Setidaknya ada tiga alasan.
Pertama, pada 2017 Presiden China Xi Jinping mendeklarasikan Visi China 2050. China memproyeksikan diri menjadi negara sosialis modern yang sederajat dengan negara maju (baca: AS, Eropa dan G7).
Ambisi yang sangat mungkin. Sebab sejak 2010 China ditahbiskan Bank Dunia sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, setelah AS.
Tentu AS melihat China berpotensi menyalip di tikungan, baik di bidang politik maupun ekonomi dunia. Bisa diduga, China menggunakan kemajuannya di bidang ekonomi, teknologi dan militer sebagai instrumen politik untuk membangun citra role model negara sosialis yang tidak mengharamkan kapitalisme.
China juga ingin menunjukkan citra sebagai negara dengan sistem partai tunggal yang mesin birokrasinya bekerja secara kuat, padu, efektif dan efisien, seperti terbukti dalam penanganan pandemi. Pada titik ini idealisme Barat (kebebasan dan demokrasi) akan berhadapan dengan idealisme China (partai tunggal dan otoritarianisme).
Kedua, kepentingan China di Eropa beririsan dengan agenda politik UE, yang secara ideologis sekutu AS. UE ingin merangkul negara bekas sosialis-komunis Eropa Timur agar sejalan dengan garis ideologi Eropa yang mengusung ekonomi terbuka, kebebasan dan demokrasi.
Tentu itu menjadi ancaman bagi China. Sebab, UE (yang sudah merangkul negara bekas sosialis-komunis) akan semakin rewel terhadap pelanggaran demokrasi dan HAM di China.
Masifnya bantuan ekonomi China kepada negara bekas Eropa Timur dapat dilihat sebagai politik kooptasi China terhadap negara bekas sosialis-komunis, yang dari sejarahnya memang memiliki irisan ideologis (sosialisme-komunisme) di era Perang Dingin.
Ketiga, di bawah Presiden Jinping China lebih agresif menebar pengaruh di berbagai belahan dunia, termasuk dalam geo-politik Eropa – kawasan tradisional aliansi politik-militer AS-UE.
Pada 2013, China mencanangkan program infrastruktur raksasa, Belt Road Initiative (BRI): pembangunan jalur kereta yang menghubungkan Beijing dengan benua Eropa dengan dukungan lembaga pendanaan AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank).
Dari 27 anggota UE, ada 18 negara yang ikut dalam proyek BRI dan menjadi anggota AIIB.
Terlihat jelas upaya China memanfaatkan kekuatan ekonomi sebagai instrumen pengembangan pengaruh di Eropa.
Upaya tebar pengaruh ini sudah dimulai jauh sebelum Covid 19 menerpa Eropa. Covid 19 hanya menjadi pintu masuk bagi China untuk mengukuhkan citra diri: negara sosialis yang merangkul kapitalisme dengan sistem partai tunggal yang bekerja efektif melawan pandemi.
Citra diri seperti ini dibaca Barat sebagai tantangan ideologis. Maka tidak heran jika pada KTT G7 di Cornwall minggu lalu, pemimpin G7 juga menawarkan program bantuan pembangunan infrastruktur bagi negara berkembang, seperti disinggung di awal tulisan ini.
Sepertinya program tersebut. untuk menandingi proyek BRI China yang sudah lebih dulu ditawarkan ke berbagai negara.
KTT G7 di Cornwall, Inggris, menawarkan program bantuan untuk pandemi Covid 19 dan pembangunan infrastruktur.
Dalam perspektif diplomasi dan politik luar negeri, Covid 19 tidak melulu masalah kesehatan. Pun infrastruktur, tidak menyangkut pembangunan fisik semata.
Dalam konteks hubungan antar-negara yang lebih luas, kedua program bantuan itu hanya sebagai instrumen diplomasi dan politik luar negeri.
Covid 19 dan infrastruktur adalah bagian kecil dari narasi besar yang sedang digaungkan dalam rivalitas ideologis dua kekuatan politik dunia: AS (dan Eropa) di satu pihak vis a vis China di pihak lain.
KTT G7 Cornwall usai sudah. Kini tinggal negara-negara di dunia menyaksikan teater politik internasional yang memainkan lakon pandemi Covid 19 dan infrastruktur dalam rivalitas ideologis AS dan China.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.