TONGA, KOMPAS.com – Para ilmuan menyebut letusan gunung berapi bawah laut Tonga yang besar dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang pada terumbu karang, mengikis garis pantai, dan mengganggu perikanan.
Para ilmuwan memberikan penilaian tersebut setelah mempelajari citra satelit dan melihat ke masa lalu untuk memproyeksikan masa depan wilayah terpencil itu.
Berikut ini adalah beberapa dampak letusan gunung berapi Tonga yang bisa terjadi:
Sejak letusan awal, gunung berapi bawah laut Tonga telah melepaskan sulfur dioksida dan nitrogen oksida.
Baca juga: Dampak Tsunami Tonga, Air Tercemar, Internet Mati, dan Kapal Rusak
Sulfur dioksida dan nitrogen oksida adalah dua gas yang menciptakan hujan asam ketika mereka berinteraksi dengan air dan oksigen di atmosfer.
“Dengan iklim tropis Tonga, kemungkinan akan ada hujan asam di sekitar Tonga untuk beberapa waktu mendatang,” terang Ahli vulkanologi dari University of Auckland, Selandia Baru, Shane Cronin, sebagaimana dikutip dari Reuters, Selasa (18/1/2022).
Hujan asam ini dapat menyebabkan kerusakan tanaman yang meluas, dan dapat merusak bahan pokok Tonga seperti talas, jagung, pisang, dan sayuran kebun.
“Bergantung pada berapa lama letusan berlangsung, ketahanan pangan dapat dikompromikan,” kata Cronin.
Citra satelit menunjukkan gumpalan menyebar ke barat, yang berarti Tonga dapat terhindar dari hujan asam ini meskipun Fiji mungkin berada di jalurnya.
Dalam sebuah buletin pada Senin (17/1/2022), kantor urusan kemanusiaan PBB mengatakan Fiji sedang memantau kualitas udaranya, dan telah menyarankan orang-orang untuk menutupi tangki air rumah tangga dan tinggal di dalam rumah jika terjadi hujan.
Baca juga: Dampak Tsunami Tonga sampai Jepang, Amerika, hingga Peru
Tonga memiliki zona ekonomi eksklusif (ZEE) seluas hampir 700.000 km persegi laut (270.271 mil persegi) atau 1.000 kali lebih besar dari luas daratannya.
Kebanyakan orang Tonga di sana pun mendapatkan makanan dan mata pencaharian dari laut.
Sementara para ilmuwan belum menyelidiki di lapangan, beberapa gambar yang tersedia tampaknya menunjukkan adanya selimut abu di darat.
Hal ini diungkapkan oleh Marco Brenna, seorang ahli geologi di Universitas Otago di Selandia Baru.
Di lautan, abu itu bisa berbahaya bagi kehidupan laut.