KHARTOUM, KOMPAS.com - Hampir sebulan setelah dicopot dari jabatannya dan dijadikan tahanan rumah, Perdana Menteri (PM) Sudan Abdalla Hamdok kembali ke posisinya.
Kepada CNN pada Selasa (23/11/2021) dia mengaku berkompromi dalam kesepakatan dengan militer Sudan untuk "menghindari pertumpahan darah" dan perang saudara di Sudan.
Baca juga: Dalam Bentrok Menentang Militer Sudan, Remaja 16 Tahun Tewas Tertembak di Kepala
PM Sudan dan menteri lainnya ditahan selama kudeta militer bulan lalu yang membuat pemerintah pembagian kekuasaan negara itu dibubarkan. Sejak itu, lebih dari 40 orang tewas dalam protes.
Tetapi panglima militer negara itu, Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan, mengembalikan Hamdok pada Minggu (21/11/2021) sebagai bagian dari kesepakatan antara kepemimpinan militer dan sipil di negara itu.
Hamdok mengaku "menyesali pertumpahan darah" yang terjadi setelah kudeta 25 Oktober. Dia mengatakan perjanjian telah ditandatangani untuk "menghindari pembunuhan lebih lanjut."
"Ini bukan kepentingan pribadi bagi saya," katanya. "Ada motto yang mengatakan Anda akan mati untuk negara. Saya mengambil keputusan yang tepat."
Baca juga: Setelah Kudeta Berdarah, Militer Sudan Akan Kembalikan Posisi PM Abdalla Hamdok
Berdasarkan kesepakatan yang disepakati oleh Hamdok dan Al-Burhan, Hamdok kembali menjadi pemimpin pemerintahan transisi, sampai dapat menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis.
Dewan Menteri, yang dibubarkan pada 25 Oktober, akan dipulihkan dan kepemimpinan sipil dan militer akan berbagi kekuasaan.
Konstitusi akan diamendemen untuk menguraikan kemitraan antara warga sipil dan militer dalam pemerintahan transisi.
Tetapi perjanjian itu juga mencakup restrukturisasi yang belum ditentukan, menurut Mudawi Ibrahim, seorang pejabat terkemuka di Inisiatif Pasukan Nasional (NFI) yang membantu menengahi pembicaraan, dan telah mendapat perlawanan di Sudan.
Baca juga: UPDATE Demo Kudeta Sudan, 40 Demonstran Tewas
Polisi menembakkan gas air mata ke sekelompok besar pengunjuk rasa di dekat istana presiden di Khartoum pada Minggu (21/11/2021), menurut saksi mata di lapangan.
Kesepakatan itu ditolak oleh koalisi Pasukan Kebebasan dan Perubahan Sudan (FCC), yang bersikeras bahwa "tidak ada negosiasi, tidak ada kemitraan, atau legitimasi bagi para komplotan kudeta."
Pada Senin (22/11/2021), Ibrahim mengatakan kepada CNN bahwa perjanjian itu "sangat memalukan bagi Perdana Menteri". Namun menambahkan bahwa itu telah diterima "demi negara."
"Ada begitu banyak orang yang sekarat di jalanan ... jadi Perdana Menteri harus mengambil langkah ini dan menerima penghinaan itu," katanya.
Namun Hamdok, yang ditahan di bawah tahanan rumah hingga Minggu (21/11/2021), membantah anggapan bahwa dia telah dipermalukan dan bersikeras telah membuat pilihan yang tepat.
Baca juga: Demo Anti-Kudeta Sudan Ricuh, 1 Demonstran Tewas Ditembak Pasukan Keamanan