KOMPAS.com - Sejak serangan Rusia ke Ukraina dimulai, China menempatkan diri secara berbeda dengan AS dan Sekutu, dengan tidak mengutuk invasi Rusia, hingga abstain dari pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang mengutuk serangan itu.
China juga abstain dari kecaman terhadap perang oleh 141 negara di Majelis Umum PBB.
Baca juga: Rusia Tak Ingin Tawar-menawar, jika Kepentingannya Tak Tercapai, Serangan Akan Berlanjut
Menteri Luar Negeri China Wang Yi sebelumnya mengatakan persahabatan China dengan Rusia "padat seperti batu karang" dan memiliki "hubungan bilateral paling penting" di dunia yang berkontribusi pada "perdamaian, stabilitas, dan pembangunan."
Wang menyalahkan "mentalitas Perang Dingin" sebagai alasan sebenarnya untuk perang di Ukraina.
Slogan ini semakin banyak digunakan oleh China dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam kritiknya terhadap AS.
"Kita harus mengatasi mentalitas Perang Dingin dan sebaliknya fokus pada koeksistensi damai dan strategi sama-sama menang," kata Presiden China Xi Jinping kepada Forum Ekonomi Dunia di Jenewa pada Januari lalu.
"Satu-satunya hal yang lebih berbahaya adalah mengejar hegemoni dan penindasan terhadap orang lain yang menentang jalannya sejarah," kata Xi. Meskipun dia tidak menyebutkan nama Amerika Serikat, jelas bahwa pesan ini ditujukan ke Washington.
Baca juga: 5 Dampak Ekonomi Global dari Sebulan Perang Rusia-Ukraina
Perang Dingin berlangsung dari 1947 hingga 1989, mencakup dua kubu dari kekuatan Barat dipimpin oleh AS dan blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Masing-masing kubu memiliki pandangan berbeda pada kapitalisme dan komunisme.
Perang Dingin berakhir dengan disintegrasi blok Timur dan Uni Soviet. China, yang berdiri di sisi negara saudara Sovietnya setelah Perang Dunia II, berselisih dengan Moskwa pada 1960.
Pemimpin China, Mao Zedong dan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev memiliki interpretasi yang berbeda tentang hubungan dengan Barat.
Uni Soviet di bawah Khrushchev ingin menjalankan kebijakan "hidup berdampingan secara damai", sementara Mao ingin mengambil jalan yang lebih agresif menuju revolusi global yang dipimpin Partai Komunis.
Ketika China berbicara tentang "mentalitas Perang Dingin", tidak ada lagi pembicaraan tentang dua kubu yang terpolarisasi.
Baca juga: 100.000 Warga Terperangkap di Mariupol Ukraina, Hadapi Kelaparan dan Kehausan
Dalam pandangan kepemimpinan China, Amerika Serikat dan NATO belum mengatasi pola pikir Perang Dingin.
Dalam konteks ini, Rusia secara permanen terancam oleh NATO, seperti China mengatakan terancam oleh strategi Indo-Pasifik AS dan Uni Eropa, dengan adanya pakta keamanan trilateral AUKUS, yang menekankan komitmen AS dan Inggris untuk membantu Australia memperoleh nuklir.
Begitu juga dengan adanya dialog keamanan seperti Dialog Keamanan Segiempat (QUAD), di mana AS, Jepang, India, dan Australia berpartisipasi.