Rabu 15 September 2021 datang kabar dari Amerika Serikat tentang terbentuknya “pakta militer” baru diluar NATO berjudul AUKUS (Australia–UK–US).
Tidak berapa lama kemudian muncul berita “kemarahan” Perancis menanggapi AUKUS dengan memanggil pulang Duta Besarnya dari Canberra dan Washington DC.
Ini adalah lembaran baru dari BAB sebuah buku mengenai “Global Power Game”. AUKUS dapat dikatakan sebagai muncul secara “tiba tiba”.
Namun sudah dapat di duga bahwa US–China trade war alias perang dagang Amerika-China telah menimbulkan beberapa rentetan fenomena.
Setidaknya ada 3 dampak yang terlihat yaitu berupa pandemi Covid-19, ditinggalkannya Afghanistan oleh Amerika Serikat yang membuat Taliban berkuasa kembali dan munculnya AUKUS.
Menengok ke belakang sejenak, pasca serangan Jepang ke Pearl Harbor, Amerika Serikat membangun Angkatan Perang yang berkelas Global Vigilance, Global Reach and Global Power.
Perang dunia II diselesaikan dengan bom atom yang berkategori senjata pemusnah masal atau WMD (Weapon of Mass Destruction).
Dunia memasuki era baru di mana kekuatan perang diukur dari WMD. Muncul kemudian babak selanjutnya berwujud Perang Dingin.
Selesainya era Perang dingin, maka AS otomatis menjadi negara satu-satunya dengan kekuatan angkatan perang yang “super duper”.
Dunia terus bergulir, dan AS harus membayar mahal pembangunan kekuatannya dengan masalah ekonomi dalam negeri.
Sementara itu pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan di kawasan Atlantik perlahan namun pasti bergeser ke kawasan Samudera Hindia dan Pasifik.
Babak berikutnya adalah pertumbuhan ekonomi kawasan Asia berkembang dengan China, Jepang dan Korea Selatan sebagai ujung tombak.
Sesuai dengan rumus dasar dari tata kelola keamanan nasional, maka sekian persen pertumbuhan ekonomi sebuah negara secara otomatis akan tersalur sekian persen pada belanja pertahanannya.
Maka itulah yang terjadi dengan China yang secara bertahap industri militernya berkembang tidak terbendung sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonomi nasionalnya.
Pada era permulaan tahun 2000-an, terlihat Australia akan bergabung dengan pertumbuhan ekonomi Asia yang disebut sebagai “Asian Century”.
Hal itu terlihat jelas dengan pernyataan Julia Gillard yang menginginkan Australia menjadi pemenang dalam kompetisi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia.
Ini dapat diartikan dan sedikit terlihat gejalanya dari peningkatan hubungan dagang Australia dengan China.
Pada saat itu, sudah ada kajian dari beberapa pihak yang menganalisis tentang akan tumbuhnya kawasan Asia dan Pasifik menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia.
Sayangnya, mengikuti laju US-China Trade War, terutama dengan hadirnya pandemi Covid-19 telah membuat sedikit gangguan terhadap hubungan “mesra” Australia dengan China.
Klimaks dari ketegangan hubungan itu akhirnya terjadi saat diumumkannya AUKUS. Australia mengukuhkan diri di posisi Amerika Serikat, sebuah sikap sangat wajar sebagai negara yang berada di bawah naungan UK. AUKUS terlihat sekali sebagai sebuah front yang berhadapan dengan China.
Kembali ke awal tentang terganggunya Perancis dengan kemunculan AUKUS, yang memanggil pulang Dubes nya di Canberra dan Washington DC menjelaskan pada kita semua industri strategis, dalam hal ini industri pertahanan melekat erat dengan kebijakan luar negeri sebuah pemerintahan.
Dalam hal ini terpancar dari kekecewaan Perancis terhadap dibatalkannya pembelian kapal selam oleh Australia yang beralih ke produk Amerika Serikat.
Sejajar dengan itu, menjadi jelas pula betapa pertumbuhan ekonomi sebuah negara akan sangat berpengaruh kepada kebijakan pertahanan yang di dalamnya tersimpan program dari perkembangan industri strategis terutama industri pertahanan.
Pada titik inilah kita sampai kepada jawaban dari pertanyaan yang selalu saja tampil belakangan ini tentang mengapa industri strategis khususnya industri pertahanan kita terlihat sulit sekali menemukan bentuknya.
Industri pertahanan sejatinya memang akan seiring sejalan dengan kebijakan luar negeri sebuah pemerintahan.
Masa awal kemerdekaan dan berlanjut pada era Perang Dingin, Indonesia sangat mudah dan sangat tegas muncul dengan jargon terkenal politik luar negeri yang bebas aktif.
