INTERNATIONAL Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional secara mengejutkan pada Jumat, 17 Maret 2023, mengeluarkan surat penangkapan terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin, atas tuduhan kejahatan perang yang terjadi di Ukraina. Tak hanya Putin, Komisaris Hak Anak di Kantor Presiden Rusia itu, Maria Lvova-Belova, juga turut dinyatakan oleh ICC agar segera ditangkap serta diadili.
Alasannya, kedua orang tersebut dinilai telah bertanggung jawab atas tindakan kejahatan perang, yaitu mendeportasi anak-anak Ukraina secara tidak sah ke wilayah Rusia.
ICC sejatinya merupakan lembaga peradilan internasional yang memiliki tugas untuk mengadili berbagai pelanggaran HAM berat, seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan terkait agresi. Lembaga peradilan ini didirikan tahun 2002 dan berkantor pusat di Den Haag, Belanda.
Baca juga: Setiap Upaya Penangkapan Putin, Berarti Deklarasi Perang Melawan Rusia
ICC memiliki wewenang memimpin penyelidikan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh besar, pemimpin negara, serta pejabat-pejabat tingginya.
Penyelidikan ICC dilakukan melalui kantor kejaksaan yang saat ini dipimpin seorang pengacara, yang juga eks Asisten Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkebangsaan Inggris, Karim AA Khan.
Ruang lingkup wewenangnya terbatas pada kejahatan yang dilakukan warga negara dari negara anggota, ataupun di wilayah negara anggota yang dilakukan oleh aktor-aktor lain. Saat ini, ICC beranggotakan 123 negara. Hal tersebut berdasarkan pada Statuta Roma yang ditandatangani 17 Juli 1998.
Berbagai kritik bermunculan terkait terbitnya surat penangkapan terhadap Putin dan Lvova-Belova. Salah satu kritik datang dari Joseph Kishore, Sekretaris Nasional Partai Kesetaraan Sosialis di Amerika Serikat (AS). Kishore menyampaikan bahwa status Rusia, AS, dan Ukraina sama, yaitu sama-sama bukan anggota dari perjanjian Statuta Roma yang mendorong terbentuknya ICC.
Ia bahkan mengkritik langkah ICC dengan mempertanyakan mengapa tidak melakukan hal serupa terhadap Presiden AS, George W Bush, atas dugaan kejahatan perang berupa invasi di berbagai negara. Kishore juga menyebut bahwa langkah yang dilakukan ICC tersebut murni tindakan politis, sebagai bentuk dukungan terhadap Ukraina di tengah ramainya tekanan komunitas internasional terhadap Rusia.
Hal itu, menurut dia, semakin memperjelas tujuan pemerintah AS dan NATO di tengah Perang Rusia-Ukraina, dengan melakukan backup terhadap ICC demi mempercepat terjadinya perubahan rezim di Moskwa saat ini.
Lantas, apakah benar bahwa lembaga peradilan internasional seperti ICC hanyalah alat bagi AS demi menerapkan “standar ganda” terhadap negara-negara yang berseberangan secara politik dengannya?
Beberapa bukti konkret secara historis memang menunjukkan terdapat keberpihakan yang dilakukan ICC dalam mendukung kepentingan AS di kancah internasional.
Pertama, ICC dalam peranannya tercatat tidak pernah mengadili berbagai kejahatan perang yang dilakukan pemimpin AS. Kritik Kishore tentang Presiden George W Bush dinilai relevan, apabila dikaitkan dengan serangkaian tindakan AS di Iraq dengan dalih preemptive strike terhadap potensi aktivitas terorisme, serta isu senjata pemusnah masal yang hingga kini ternyata tidak pernah terbukti.
Baca juga: Putin: Usulan China untuk Ukraina Bisa Jadi Dasar Perdamaian
Bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan Putin saat ini, AS selalu terlibat dalam berbagai fenomena pembantaian mengerikan di masa lalu, seperti meledaknya bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, perang di Korea Utara dan Selatan tahun 1950 – 1953, hingga pembantaian massal yang dipimpin AS dalam Perang Vietnam.
Kedua, AS nyatanya dapat mengontrol pergerakan dan memberikan sanksi terhadap penyidik ICC, meskipun AS tidak pernah mengakui yurisdiksi lembaga tersebut. AS diketahui memiliki kekhawatiran bahwa suatu saat ICC dapat digunakan untuk mendakwa dan menuntut pejabat pemerintahannya atas kasus kejahatan perang, baik yang terjadi di masa lalu maupun di masa datang.
Karena itu, Statuta Roma ICC yang ditandatangani Presiden AS ke-42, Bill Clinton, tidak pernah dikirimkan ke Senat untuk diratifikasi.
Pada 2020, pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump mengumumkan akan adanya pemberlakukan travel restriction dan sanksi ekonomi terhadap penyelidik ICC, setelah mereka diketahui memulai penyelidikan atas tuduhan kejahatan perang, terkait indikasi adanya tindakan penyiksaan, pemerkosaan, dan kekerasan seksual yang dilakukan personel militer AS di camp CIA Afghanistan.
Khan yang ketika itu baru saja diangkat sebagai jaksa di ICC, langsung membatalkan penyelidikan terhadap kasus penyiksaan tersebut pada 2021, tak lama setelah dia diangkat.
Ketiga, adanya larangan AS untuk membagikan sejumlah informasi kepada ICC terkait dugaan kejahatan perang oleh Rusia di Ukraina. Namun di saat bersamaan juga melakukan amandemen terkait larangan warganya untuk membantu ICC.
Departemen Pertahanan AS diketahui telah menolak untuk membagikan sejumlah informasi ke ICC, karena khawatir manuver tersebut dapat dimanfaatkan untuk menjerat pejabat dan militer AS dengan tudingan serupa. Penolakan tersebut diungkap oleh The New York Times, saat Menteri Pertahanan AS, Jenderal (Purn) Lloyd Austin, dengan tegas menolak untuk membagikan informasi terkait dugaan kejahatan perang di Ukraina.
Di balik adanya penolakan terkait pembagian informasi, Kongres AS telah menyetujui amandemen sejumlah peraturan agar warganya dapat membantu aktivitas ICC, yang sebelumnya justru mendapat pelarangan. Amandemen itu diberlakukan tentunya untuk membantu penyelidikan yang dilakukan Jaksa ICC, Karim Khan.
Hal itu menunjukkan bahwa AS pada dasarnya mendukung upaya ICC dalam mengumpulkan bukti-bukti kejahatan perang yang dilakukan Rusia, namun di saat bersamaan tidak ingin kejahatan perang para petingginya ikut dibongkar oleh ICC.
Adanya standar ganda dalam peradilan internasional pada hakikatnya semakin mengonfirmasi lekatnya unsur anarki dalam sistem internasional. Dalam perspektif ilmu hubungan internasional, anarki pada umumnya tidak diartikan sebagai kondisi dunia yang dilanda kekacauan, ketidakteraturan, atau konflik, namun lebih dimaknai kepada cerminan terhadap tatanan sistem internasional yang anarkis.
Dalam pandangan realis, negaralah yang menjadi aktor kekuatan utama di atas panggung internasional. Fenomena keberpihakan seperti yang terjadi pada ICC kali ini, menunjukkan bahwa peran kekuasaan suatu negara dalam tatanan global menjadi sangat diperhitungkan, bahkan dalam urusan menentukan siapa yang bersalah dalam suatu peradilan internasional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.