Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Myanmar dalam Krisis Covid-19 Saat Para Dokter Bersembunyi Ketakutan Diburu Junta Militer

Kompas.com - 23/07/2021, 08:02 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Sumber CNN

NAYPIYDAW, KOMPAS.com - Gelombang Covid-19 melanda Myanmar dengan orang-orang sekarat di rumah karena takut ke rumah sakit saat seluruh negeri masih dilanda konflik kudeta militer.

Di Yangon, kota terbesar Myanmar, sejumlah keluarga pasien Covid-19 menunggu di pabrik oksigen dan berharap dapat mengisi tabung, krematorium dipenuhi pelayat dan peti mati, serta pekerja pemakaman dan sukarelawan dengan pakaian hazmat bekerja tanpa henti untuk mengubur barisan jenazah.

Pada Rabu (21/7/2021), Kementerian Kesehatan yang dikendalikan junta militer melaporkan 6.093 kasus baru Covid-19, sehingga total yang dikonfirmasi menjadi 246.663.

Ada juga 247 kematian yang dilaporkan, dengan jumlah kematian yang dikonfirmasi akibat Covid-19 5.814.

Namun, sejumlah dokter dan sukarelawan mengatakan bahwa sejumlah kasus Covid-19 masih banyak yang tidak dilaporkan.

"Ini hanya puncak gunung es," ujar salah satu dokter yang tidak ingin disebutkan namanya untuk keamanan di tengah negara yang berkonflik.

Baca juga: Myanmar Akan Terima Enam Juta Dosis Vaksin Covid-19 dari China

"Kami melihat kondisi pasien memburuk dan orang-orang meninggal setiap hari," ujarnya, seperti dilansir CNN pada Kamis (22/7/2021).

Joy Singhal, kepala delegasi Myanmar dari Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, mengatakan, peningkatan pesat Covid-19 di Myanmar sangat memprihatinkan dan dalam beberapa hari terakhir sekitar sepertiga dari orang yang dites positif.

"Peningkatan kasus ini telah menempatkan seluruh sistem kesehatan di bawah tekanan besar," kata Singhal.

"Kami sangat membutuhkan tingkat pengujian, pelacakan kontak, dan vaksinasi yang lebih besar di semua wilayah negara," ungkapnya.

Di Myanmar tidak ada sistem medis atau rencana resmi nasional untuk pandemi Covid-19 yang berfungsi, saat masyarakat juga tidak percaya dengan segala hal yang terkait dengan junta militer yang berkuasa.

Di tengah kondisi karut-marut di Myanmar, para dokter dan kelompok sukarelawan masih terus berusaha untuk membantu mengisi kebutuhan medis.

Baca juga: 2 Juta Vaksin Covid-19 Akan Diterima Junta Militer Myanmar dari Rusia

Dokter bawah tanah

Rezim junta militer Myanmar telah meminta para dokter, perawat, dan pakar kesehatan lainnya untuk menjadi sukarelawan di rumah sakit umum dan pusat Covid-19 karena kekurangan tenaga kerja.

Namun, para dokter mengatakan bahwa junta militer tersebut tidak menjamin keselamatan mereka dari tindak kekerasan, sehingga mereka mengaku ketakutan.

Dokter adalah pendorong utama gerakan protes kudeta sejak awal, dan banyak dari mereka ditangkap oleh junta militer karena keterlibatan mereka.

"Ada 240 kasus serangan yang terdokumentasi terhadap fasilitas dan para profesional perawatan kesehatan. Hingga pekan lalu, lebih dari 500 surat perintah penangkapan yang beredar untuk dokter dan perawat," kata Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar.

"Anda tidak dapat melawan Covid-19 dan menyerang dokter, perawat, serta klinik pada saat bersamaan. Itu pasti yang membuat situasi buruk menjadi lebih buruk secara eksponensial di Myanmar," tandas Andrews.

Kondisi kudeta dan kekerasan junta militer tersebut kemudian mendesak para dokter bersembunyi untuk menghindari penangkapan.

Mereka kemudian mendirikan jaringan klinik bawah tanah dan layanan telekonsultasi.

Baca juga: Aung San Suu Kyi Sudah Divaksin di Tengah Lonjakan Kasus Covid-19 Myanmar

Setiap hari mereka menjawab ratusan permintaan dari pasien yang sakit melalui aplikasi, media sosial, dan platform video, yang berusaha mereka layani.

"Kami merawat setidaknya 150 orang per hari. Lebih dari separuh pasien itu mengeluhkan demam, anosmia, gejala mirip Covid-19," kata dokter yang enggan menyebutkan namanya itu.

"Setengah dari pasien adalah kasus yang parah," ucapnya.