Sejak konferensi Asia Afrika, era negara non-blok dan new emerging forces yang dipelopori Indonesia dan beberapa negara lain setidaknya telah “merepotkan” negara negara besar dalam berkomunikasi antar-bangsa.
Walau berada dalam posisi yang “dikepung” negara blok barat terutama negara persemakmuran Inggris, Indonesia relatif masih sangat disegani sebagai sebuah negara yang berdaulat penuh dan berkepribadian dalam bersikap.
Asia Afrika, non blok dan new emerging forces dapat dikatakan terjalin berkat kesamaan nasib sebagai negara korban kolonialisme dan imperialisme. Nasib negara-negara jajahan ratusan tahun yang baru membangun setelah memperoleh kemerdekaannya.
Namun kini, yang bersuara keras dengan nada yang masih sama adalah “hanya” Presiden Duterte seorang diri.
Sedari awal, Presiden Duterte menyerukan agar ASEAN juga menggalang kerja sama di bidang militer. Duterte berkata, ASEAN akan diperhitungkan di kancah global bila negara negara anggotanya menjalin hubungan kerja sama juga dibidang militer.
Seruan Presiden Duterte ini tidak pernah memperoleh tanggapan yang memuaskan dari negara anggota ASEAN lainnya.
Kelihatannya arah dari seruan Presiden Duterte adalah ingin mewujudkan mimpi tentang munculnya kekuatan baru di Asia dan Afrika yang menggantikan hegemoni negara barat.
Perkembangan terakhir pemerintah Filipina sehubungan dengan meningkatnya isu laut China Selatan, justru berada dalam posisi sulit dalam mengembangkan hubungan dengan China atau dengan Amerika.
Kembali ke Indonesia, di mana dan harus bagaimana Indonesia memosisikan dirinya. Cara yang sangat mudah melihat hal ini adalah dengan mengamati menuju ke arah mana industri strategis khususnya industri pertahanannya berjalan.
Sebagai contoh soal mungkin bisa ditelusuri dari perjalanan PTDI yang sejak awal berdiri mendekat ke Eropa, yaitu Spanyol.
Setelah tidak merasa “nyaman” untuk terus berjalan dengan Spanyol, PTDI pindah ke Korea Selatan dengan berbagai pertimbangan.
Mitra strategis dalam mengembangkan industri pertahanan setidaknya adalah sebuah refleksi dan bagian utuh dari kebijakan luar negeri sebuah pemerintahan.
Pemilihan mitra strategis yang ideal adalah merujuk pada negara yang tidak berada di tengah kancah konflik.
PTDI dengan pertimbangan tertentu tetap memilih Korea Selatan yang masih memiliki masalah besar dengan Korea Utara. Pilihan yang pasti sudah memperhitungkan risiko akan banyak gangguan di tengah jalan saat bermitra dengan negara yang berada di tengah “konflik”.
Profesor Habibie sendiri menyayangkan keputusan itu dari sisi lain, yaitu dengan pertimbangan bahwa dalam teknologi pembuatan pesawat terbang Indonesia sudah lebih maju dibanding dengan Korea Selatan.
Dari contoh ini maka secara tersamar Indonesia terlihat sulit memosisikan dirinya ditengah dinamika pertarungan pengaruh kekuatan negara besar di panggung global.
AUKUS lebih mempertajam lagi kutub kekuatan perang negara-negara besar. AUKUS dipercaya sebagai tidak lanjut gejala ikutan dari perkembangan US-China Trade War.
Sejauh ini, sebelum AUKUS, Indonesia tetap berusaha memelihara hubungan baik dengan Australia , Inggris dan Amerika Serikat.
Pada saat yang sama Indonesia juga sangat erat berhubungan dengan China. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana sikap Indonesia pasca AUKUS?
Peta kekuatan dunia cenderung tengah bergulir menuju 2 kutub lagi seperti pernah terjadi dalam Perang Dingin.
Kali ini bisa saja AUKUS berhadapan dengan China yang rentetannya akan mengakibatkan negara-negara lain harus memilih dan bersikap.
Kesimpulan ini bisa saja terlalu dini, akan tetapi melihat realitas yang terjadi dengan memanasnya Laut China Selatan yang penuh sengketa dari banyak negara, maka eskalasi naiknya suhu persaingan pengaruh antar negara besar patut diwaspadai.
Sebagai negara terbesar dalam kelompok ASEAN, tentu saja sikap Indonesia ditunggu banyak pihak, hendak ke mana RI menempatkan dirinya.
Harus diakui Indonesia kini berada dalam posisi yang cukup sulit untuk bersikap. Harapannya adalah masalah yang sulit justru kerap mengantar kepada sebuah keputusan yang matang. Mudah-mudahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.