Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita dari Tempat Bersuhu 50 Derajat Celsius: "Kerja Kepanasan, Tidur Kepanasan"

Kompas.com - 02/11/2021, 15:31 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Editor

KOMPAS.com - Di banyak tempat di dunia, dampak krisis iklim sudah dimulai dan terasa.

Tahun 2021 telah menjadi periode terpanas yang pernah tercatat. Jutaan orang hidup dengan suhu ekstrem, menghadapi ancaman banjir atau kebakaran hutan yang semakin meningkat.

BBC berbicara dengan lima orang yang menjelaskan bagaimana suhu ekstrem telah mengubah hidup mereka.

Baca juga: Jokowi Bertemu Biden di Sela-sela COP26 Glasgow, Minta Junta Myanmar Bebaskan Tahanan Politik

'Kami melewati banyak malam tanpa tidur'

Shakeela tinggal bersama suami, putri, dan tiga cucunya di sebuah ruangan tak berjendela di Ahmedabad, India.BBC INDONESIA Shakeela tinggal bersama suami, putri, dan tiga cucunya di sebuah ruangan tak berjendela di Ahmedabad, India.

Shakeela Bano sering menempatkan tempat tidur keluarganya di loteng rumah mereka di India. Beberapa malam terlalu panas untuk tidur di dalam ruangan, atapnya juga bisa terlalu panas.

"Sangat sulit," katanya. "Kami memiliki banyak malam tanpa tidur."

Shakeela tinggal bersama suami, putri, dan tiga cucunya di sebuah ruangan tak berjendela di Ahmedabad. Mereka hanya memiliki satu kipas langit-langit untuk bertahan.

Perubahan iklim menyebabkan banyak kota di India sekarang suhunya mencapai 50 derajat Celsius.

Daerah yang padat penduduk dan bangunan sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang dikenal sebagai efek panas perkotaan (urban heat island effect).

Bahan seperti beton memancarkan panas, mendorong suhu lebih tinggi. Ketika kondisinya benar-benar bisa menjadi lebih panas, tidak ada udara berhembus di malam hari.

Baca juga: COP26 Glasgow, Biden Minta Maaf Trump Keluar dari Perjanjian Iklim Paris

Di rumah seperti kediaman Shakeela, suhu sekarang mencapai 46 derajat Celsius. Dia kerap pusing karena panas. Cucu-cucunya menderita ruam, kelelahan karena terpapar panas berlebih dan mengalami diare.

Metode tradisional untuk tetap sejuk, seperti minum buttermilk dan air lemon, tidak lagi berhasil.
Mereka mencoba cara lain dengan meminjam uang untuk mengecat atap rumah mereka dengan warna putih.

Permukaan putih memantulkan lebih banyak sinar matahari dan lapisan cat putih ke atap dapat menurunkan suhu di dalam hingga 3-4 derajat.

Bagi Shakeela, langkah itu menunjukkan perbedaan yang sangat besar; kamarnya lebih sejuk dan anak-anak tidur lebih nyenyak.

"Dia biasanya tidak akan tidur di siang hari," katanya, menunjuk cucunya yang sedang tidur. "Sekarang dia bisa tidur tenang."

Baca juga: COP26 Glasgow, Erdogan Batal Datang karena Masalah Keamanan

'Panas seperti api'

Sidi (44 tahun), tinggal di sebuah desa kecil dekat tepi Sahara, Afrika.BBC INDONESIA Sidi (44 tahun), tinggal di sebuah desa kecil dekat tepi Sahara, Afrika.

"Saya datang dari tempat yang panas," kata Sidi Fadoua. Tapi panas di Mauritania utara, Afrika barat, sekarang terlalu panas bagi banyak orang untuk tinggal dan bekerja.

Panas di sini bukan panas biasa, katanya. "Ini seperti api."

Sidi (44 tahun), tinggal di sebuah desa kecil dekat tepi Sahara. Dia bekerja sebagai penambang garam di flat terdekat.

