"Itu mengingatkan pengalaman saya ketika tinggal di Indonesia dulu. Ada gambaran yang dibesar-besarkan oleh para pembuat kebijakan, kalangan politikus di Indonesia bahwa organisasi Tapol sejajar dengan Chatham House (lembaga think tank berpengaruh di London) atau sebuah lembaga pemikir kebijakan luar negeri di Washington," imbuh Aliston.
"Tapol adalah Carmel dalam konteks itu. Tapol bukan organisasi yang besar," tambahnya.
Jika sejak awalnya Tapol mencetak buletin, selama 10 tahun belakangan organisasi itu beralih ke platform online.
Baca juga: Bertemu Tatap Muka dengan Putin, Biden Rencana Singgung Pelanggaran HAM
Dalam mengampanyekan permasalahan pelanggaran HAM semasa kebijakan DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh, mantan Ketua Komnas HAM Otto Syamsuddin Ishak menyebut Carmel mampu menghimpun informasi dari berbagai sumber, sehingga datanya layak dipercaya.
Otto mengaku menyaksikan sendiri ketika Carmel membongkar semua dokumennya, di antaranya surat-surat dari berbagai sumber terkait masalah terutama di Aceh.
"Jadi sangat luas pengetahuannya, informasinya, sehingga memudahkan beliau melakukan validasi informasi yang beliau peroleh. Itu luar biasa," ungkap Otto kepada BBC News Indonesia, Jumat (11/6/2021).
Nur Djuli, mantan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam kesepakatan Helsinki (15 Agustus 2005), Nur Djuli, mengatakan Carmel merupakan sosok yang disebutnya sangat kuat memegang prinsip.
"Dia pernah mengritik langsung Hasan Tiro (pendiri GAM), sahabatnya, terkait suatu masalah, yang dia tak setuju," ungkap Nur Djuli kepada BBC News Indonesia.
Baca juga: Kepala HAM PBB: Serangan Israel di Gaza Mungkin Termasuk Kejahatan Perang
"Jadi dia tak pantang, meski kawan. Dia akan terus mengkritiknya kalau tak sesuai prinsipnya," tambah Nur Djuli yang pernah bertemu beberapa kali dengan Carmel di kediamannya di London.
Sementara, Joaquim da Fonseca, mantan Duta Besar Timor Leste untuk Inggris dan dahulu terlibat gerakan perlawanan terhadap pendudukan Indonesia, menyebut Carmel sebagai jendela dunia untuk melihat Timor Leste.
"Carmel menyediakan sebuah jendela, di mana orang-orang dari luar dapat melihat ke dalam, untuk mengamati keadaan di Timor Leste," kata Joaquim kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat.
Dia juga menyediakan sebuah corong bagi orang Timor Leste tanpa harus berbicara sehingga suaranya bisa didengar, tambahnya.
Penilaian serupa juga diungkapkan Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua.
Baca juga: Kenapa Indonesia Dituding Injak-injak HAM dalam Pengembangan “Bali Baru” Mandalika
"Carmel tolong kami orang Papua untuk mendefinisikan kembali siapa orang Papua," kata Benny Giay kepada BBC News Indonesia.