Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita dari Tempat Bersuhu 50 Derajat Celsius: "Kerja Kepanasan, Tidur Kepanasan"

Kompas.com - 02/11/2021, 15:31 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Editor

"Kami tidak tahan dengan suhu seperti itu," katanya. "Kami bukan mesin."

Untuk menghindari suhu di atas 45 derajat Celsius di musim panas, Sidi mulai bekerja di malam hari.

Lapangan pekerjaan sangat langka. Mereka yang pernah mencari nafkah dengan memelihara ternak tidak bisa lagi melakukannya, tidak ada tanaman untuk menggembalakan domba dan kambing.

Baca juga: PM Inggris Peringatkan COP26: Kalau Glasgow Gagal, Semua Gagal

Jadi seperti yang dilakukan banyak tetangganya, Sidi memiliki rencana untuk bermigrasi ke kota pesisir Nouadhibou, di mana angin laut membuat kota lebih sejuk.

Penduduk setempat dapat menumpang dengan salah satu kereta terpanjang di dunia yang membawa bijih besi dari tambang terdekat ke pantai.

"Orang-orang pindah dari sini," jelas Sidi. "Mereka tidak tahan lagi dengan panasnya."

Perjalanan 20 jam itu berbahaya. Penduduk setempat dapat duduk di atas gerbong di mana mereka terkena panas dan sinar matahari di siang hari, sebelum suhu turun hingga mendekati titik beku di malam hari.

Di Nouadhibou, dia berharap mendapatkan pekerjaan di industri perikanan. Angin sepoi-sepoi bisa membuat sedikit lega. Tetapi dengan semakin banyaknya jumlah orang yang melarikan diri dari panasnya gurun, peluang kerja semakin sulit ditemukan. Sidi tetap berharap.

Baca juga: COP26: Perubahan Iklim Ancaman Besar bagi Stabilitas Keuangan Global

'Bagaimana Anda memadamkan api?'

Patrick Michell, kepala Kanaka Bar First Nation, pertama kali mulai menyadari perubahan yang mengkhawatirkan di hutan dekat cagar alamnya di British Columbia, Kanada, lebih dari tiga dekade lalu.

Air menjadi lebih sedikit di sungai, dan jamur berhenti tumbuh. Musim panas tahun ini ketakutannya menjadi kenyataan. Gelombang panas melanda Amerika Utara.

Pada 29 Juni, kota kelahirannya Lytton memecahkan rekor dengan suhu mencapai 49,6 derajat Celsius. Keesokan harinya, istrinya mengirimkan foto termometer yang terbaca 53 derajat Celsius. Satu jam kemudian, kotanya terbakar.

Putrinya, Serena sedang hamil delapan bulan. Tapi dia harus bergegas membawa anak-anak dan hewan peliharaannya ke dalam mobil: "Kami pergi dengan pakaian di badan kami. Api setinggi tiga lantai, ada tepat di samping kami."

Patrick berlari kembali untuk melihat apakah dia bisa menyelamatkan rumah itu.
Dia dibesarkan di tengah kondisi

Baca juga: Paus Fransiskus: Semoga Tangisan Bumi dan Orang Miskin Terdengar di KTT Iklim, COP26

'Ketika saya masih kecil, tidak seperti ini'

Joy, tinggal di Delta Niger, di Nigeria.
BBC INDONESIA Joy, tinggal di Delta Niger, di Nigeria.

"Ketika saya masih kecil, cuacanya tidak seperti ini," kata Joy, yang tinggal di Delta Niger, di Nigeria.

Wilayah ini adalah salah satu daerah yang paling tercemar di Bumi, dan hari-hari yang lebih panas di siang dan malam semakin meningkat.

Joy menafkahi keluarganya dengan menggunakan panas dari suar atau nyala api pembakaran gas untuk mengeringkan tapioka dan menjualnya di pasar lokal.

"Saya memiliki rambut pendek, karena jika saya memanjangkan rambut saya, api suar bisa membakar kepala saya jika berubah arah atau meledak."

Tapi di sisi lain, suar itu juga adalah sumber masalah. Perusahaan minyak menggunakannya untuk membakar gas yang dilepaskan dari tanah saat mereka mengebor minyak.

Baca juga: COP26: Dunia Perlu Bertindak Sekarang Cegah Perubahan Iklim

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com