Pekerjaannya berat, dan menjadi lebih sulit saat wilayahnya memanas karena perubahan iklim.

"Kami tidak tahan dengan suhu seperti itu," katanya. "Kami bukan mesin."

Untuk menghindari suhu di atas 45 derajat Celsius di musim panas, Sidi mulai bekerja di malam hari.

Lapangan pekerjaan sangat langka. Mereka yang pernah mencari nafkah dengan memelihara ternak tidak bisa lagi melakukannya, tidak ada tanaman untuk menggembalakan domba dan kambing.

Baca juga: PM Inggris Peringatkan COP26: Kalau Glasgow Gagal, Semua Gagal

Jadi seperti yang dilakukan banyak tetangganya, Sidi memiliki rencana untuk bermigrasi ke kota pesisir Nouadhibou, di mana angin laut membuat kota lebih sejuk.

Penduduk setempat dapat menumpang dengan salah satu kereta terpanjang di dunia yang membawa bijih besi dari tambang terdekat ke pantai.

"Orang-orang pindah dari sini," jelas Sidi. "Mereka tidak tahan lagi dengan panasnya."

Perjalanan 20 jam itu berbahaya. Penduduk setempat dapat duduk di atas gerbong di mana mereka terkena panas dan sinar matahari di siang hari, sebelum suhu turun hingga mendekati titik beku di malam hari.

Di Nouadhibou, dia berharap mendapatkan pekerjaan di industri perikanan. Angin sepoi-sepoi bisa membuat sedikit lega. Tetapi dengan semakin banyaknya jumlah orang yang melarikan diri dari panasnya gurun, peluang kerja semakin sulit ditemukan. Sidi tetap berharap.

Baca juga: COP26: Perubahan Iklim Ancaman Besar bagi Stabilitas Keuangan Global

'Bagaimana Anda memadamkan api?'

Patrick Michell, kepala Kanaka Bar First Nation, mulai menyadari perubahan yang mengkhawatirkan di hutan dekat cagar alamnya tiga dekade lalu.BBC INDONESIA Patrick Michell, kepala Kanaka Bar First Nation, mulai menyadari perubahan yang mengkhawatirkan di hutan dekat cagar alamnya tiga dekade lalu.

Patrick Michell, kepala Kanaka Bar First Nation, pertama kali mulai menyadari perubahan yang mengkhawatirkan di hutan dekat cagar alamnya di British Columbia, Kanada, lebih dari tiga dekade lalu.

Air menjadi lebih sedikit di sungai, dan jamur berhenti tumbuh. Musim panas tahun ini ketakutannya menjadi kenyataan. Gelombang panas melanda Amerika Utara.

Pada 29 Juni, kota kelahirannya Lytton memecahkan rekor dengan suhu mencapai 49,6 derajat Celsius. Keesokan harinya, istrinya mengirimkan foto termometer yang terbaca 53 derajat Celsius. Satu jam kemudian, kotanya terbakar.

Putrinya, Serena sedang hamil delapan bulan. Tapi dia harus bergegas membawa anak-anak dan hewan peliharaannya ke dalam mobil: "Kami pergi dengan pakaian di badan kami. Api setinggi tiga lantai, ada tepat di samping kami."

Patrick berlari kembali untuk melihat apakah dia bisa menyelamatkan rumah itu.
Dia dibesarkan di tengah kondisi

Baca juga: Paus Fransiskus: Semoga Tangisan Bumi dan Orang Miskin Terdengar di KTT Iklim, COP26

'Ketika saya masih kecil, tidak seperti ini'

Joy, tinggal di Delta Niger, di Nigeria.
BBC INDONESIA Joy, tinggal di Delta Niger, di Nigeria.

"Ketika saya masih kecil, cuacanya tidak seperti ini," kata Joy, yang tinggal di Delta Niger, di Nigeria.

Wilayah ini adalah salah satu daerah yang paling tercemar di Bumi, dan hari-hari yang lebih panas di siang dan malam semakin meningkat.

