas luka-luka atau kematian."
"Mereka harus dapat membedakan antara militer reguler di Aceh yang ditempatkan untuk mengatasi konflik dengan GAM dan pasukan yang khusus dipekerjakan untuk ExxonMobil."
"Mereka juga perlu menjelaskan tempat-tempat mereka mengalami luka-luka atau kematian (anggota keluarga) dan bahwa tempat-tempat itu bisa dikaitkan dengan lokasi operasional ExxonMobil."
"Kesebelas orang itu memenuhi kriteria ini. Tentu, kami bisa mencari penggugat lain, namun tentu kami ingin jumlah yang lebih bisa ditangani dan mereka 100% yakin tentang peristiwa kekerasan terkait operasional ExxonMobil."
Mobil Oil Indonesia, yang dibeli oleh Exxon pada 1999 dan menjadi ExxonMobil Corporation, pertama kali beroperasi di Aceh pada awal tahun 1970 setelah menemukan cadangan gas alam di dekat kota Lhoksukon.
Perusahaan itu disebutkan meraih pendapatan tahunan lebih dari 1 miliar dollar AS pada akhir 1990-an.
Sebelum Mobil merger dengan Exxon, fasilitas di Aceh Utara ini memproduksi 25 persen pendapatan minyak dan gas perusahaan tersebut.
Salah satu eksekutif ExxonMobil menggambarkan Arun kepada Wall Street Journal sebagai "permata dalam mahkota perusahaan."
Namun pada awal tahun 2000, permata ini terancam. GAM dan kelompok pengacau lain mulai menculik dan menyerang karyawan ExxonMobil.
Menurut surat gugatan, ExxonMobil membayar tentara Indonesia 500.000 dollar AS sebulan untuk melindungi ladang gas itu. Tetapi kekerasan berlanjut dan ExxonMobil semakin khawatir.
Tentara yang disewa tidak hanya menjaga fasilitas, namun juga berpatroli di desa-desa sekitar dan mendirikan banyak pos-pos penjagaan.
Baca juga: Aktivis Lingkungan Aceh Farwiza Farhan Masuk Daftar Sosok Inspiratif TIME 2022
Ketika tengah hamil delapan bulan pada 2001, Jane Doe I mengaku diserang tentara. Menurutnya, tentara itu memaksanya untuk melompat berulang kali.
Perempuan tersebut mengidentifikasi penyerangnya sebagai tentara dengan baret bertuliskan 113. Tentara itu, kata dia, bekerja untuk ExxonMobil.
Tentara itu tiba dan berangkat dengan truk dengan logo untuk unit tentara dari batalion 113 dan stiker merah bertuliskan, "Allah Maha besar".
Kesaksian ini dikuatkan oleh keterangan saksi lain yang dapat mengidentifikasi truk yang sama dengan stiker yang sama karena setiap hari menunggu bus sekolah di luar fasilitas ExxonMobil.
Dokumen memorandum opini ini juga menyebutkan - mengutip dari laporan surat kabar lokal dari dokumen-dokumen Exxon sendiri - bahwa Batalion 113 ditempatkan di dan di dekat berbagai lokasi yang dioperasikan Exxon.
Atas bukti-bukti itu, pengadilan memutuskan bahwa juri " dapat menyimpulkan, terdapat hubungan kerja antara tentara dengan terdakwa (ExxonMobil)… terdapat bukti cukup dari hubungan fungsional antara tindakan tentara dengan hubungan kerjanya dengan terdakwa".
Dia mengaku suaminya (John Doe VIII) ditembak mati personel keamanan ExxonMobil hingga tewas saat bekerja di sawah pada 4 Desember 2000.
Jane Doe II menyaksikan oknum tentara berada di desanya, mendengar tembakan, dan melihat seorang lelaki ditembak tentara di sawah.
Kepala desa di tempat tinggal penggugat bersaksi, pada pagi hari, ia menyaksikan sejumlah truk militer dan prajurit tiba di desa dari Klaster 4 di dalam wilayah ExxonMobil.
Pengadilan menulis, "terdakwa mengatakan ,'tidak ada bukti' yang menghubungkan penembakan dengan ExxonMobil. Mereka salah."
Pada Desember 2020, jumlah tentara yang ditempatkan di seputar Ladang Gas Arun, mendekati 1.000 personel, atau rata-rata 20 persen dari total jumlah tentara di wilayah itu.
Dia mengeklaim bahwa personel keamanan ExxonMobil membunuh dan menghilangkan jenazah suaminya, John Doe IX, pada 17 September 2000.
Dia mengatakan suaminya adalah pedagang ikan keliling yang sering berjualan di di pasar Desa Paya Brandang. Ini adalah lokasi kamp pekerja yang dikelola oleh Exxon dan dijaga tentara.
Dia menunjukkan bukti dari saksi mata yang bekerja di kamp itu bahwa suaminya dibunuh oknum tentara di sana.
Dia memberikan kesaksian bahwa pada 4 Desember 2000, suaminya, John Doe X, dibunuh oleh oknum tentara, (hari yang sama dengan pembunuhan suami Jane Doe II) saat bekerja di sawah di kampung mereka yang berjarak satu kilometer dari Klaster 4.
Berdasarkan keterangan dua saksi mata, oknum tentara penembak suaminya adalah penjaga gerbang ExxonMobil yang sering menggertak anak-anak dalam perjalanan dari dan ke sekolah.
Seorang tetangga yang menyaksikan pembunuhan John Doe X, berjalan setiap hari melewati Klaster 4. Dia bersaksi bahwa ia mengenal enam tentara yang memang berjaga-jaga di dalam dan luar kluster.
Berdasarkan bukti itu, pengadilan memutuskan, juri dapat menemukan bahwa tentara yang membunuh suami Jane Doe IV adalah tentara yang sama yang disewa dan diawasi oleh terdakwa, ExxonMobil.
Baca juga: Buah Jernang dari Aceh Jadi Incaran China
Dia menyaksikan pada Januari 2001, suaminya, John Doe I (yang telah meninggal pada 2003), dibawa pulang ke rumahnya oleh tentara setelah beberapa hari menghilang.
Saat tiba di rumah, ia menyaksikan suaminya hanya mengenakan pakaian dalam, tangannya dipotong, dan kehilangan salah satu matanya.
Ia menambahkan, suaminya sangat kesakitan, syok, dan menangis sepanjang malam.
Kemudian ketika bisa berbicara, suaminya menceritakan bahwa ia diculik oleh tentara yang bekerja di Poin A--tempat pasukan pengaman ExxonMobil. Di sana tangannya dipotong dan matanya diambil.
Ia bercerita kepada istrinya bahwa ia dibawa oleh "Tentara Exxon" yang membawanya ke pos Exxon dan menyiksanya.