Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi Estadio Nacional Peru yang Tewaskan 300 Suporter Masih Tinggalkan Misteri, Ini Kisahnya

Kompas.com - 03/10/2022, 22:00 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Sementara itu pihak pemerintah menyalahkan kelompok agitator Trotskyis.

Jorge Salazar, seorang jurnalis dan profesor yang menulis buku tentang bencana itu, mengatakan masyarakat Peru pada saat itu sedang sangat bergejolak.

"Itu tahun enam puluhan, masanya the Beatles, Fidel Castro lagi mode - semuanya di dunia berubah," katanya.

Baca juga: 14 Tragedi Sepak Bola di Dunia yang Tewaskan Banyak Suporter di Stadion

"Di Peru, orang-orang untuk pertama kalinya bicara tentang keadilan sosial. Ada banyak demonstrasi, gerakan buruh dan partai komunis. Kelompok-kelompok kiri cukup kuat, dan selalu terjadi bentrokan antara polisi dan rakyat," terang Salazar.

Banyak penggemar sepak bola yang lolos dari gas air mata, tampaknya ingin membalas dendam pada polisi. Dua polisi dilaporkan tewas di dalam stadion, dan pertempuran berlanjut di jalan-jalan di luar.

Lima puluh tahun kemudian, anggota Kongres Peru Alberto Beingolea, meminta rakyatnya mengheningkan cipta selama satu menit untuk menghormati korban tewas.

Dia meragukan kalau kekerasan itu telah direncanakan sebelumnya oleh pemerintah atau kaum revolusioner.

Tapi Beingolea tidak menepis gagasan bahwa ada orang-orang yang meninggal karena luka tembak.

"Dua kematian seperti itu mungkin terjadi, terutama jika Anda berada dalam iklim kekacauan - seperti yang terjadi di era itu," katanya.

"Ketika seseorang menyebabkan kekacauan, polisi harus merespons dan kapan saja, itu dapat mengakibatkan penembakan," jelas Beingolea.

Peru tidak pernah melakukan upaya serius untuk mengusut tuntas penyebab bencana di Estadio Nacional, dan ini mungkin tidak akan pernah terjadi.

Yang kita ketahui adalah bahwa mereka yang dihukum dapat dihitung dengan dua jari.

Jorge Azambuja, komandan polisi yang memberi perintah untuk menembakkan gas air mata, dijatuhi hukuman 30 bulan penjara.

Terhukum lainnya adalah Hakim Castaneda sendiri. Ia didenda karena terlambat menyerahkan laporannya enam bulan, dan karena gagal menghadiri semua 328 otopsi seperti yang seharusnya dia lakukan. Laporannya ditolak.

Sekarang, Castaneda sudah meninggal.

Baca juga: Machu Picchu, Satu dari Tujuh Keajaiban Dunia yang Baru, Terancam Kebakaran Hutan di Peru

Ia berkata pada 2000, "Saya bertanya di mana-mana tentang mayat-mayat itu tetapi tidak pernah menemukan apa pun. Mereka mengatakan -tanpa konfirmasi resmi dalam bentuk apa pun- mereka dikebumikan di Callao".

Kepala Institut Olahraga Peru, salah satu dari empat peraih medali Olimpiade negara itu, Francisco Boza, melakukan hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, yaitu menghubungi keluarga yang terdampak tragedi tersebut dan mengundang mereka ke misa yang sudah lama tertunda di Katedral Lima.

Namun masih belum ada plakat yang dipajang di Estadio Nacional untuk memperingati mereka yang tewas dalam bencana paling mematikan sepanjang sejarah sepak bola.

Wawancara dengan Benjamin Castaneda, Jose Salas, dan Jorge Salazar dilakukan pada tahun 2000.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com