Joy menafkahi keluarganya dengan menggunakan panas dari suar atau nyala api pembakaran gas untuk mengeringkan tapioka dan menjualnya di pasar lokal.

"Saya memiliki rambut pendek, karena jika saya memanjangkan rambut saya, api suar bisa membakar kepala saya jika berubah arah atau meledak."

Tapi di sisi lain, suar itu juga adalah sumber masalah. Perusahaan minyak menggunakannya untuk membakar gas yang dilepaskan dari tanah saat mereka mengebor minyak.

Baca juga: COP26: Dunia Perlu Bertindak Sekarang Cegah Perubahan Iklim

Nyala api, yang menjulang setinggi enam meter itu merupakan sumber signifikan emisi CO2 global, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Perubahan iklim telah berdampak buruk di sini, mengubah tanah subur menjadi gurun di utara, sementara banjir bandang melanda selatan.

"Kebanyakan orang di sini tidak memiliki cukup informasi untuk menjelaskan mengapa iklim berubah dengan cepat," kata Joy.

"Tapi kami curiga dengan suar yang tanpa henti." Joy ingin pemerintah melarang pembakaran gas, meskipun dia mengandalkannya untuk menafkahi keluarganya.

Hampir tidak ada kekayaan minyak yang diinvestasikan kembali di Nigeria, di mana 98 juta orang hidup dalam kemiskinan, termasuk Joy dan keluarganya. Selama lima hari kerja, mereka mendapat untung Rp 90.000.

Dia pesimis tentang masa depan. "Saya pikir kehidupan (di Bumi) sekarang akan segera berakhir."

Baca juga: Indonesia-Belanda-Pasifik Kembangkan Kerja Sama Tangkal Perubahan Iklim

'Panas ini tidak normal'

Om Naief mulai menanam pepohonan di sepetak lahan gurun dekat jalan raya.BBC INDONESIA Om Naief mulai menanam pepohonan di sepetak lahan gurun dekat jalan raya.

Enam tahun lalu, Om Naief mulai menanam pepohonan di sepetak lahan gurun dekat jalan raya.

Pensiunan pegawai negeri sipil di Kuwait itu prihatin, dengan suhu musim panas yang semakin parah dan badai debu yang memburuk.

"Saya berbicara dengan beberapa pejabat. Mereka semua mengatakan tidak mungkin menanam apa pun di pasir," katanya.

"Mereka bilang tanahnya berpasir dan suhunya terlalu tinggi. Saya ingin melakukan sesuatu yang akan mengejutkan semua orang."

Om tinggal di Timur Tengah, yang memanas lebih cepat daripada sebagian wilayah besar dunia.

Kuwait sedang menuju suhu yang tak tertahankan - biasanya lebih panas dari 50 derajat Celsius. Beberapa prediksi menunjukkan suhu rata-rata akan naik 4 derajat Celsius pada 2050, padahal ekonomi Kuwait didominasi oleh ekspor bahan bakar fosil.

Baca juga: Intelijen AS Peringatkan Perubahan Iklim Berdampak pada Keamanan Dunia

Dua lahan yang ditanam Om adalah langkah sederhana tetapi memiliki tujuan.

"Pohon menangkis debu, menghilangkan polusi, membersihkan udara, dan menurunkan suhu," katanya.

Landak dan kadal berekor berduri sekarang mengunjungi tempat tersebut. "Ada air tawar dan naungan. Ini hal yang indah."

Beberapa warga Kuwait sekarang menyerukan agar sabuk hijau (pepohonan) skala besar ditanam oleh pemerintah.

Harapannya adalah Kuwait siap untuk melawan krisis iklim. Om mengatakan, mereka harus melindungi tanah dan tidak membiarkannya mengering.

"Panas ini tidak normal," tutup Om. "Ini adalah tanah nenek moyang kami. Kami harus mengembalikannya, karena itu telah memberikan banyak hal kepada kami."

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com