Ungkapan "Perang Dingin 2.0" digunakan untuk merujuk pada meningkatnya ketegangan antara Washington dan Beijing, tetapi juga antara Uni Eropa dan China.
Pada Maret 2019, Komisi Uni Eropa secara resmi menyatakan China sebagai "saingan sistemik."
Baca juga: Arti Penting Mariupol bagi Ukraina dan Rusia
Dari perspektif China, terminologi itu mentransfer pemikiran usang dari abad ke-20 ke abad ke-21. Beijing cenderung melihat Washington, mitra internasionalnya, dan NATO secara sepihak mencari konfrontasi dengan China dan juga dengan Rusia.
Ilmuwan politik Michal Lubina dari Universitas Jagiellonian di Krakow, yang telah meneliti hubungan Rusia-China selama bertahun-tahun, mengatakan kepada DW bahwa dunia sedang bergerak menuju Perang Dingin baru, dengan China sebagai musuh utama Barat.
"Tentu saja, strategi Indo-Pasifik adalah semacam penahanan baru China," katanya, seraya menambahkan bahwa Beijing tidak sepenuhnya salah jika berpikir bahwa Barat sedang mengatur strategi untuk melawan kekuatan China.
Akan tetapi Lubina menekankan bahwa baik China maupun Rusia bukanlah dermawan tanpa pamrih, yang dicegah untuk "berkontribusi pada perdamaian, stabilitas, dan pembangunan dunia," seperti yang dikatakan Wang Yi.
Menurutnya, bukan mentalitas Perang Dingin atau pola pikir kuno abad ke-20 yang memicu perang agresi di Ukraina, melainkan semata-mata keputusan pemerintah Rusia.
"Tidak ada ancaman apa pun dari Ukraina," kata Lubina.
Baca juga: China Sebut Rusia adalah Anggota G20 yang Penting dan Tak Bisa Diusir oleh Negara Lain
Analis mengatakan pembicaraan China tentang mentalitas Perang Dingin dan pembenaran Rusia bahwa tindakannya dimaksudkan untuk mempertahankan diri dari NATO adalah munafik.
Rusia dan China dinilai sama-sama berpikir dan bertindak dalam kategori Perang Dingin.
"Mereka percaya bahwa negara-negara kecil dan menengah tidak memiliki agenda," kata Lubina.
"Saya bahkan akan mengatakan bahwa, jika Rusia menganggap serius Ukraina, tidak akan ada perang. Karena dengan begitu mereka juga akan menganggap serius tentara Ukraina," tambahnya.
Fakta bahwa Taiwan memiliki gagasannya sendiri tentang masa depannya juga tidak dapat diterima oleh China, yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari negaranya.
Baca juga: China dan Arab Saudi, Dua Sekutu Baru?
Perilaku China disebut memperjelas bahwa kepemimpinan di Beijing melihat dunia dalam lingkup pengaruh, di mana beberapa negara besar sendiri yang memutuskan bagaimana dunia diatur.
Pada awal 2010, Menteri Luar Negeri China Yang Jiechi mengatakan kepada negara-negara Asia Tenggara: "China adalah negara besar. Negara-negara lain kecil. Begitulah faktanya." Yang menyiratkan bahwa negara-negara Asia Tenggara harus tunduk pada klaim kepemimpinan China, sepenuhnya dalam tradisi Perang Dingin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.