Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Penerjemah Afghanistan untuk Pasukan AS yang Terlantar di Penampungan Tunawisma

Kompas.com - 04/08/2021, 17:40 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Editor

"Ini rumahmu"

Putus asa, Zia menelepon mantan kaptennya dan memberitahu dia di mana dia berada.

"Dia sangat marah," kata Zia. Beberapa hari kemudian, kaptennya tiba di Virginia dan mengantar Zia dan keluarganya ke rumahnya di North Carolina.

"Dia memberitahu saya: 'Ini rumahmu,'" kata Zia. "Selama kamu mau, kamu bisa tinggal di sini."

"Saya tidak akan pernah melupakan itu," ujarnya.

Zia akhirnya dapat memindahkan keluarganya ke apartemen mereka sendiri di Charlotte, tempat dia bekerja di bidang konstruksi dan kemudian di toko serba ada.

North Carolina tidak seperti tempat-tempat yang pernah dia dengar dari rekan-rekannya di Amerika, yaitu New York City, Washington DC, dan Las Vegas.

Namun, dia menikmati keamanan sederhana dari kehidupan baru mereka, perjalanan aman anak-anaknya dari dan ke sekolah, kebebasan istrinya untuk pergi keluar, untuk bekerja.

Keempat anaknya dengan cepat menjadi fasih berbahasa Inggris dan mantan penerjemah itu diejek anak-anaknya karena kesalahan tata bahasanya.

Pada 2020, Zia, istri, dan tiga anak tertua mereka disumpah sebagai warga negara Amerika.

Putra bungsunya, sekarang berusia 6 tahun, lahir sebagai orang Amerika, dan berbicara dengan sedikit aksen selatan.

Sekitar 2 tahun lalu, keluarga beranggotakan 5 orang itu pindah ke rumah sederhana berdinding papan di jalan buntu yang tenang.

Sebuah bendera Amerika besar tergantung di luar rumah.

Baca juga: AS Akan Evakuasi Penerjemah di Afghanistan, Antisipasi Balasan Taliban

"Tidak ada yang berubah"

Namun, Zia merasa terganggu saat memikirkan orang-orang yang ditinggalkan.

Pada 2019, ia meluncurkan Interpreting Freedom Foundation, sebuah badan amal yang dimaksudkan untuk membantu penerjemah dalam proses SIV dan pemukiman kembali di AS.

Dia sekarang menerima telepon-telepon malam dari mantan penerjemah dan keluarga mereka, yang putus asa mencari jalan keluar.

Sebagian besar terjebak dalam proses birokrasi yang kompleks.

Keadaan lebih kompleks karena evakuasi AS hanya dilakukan dari Kabul, yang berarti warga Afghanistan yang tinggal di luar ibu kota harus menghadapi perjalanan yang berpotensi fatal melalui wilayah yang dikuasai Taliban.

Sejak AS mengumumkan penarikan pasukannya pada April, jumlah distrik yang dikuasai Taliban telah meningkat 3 kali lipat dari 72 menjadi 221, menurut Foundation for the Defense of Democracy, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di DC.

Pemerintah AS telah mengatakan ada kemungkinan bahwa pemerintah Afghanistan akan runtuh paling cepat 2022.

Beberapa provinsi yang paling berisiko diambil alih oleh Taliban, seperti Kandahar dan Helmand, adalah rumah bagi ribuan tentara AS dan penerjemah lokal mereka, yang sekarang menghadapi ancaman penangkapan atau eksekusi.

Penerjemah berada dalam "bahaya mematikan", kata pensiunan Kolonel Mike Jason. "Ini bukan misteri. Penerjemah kami telah dibunuh selama satu dekade lebih."

Bukti pernah bekerja dengan militer AS, jenis dokumen yang diperlukan untuk aplikasi visa, merupakan "pengakuan" di mata Taliban, katanya.

"Kita berada pada titik di mana saya tidak tahu bagaimana mereka bisa keluar," katanya.

Departemen Luar Negeri telah berjanji untuk mempercepat proses jika memungkinkan, tetapi tanggapan yang lambat itu telah membuat marah para veteran dan penerjemah.

"Tidak mengherankan bahwa kami akan pergi... ini bukan sesuatu yang tiba-tiba terjadi kepada kami," kata Joe Kassabian, seorang penulis dan veteran tentara AS di Afghanistan.

"Kita seharusnya sudah merencanakan ke depan dan sekarang kita bertindak seolah-olah kita perlu melakukan evakuasi darurat," ujar Kassabian.

Bagi Zia, penarikan pasukan AS adalah pengabaian.

Dia melihat Afghanistan kembali seperti ketika dia pertama kali melarikan diri sebagai seorang anak.

"Taliban masih membunuh orang yang tidak bersalah," katanya. "Tidak ada yang berubah."

Dia berjuang keras untuk memahami bagaimana Amerika mengirim tentara mereka pulang, sementara meninggalkan sekutu mereka.

Dia mencintai negara angkatnya, katanya, tetapi ia berpikir para politisinya telah mengkhianatinya dan orang lain yang mengabdi.

"Mereka mencoba untuk mencuci tangan mereka," katanya.

Baca juga: Kelompok Bersenjata Serang Rumah Menhan Afghanistan, 4 Orang Tewas

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com