Dokter, yang adalah seorang ahli bedah ortopedi sebelum kudeta, mengatakan, kelompok telekonsultasinya EZ Care merawat lebih dari 1.000 pasien dalam sebulan terakhir.

“Kemarin dua pasien meninggal saat kami melakukan konsultasi karena kekurangan oksigen,” ujar dokter pria itu.

"Tanpa oksigen kita tidak bisa berbuat apa-apa," terangnya.

Dokter muda wanita di Yangon mengatakan, ada enam dari pasiennya tewas dalam satu hari pada pekan lalu, yang termuda berusia 49 tahun.

Dia mengunjungi pasien yang sangat sakit di rumah, tetapi merasa tidak berdaya dalam menghadapi krisis yang berkembang.

"Saya melihat pasien di rumah dan sangat memilukan melihatnya kesulitan bernapas. Dia seperti tenggelam dalam air. Dia tidak mendapatkan oksigen di paru-paru dan darahnya. Setelah kunjungan, saya mendapatkan panggilan telpon dari keluarganya dan mereka mengatakan di telah tiada," terangnya.

Baca juga: Dihantui Lonjakan Kasus Covid-19 dari Pengungsi Myanmar, China Perketat Perbatasan

Dokter muda, yang juga tidak mau disebutkan namanya karena alasan keamanan itu, mengatakan bahwa orang-orang dalam keadaan panik.

"Ada kekurangan obat dan kekurangan perawatan yang tepat, orang sangat panik karena tidak tahu harus ke mana atau bagaimana berobat, jadi mereka hanya membeli setiap obat yang tertulis di online, 'Ini untuk Covid'," katanya.

Dia bekerja sepanjang pagi dan malam, menjawab pesan panik di aplikasi terenkripsi atau memberikan konsultasi melalui video.

Namun, dia mengungkapkan bahwa kerabat dari pasien di rumah tidak memiliki pengetahuan medis yang diperlukan untuk merawat orang yang mereka cintai.

"Mereka tidak tahu bagaimana menangani konsentrator dan silinder oksigen, cara merakit saluran dari konsentrator ke pasien, atau berapa banyak oksigen yang harus diberikan kepada pasien," ungkapnya.

Dokter, yang mengatakan dia adalah seorang petugas medis selama protes dan membantu demonstran yang telah ditembak, mengatakan bahwa militer telah mengecewakan rakyat.

"Kami kehilangan banyak nyawa di sini yang seharusnya tidak tewas dengan cara ini. Beberapa ditembak, beberapa disiksa sampai mati, beberapa meninggal karena tidak mendapatkan perawatan yang tepat, beberapa meninggal karena tidak mendapatkan cukup oksigen," terangnya.

"Ini bukan alasan mengapa orang harus mati pada 2021, di abad ke-21," ujarnya.

Baca juga: Gelombang Ketiga Covid-19 di Myanmar Mengganas, 90 Persen Wilayah Terdampak

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Global
Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Global
Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Global
PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

Global
Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Global
Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Global
Tasbih Antikuman Diproduksi untuk Musim Haji 2024, Bagaimana Cara Kerjanya?

Tasbih Antikuman Diproduksi untuk Musim Haji 2024, Bagaimana Cara Kerjanya?

Global
Kata Netanyahu Usai Biden Ancam Setop Pasok Senjata ke Israel

Kata Netanyahu Usai Biden Ancam Setop Pasok Senjata ke Israel

Global
Hubungan Biden-Netanyahu Kembali Tegang, Bagaimana ke Depannya?

Hubungan Biden-Netanyahu Kembali Tegang, Bagaimana ke Depannya?

Global
Kampus-kampus di Spanyol Nyatakan Siap Putuskan Hubungan dengan Israel

Kampus-kampus di Spanyol Nyatakan Siap Putuskan Hubungan dengan Israel

Global
Seberapa Bermasalah Boeing, Produsen Pesawat Terbesar di Dunia?

Seberapa Bermasalah Boeing, Produsen Pesawat Terbesar di Dunia?

Internasional
Terkait Status Negara, Palestina Kini Bergantung Majelis Umum PBB

Terkait Status Negara, Palestina Kini Bergantung Majelis Umum PBB

Global
Hamas Sebut Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kini Tergantung Israel

Hamas Sebut Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kini Tergantung Israel

Global
Antisemitisme: Sejarah, Penyebab, dan Manifestasinya

Antisemitisme: Sejarah, Penyebab, dan Manifestasinya

Internasional
Terjadi Lagi, Perundingan Gencatan Senjata Gaza Berakhir Tanpa Kesepakatan

Terjadi Lagi, Perundingan Gencatan Senjata Gaza Berakhir Tanpa Kesepakatan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com