BEIJING, KOMPAS.com - Peran China belakangan ini semakin menonjol di sela-sela perang Rusia-Ukraina ketika konflik berlanjut ke tahun kedua.
Padahal, China mulanya terkesan hati-hati dalam menyikapi konflik ini, hingga muncul tuduhan dari Amerika Serikat (AS) bahwa Beijing mungkin mempertimbangkan pengiriman senjata ke Rusia sebagai sekutu dekat.
Lalu, apa sebenarnya rencana China di perang Rusia-Ukraina? Berikut pendapat para pakar yang dihubungi kantor berita AFP.
Baca juga: China Kalahkan AS dan Barat, Jadi Negara Tercanggih dalam Teknologi Penting
Perusahaan-perusahaan yang dikendalikan negara China hanya menjual drone yang tidak mematikan dan peralatan lainnya ke Rusia serta Ukraina, sehingga Moskwa beralih ke Iran untuk mendapat persenjataan.
Washington percaya sikap China itu mungkin akan berubah. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Januari 2023 mengeklaim, China mempertimbangkan untuk memberikan bantuan senjata mematikan ke Rusia.
Beijing langsung membantah klaim tersebut, dan sebaliknya menuduh AS mengipasi api perang dengan pengiriman senjata besar-besaran ke Pemerintah Ukraina.
AS belum memberikan bukti nyata bahwa China sedang mempertimbangkan pengiriman senjata ke Rusia, tetapi para ahli mengatakan kepada AFP ada beberapa kepercayaan terhadap klaim tersebut.
Beijing juga disebut bisa menjadi pengubah permainan (game changer) jika memasuki konflik ini.
Kemudian, China yang berusaha menggambarkan dirinya sebagai mediator, pekan lalu meluncurkan dokumen 12 poin untuk mewujudkan perdamaian, termasuk menghormati kedaulatan teritorial semua negara.
Bertepatan dengan peringatan pertama invasi Rusia, dokumen tersebut mendesak semua pihak mendukung Rusia-Ukraina bekerja ke arah yang sama dan melanjutkan dialog langsung secepat mungkin.
Dokumen itu dipuji oleh PBB dan Rusia, tetapi diragukan para sekutu Ukraina.
Kepala NATO Jens Stoltenberg menyatakan, "(Beijing) tidak memiliki banyak kredibilitas karena mereka belum mampu mengecam invasi ilegal ke Ukraina."
Sementara itu, Direktur Program Asia di German Marshall Fund yakni Bonnie Glaser mengatakan kepada AFP, dokumen itu "sebagian besar merupakan ringkasan dari pernyataan China selama setahun terakhir".