RIYADH, KOMPAS.com - Menyusul laporan Wall Street Journal bahwa Presiden China, Xi Jinping, akan menerima undangan untuk melawat ke Arab Saudi pada Mei mendatang, Riyadh mengindikasikan bakal menerima mata uang Yuan sebagai alat pembayaran minyak, ketimbang dollar AS.
Arab Saudi menjual sepertiga ekspor minyaknya ke China dan sejak awal tahun menggeser Rusia sebagai sumber minyak terbesar.
Transaksi minyak menggunakan yuan akan membantu menciptakan sistem tandingan dalam pembayaran internasional, di mana mata uang China akan sama pentingnya seperti dollar AS.
Baca juga: Dua Tahun Penanganan Covid-19 China Tak Berubah, Warga China Mulai Suarakan Frustrasi
Kesepakatan dengan Arab Saudi menjadi relevan di tengah invasi Rusia terhadap Ukraina.
Pasalnya, Moskwa bisa menghindari sanksi AS, jika mengadopsi yuan untuk transaksi luar negeri. China selama ini bersikeras netral. Namun, AS dan Eropa mencurigai Beijing secara diam-diam membantu Rusia.
Namun begitu, analis meyakini pengumuman Saudi untuk mengadopsi yuan adalah peringatan terhadap negara barat. Lembaga penelitian kebijakan luar negeri Eropa, EFCR, mencatat cara serupa pernah digunakan Saudi pada 2019 silam.
Saudi Arabia is in talks to price its oil sales to China in yuan, people familiar with the matter said. The move would dent the U.S. dollar's dominance of the oil market. https://t.co/cqwq1xeoYF
— The Wall Street Journal (@WSJ) March 15, 2022
China sering digunakan sebagai "alat tawar” dalam hubungannya dengan AS, tulis EFCR.
"Contohnya, hanya beberapa bulan setelah pembunuhan wartawan Saudi Jamal Khashoggi, putra mahkota Pangeran Mohammed bin Salman menggunakan lawatannya di Asia untuk memengaruhi perdebatan di AS dan Eropa soal penjualan senjata ke negaranya.”
Relasi antara Saudi dan AS banyak mendingin sejak pemerintahan Joe Biden, terutama perihal kejahatan HAM di Yaman. Menyusul invasi Rusia, AS dan Eropa mencoba menjaring dukungan negara teluk untuk menambah produksi minyak. Tapi permintaan itu ditolak.
"Negara-negara teluk meyakini, daya tawar atau daya tekan Washington sudah banyak melemah dibandingkan dulu,” kata Cinzia Vianco, peneliti Timur Tengah di ECFR. "Mereka khawatir Timur Tengah tidak lagi dianggap penting.”
Kekhawatiran itu menjadi celah masuk bagi China. Sejak beberapa tahun terakhir, Beijing perlahan mempererat hubungan dagang dengan Saudi. Pada 2020, Riyadh menjadi mitra dagang terbesar bagi China di kawasan teluk.
Negeri tirai bambu itu juga berperan penting dalam proyek modernisasi masa depan yang digulirkan bin Salman, Vision 2030. Proyek raksasa itu ingin menyiapkan Saudi menyambut berakhirnya era minyak, antara lain lewat pembangunan infrastruktur.
China sebaliknya memiliki program investasi infrastruktur, Belt and Road Initative, yang digunakan untuk membiayai pembangun jalan, pelabuhan atau bandar udara di Asia dan Afrika.
Sebab itu Sebab itu pula kedua negara mendaulat hubungan mereka sebagai "kemitraan strategis komprehensif.”
Baca juga: Merenungkan Indonesia Melalui China
Sejumlah analis meyakini hubungan antara China dan Timur Tengah memasuki babak baru. Untuk pertama kalinya relasi kedua pihak tidak lagi semata didefinisikan dari sudut ekonomi.