Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gunung Berapi di Indonesia Berisiko Picu Kekacauan Dunia Lewat Selat Malaka, Mengapa Bisa?

Kompas.com - 27/01/2023, 19:27 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Kerusakan pada infrastruktur lokal dan rantai pasokan, dengan penerbangan yang juga bakal sangat terpengaruh, ditambah dengan penurunan suhu global sebesar 1 derajat Celsius, bisa menghilangkan sekitar US$2,51 triliun (Rp37.877 triliun) dari PDB global selama periode lima tahun.

Angka itu membuat perkiraan US$5 miliar (Rp75 triliun) yang hilang dari ekonomi global akibat letusan VEI4 di Gunung Eyjafjallajökull, Islandia, menjadi begitu kecil.

Letusan VEI4 terakhir Merapi terjadi pada 2010.

Baca juga: [HOAKS] TNI Pasang 200 Rudal di Selat Malaka untuk Serang Malaysia

Letusan VEI6 di Merapi kemungkinannya lebih rendah karena merupakan periode ulang, dengan perkiraan waktu rata-rata antar letusan adalah 750 tahun.

Namun, taruhannya cukup tinggi untuk menentukan prospek secara serius, kata Lara Mani, ahli vulkanologi di Pusat Studi Risiko Eksistensial Universitas Cambridge.

Merapi adalah salah satu dari beberapa gunung berapi aktif di wilayah tersebut. Letusan VEI4, VEI5 dan VEI6, kata Mani, "bisa benar-benar mengganggu selat. Dan masalahnya, saat gunung berapi mulai beraktivitas, ia tidak memberi tahu Anda kapan akan berhenti."

Bayangkan salah satu gunung berapi aktif, seperti Semeru di Jawa, Indonesia menghasilkan letusan yang masuk ke level VEI5 atau VEI6.

Magma menyembur dari kawah. Abunya menyebar ke langit. Getarannya mengguncang kota-kota setempat.

Jika angin mengarah ke barat daya, semua lalu lintas udara di Selat Malaka dihentikan. Abu juga jatuh ke selat itu. Batu apung dalam jumlah besar menumpuk di permukaan laut.

Gempa besar dan relatif dekat akan menjadi ancaman dengan skala yang sama. Ini dapat memicu tsunami yang menghantam selat, seperti Boxing Day tsunami pada 2004.

Itu juga akan menyebabkan arus bawah air mengalir deras karena berat sedimen yang dibawanya –sedimen-sedimen yang bergerak cepat dan tercampur– yang membelah dasar laut.

"Itu biasanya bisa memutuskan kabel," kata Mani.

Dia menjelaskan, dalam letusan Tonga atau letusan VEI5 Hunga Tonga-Hunga Ha'apai pada Januari 2022, arus sedimen itulah yang memutus kabel, menyebabkan pemadaman internet regional.

Baca juga: Gempa Tonga M 7,1 Picu Peringatan Tsunami

"Arus yang membawa sedimen-sedimen itu juga mengubur kabel-kabel, membuat pemulihannya semakin sulit," jelas dia.

Sisi baiknya, Tristan Smith dari University College London menyebut, bencana alam ini tidak begitu berdampak pada pengiriman global, jika dibandingkan dengan dampak Ever Given.

Smith adalah seorang ahli perkapalan di institut energi di universitasnya.

Dia mengatakan bahwa mesin kapal harus mampu menghadapi abu.

Sementara untuk tingkat berbahayanya, tsunami lebih berbahaya bagi orang-orang di darat, tempat gelombang pecah dan paling besar, daripada di laut.

Dan mungkin dalam kasus letusan, zona eksklusi akan diumumkan, memaksa kapal-kapal mengambil rute yang berbeda.

Pengubahan rute kapal akan berdampak pada perdagangan global, kata Smith, tetapi sistem pada akhirnya harus bisa menanganinya.

“Kalau ada kapal yang tertahan tiga hari, karena harus menempuh perjalanan jauh keliling Indonesia, yang perlu dilakukan kapal hanyalah menambah kecepatannya satu atau dua knot dan tidak ada penundaan,” jelas dia.

Masih ada masalah pesawat yang di-grounded. Letusan Eyjafjallajökull memicu larangan terbang di wilayah udara tersebut selama enam hari, mengakibatkan gangguan bagi jutaan orang.

Baca juga: Gunung Home Reef di Tonga Meletus 8 Kali, Pelaut dan Pilot Diminta Waspada

Lebih buruk lagi, putusnya kabel-kabel di bawah laut akan menyebabkan kekacauan ekonomi.

Mani mengatakan, triliunan dolar mengalir melalui kabel-kabel tersebut setiap hari dan itu pada dasarnya menopang pasar keuangan dunia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com