Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Merenungkan Indonesia Melalui China

Kompas.com - 22/03/2022, 14:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA bulan Agustus 1945, Mao Tse Tung (Mao Zedong) dan Zhou Enlai terbang dari Yan'An ke ibu kota Tiongkok di masa perang, Chongqing, untuk membahas hubungan antara Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Partai KMT (Kuomintang) setelah berakhirnya Perang antara Tiongkok dengan Jepang.

Ditemani oleh duta besar Amerika Serikat, Patrick J. Hurley, Mao bergabung dengan Chiang Kai-shek untuk makan malam pada tanggal 27 Agustus 1945 (10 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia), yang merupakan pertemuan pertama di antara kedua pemimpin politik Tiongkok tersebut.

Setelah tujuh minggu negosiasi, kedua belah pihak berhasil menyepakati tujuan bersama untuk membangun demokrasi politik di Tiongkok dan menempatkan semua angkatan bersenjata Tiongkok di bawah komando Chiang Kai-shek.

Namun, sepanjang negosiasi, kontak senjata antara kedua belah pihak tak kunjung berhenti, bahkan semakin meningkat karena pasukan PKT terus mendapat serangan di kedua sisi, baik utara maupun selatan sungai Yangtze.

Mao akhirnya kembali ke Yan' An pada 11 Oktober 1945, diikuti pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh PKT dan KMT setelah itu, yang sekarang dikenal sebagai "Double Tenth Agreement."

Dalam kesepakatan itu, PKT dan KMT saling mengakui. Kedua pihak berencana membentuk pemerintahan koalisi.

Walaupun tujuan dari kesepakatan bersama tersebut sebenarnya hanyalah untuk menghindari berlanjutnya perang saudara.

Sayangnya, pemerintah nasionalis di bawah Chiang Kai-shek menolak mengakui daerah-daerah yang telah dikuasai oleh PKT.

Seiring berjalannya waktu, Chiang mulai tidak yakin dengan manfaat pernyataan bersama tersebut. Menurut dia, solusi militer adalah pilihan terbaik.

Begitu juga sebaliknya. Mao menggambarkan pernyataan bersama itu hanya sebagai "secarik kertas belaka."

Mao kemudian menceritakan kepada Joseph Stalin; petinggi Uni Soviet kala itu bahwa perang saudara "hampir tak terhindarkan."

Dan pada akhir Oktober 1945, hasilnya semakin jelas bahwa perjanjian itu akan berumur pendek, dan perang saudara dalam skala penuh akan segera dimulai kembali pada tahun 1946.

Gagalnya kesepakatan antara PKT dan KMT akhir Oktober dan awal November 1945 tersebut menyadarkan Amerika Serikat bahwa imperium komunis yang direpresentasikan oleh rezim Stalin sudah bukan lagi sekutu layaknya ketika mengalahkan Adolf Hitler di belahan Eropa.

Stalin mulai menebar pengaruh ke negara-negara baru yang juga ingin dikuasai Amerika Serikat.

Sepanjang negosiasi memang terlihat jelas bahwa Stalin ada di belakang Mao. Begitu juga sebaliknya, ada Amerika di belakang Chiang, sehingga kebuntuan negosiasi nyata akan berujung pada terjadinya perang saudara.

Keyakinan Amerika Serikat bahwa kubu komunis akan bertindak sama di negara-negara baru lainnya yang notabene ingin terlepas dari penjajah menyusutkan semangat Paman Sam dalam mendukung proses kemerdekaan penuh di negara-negara baru, termasuk Indonesia.

Jelang bulan November tahun 1945, setelah tampak jelas bahwa kubu komunis sudah berada di sisi yang berseberangan dengan kepentingan sekutu, Amerika Serikat mengurangi tekanannya kepada Belanda di Indonesia.

Amerika Serikat bahkan sangat jelas terkesan mendukung rencana Belanda yang ingin melakukan Agresi Militer untuk merebut kembali Indonesia, setelah Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu pascaluluh lantaknya Hiroshima- Nagasaki, dan Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Pun Amerika bergeming saat Inggris melangsungkan serangan brutal di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.

Amerika Serikat memang mendua sejak Presiden Franklin D. Roosevelt mulai berkuasa di Amerika Serikat pada tahun 1933.

Rasa antipati Roosevelt pada kekuatan imperial Inggris berpadu dengan kebijakan antiperang yang diwariskan pemerintahan Woodrow Wilson mendorongnya untuk berlarut-larut mencemplungkan diri ke dalam perang melawan Hitler di Eropa, meskipun berkali-kali diminta oleh Winston Churchil, perdana menteri Inggris.

Sampai akhirnya peristiwa Pearl Harbor memberi tanda yang jelas bahwa Amerika Serikat harus turun langsung dalam membantu baik Inggris dan Perancis, plus mengusir Jepang dari China.

Kemudian setelah Presiden Amerika Serikat ke-33 Harry S. Truman menggantikan Roosevelt, spirit perang kinetik berganti dengan spirit perang dingin.

Semangat antikomunis semakin jelas terlihat (doktrin Truman) di pihak sekutu yang melemahkan semangat Amerika Serikat untuk membebaskan koloni-koloni Inggris dan Belanda di wilayah Asia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com