Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Australia, Inggris dan Amerika Serikat – Di mana Indonesia?

Kompas.com - 20/09/2021, 14:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal itu terlihat jelas dengan pernyataan Julia Gillard yang menginginkan Australia menjadi pemenang dalam kompetisi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia.

Ini dapat diartikan dan sedikit terlihat gejalanya dari peningkatan hubungan dagang Australia dengan China.

Pada saat itu, sudah ada kajian dari beberapa pihak yang menganalisis tentang akan tumbuhnya kawasan Asia dan Pasifik menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia.

Sayangnya, mengikuti laju US-China Trade War, terutama dengan hadirnya pandemi Covid-19 telah membuat sedikit gangguan terhadap hubungan “mesra” Australia dengan China.

Klimaks dari ketegangan hubungan itu akhirnya terjadi saat diumumkannya AUKUS. Australia mengukuhkan diri di posisi Amerika Serikat, sebuah sikap sangat wajar sebagai negara yang berada di bawah naungan UK. AUKUS terlihat sekali sebagai sebuah front yang berhadapan dengan China.

Kembali ke awal tentang terganggunya Perancis dengan kemunculan AUKUS, yang memanggil pulang Dubes nya di Canberra dan Washington DC menjelaskan pada kita semua industri strategis, dalam hal ini industri pertahanan melekat erat dengan kebijakan luar negeri sebuah pemerintahan.

Dalam hal ini terpancar dari kekecewaan Perancis terhadap dibatalkannya pembelian kapal selam oleh Australia yang beralih ke produk Amerika Serikat.

Sejajar dengan itu, menjadi jelas pula betapa pertumbuhan ekonomi sebuah negara akan sangat berpengaruh kepada kebijakan pertahanan yang di dalamnya tersimpan program dari perkembangan industri strategis terutama industri pertahanan.

Pada titik inilah kita sampai kepada jawaban dari pertanyaan yang selalu saja tampil belakangan ini tentang mengapa industri strategis khususnya industri pertahanan kita terlihat sulit sekali menemukan bentuknya.

Industri pertahanan sejatinya memang akan seiring sejalan dengan kebijakan luar negeri sebuah pemerintahan.

Masa awal kemerdekaan dan berlanjut pada era Perang Dingin, Indonesia sangat mudah dan sangat tegas muncul dengan jargon terkenal politik luar negeri yang bebas aktif.

Sejak konferensi Asia Afrika, era negara non-blok dan new emerging forces yang dipelopori Indonesia dan beberapa negara lain setidaknya telah “merepotkan” negara negara besar dalam berkomunikasi antar-bangsa.

Walau berada dalam posisi yang “dikepung” negara blok barat terutama negara persemakmuran Inggris, Indonesia relatif masih sangat disegani sebagai sebuah negara yang berdaulat penuh dan berkepribadian dalam bersikap.

Asia Afrika, non blok dan new emerging forces dapat dikatakan terjalin berkat kesamaan nasib sebagai negara korban kolonialisme dan imperialisme. Nasib negara-negara jajahan ratusan tahun yang baru membangun setelah memperoleh kemerdekaannya.

Namun kini, yang bersuara keras dengan nada yang masih sama adalah “hanya” Presiden Duterte seorang diri.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com