Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darmansjah Djumala
Diplomat dan Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri

Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri dan Dosen Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.

AS Vs China, dari Pandemi Covid-19 ke Ideologi

Kompas.com - 17/06/2021, 17:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERTEMUAN pemimpin negara-negara kaya yang tergabung dalam G-7 sedianya diadakan di Amerika Serikat (AS) tahun lalu. Pandemi Covid 19 membuat pertemuan itu batal. Baru pada 11-13 Juni lalu, G-7 mengadakan pertemuan di Cornwall, Inggris.

Inilah pertemuan pertama mereka sejak Covid 19 mendera dunia. Maka wajar jika masalah pandemi menjadi salah satu mata agenda. Untuk mengatasi pandemi, G7 mengeluarkan Deklarasi Carbis Bay.

Deklarasi antara lain memuat komitmen negara anggota untuk mencegah pandemi tidak terulang lagi. G7 berupaya mempercepat proses pengembangan, izin produksi dan distribusi vaksin, serta perawatan dan diagnosa penyakit baru hanya dalam waktu 100 hari.

Yang tak kalah menarik, disamping program untuk mengatasi pandemi, G7 juga mencanangkan program pembangunan infrastruktur Building Back Better World.

Rencananya melalui program ini G7 menggelontorkan dana miliaran dollar AS untuk membantu pembangunan infrastruktur di negara berkembang.

Membaca agenda G7

Membicarakan isu dunia dan membuat program pembangunan internasional merupakan agenda rutin bagi G7. Tetapi membahas isu pandemi dan infrastruktur, manakala dunia menyaksikan kebangkitan China dalam panggung politik internasional, hal itu menjadi menarik.

Bagaimana membaca agenda G7 itu dalam perspektif hubungan AS dan China akhir-akhir ini?

Bagi pengamat politik internasional, rivalitas antara AS dan China dalam perebutan pengaruh di arena politik global sudah kasat mata. AS merasa gusar dengan kebangkitan ekonomi China. Kekhawatiran yang bisa dimengerti.

Tetapi mengapa justru isu pandemi dan infrastruktur yang menjadi sorotan?

Memang isu Covid 19 dan infrastruktur ini berkait-kelindan dengan rivalitas AS dan Barat di satu pihak dengan China di pihak lain.

Setidaknya ada tiga fenomena yang bisa menjelaskan bagaimana Covid 19 menjadi katalis sehingga membuat rivalitas AS dan Barat dengan China makin bereskalasi.

Pertama, sejak pandemi merebak pada awal tahun lalu, China dituduh AS sebagai sumber dari virus celaka itu.

China pun balik menuduh: justru virus itu dibawa oleh tentara AS yang mengikuti kompetisi militer di Wuhan.

Dari sinilah bermula ketegangan AS-China terkait isu Covid 19.

Kedua, ketika benua Eropa mulai diharu-biru oleh Covid 19, nampak sekali kegalauan anggota Uni Eropa (UE) dalam menangani dampak pandemi.

Dari tengah searah jarum jam, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Presiden Perancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Perdana Menteri Australia Scott Morrison, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in saat dalam salah satu agenda pertemuan G7 di Cornwall, Inggris, pada 12 Juni 2021.AP PHOTO/Leon Neal Dari tengah searah jarum jam, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Presiden Perancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Perdana Menteri Australia Scott Morrison, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in saat dalam salah satu agenda pertemuan G7 di Cornwall, Inggris, pada 12 Juni 2021.

Alih-alih saling bantu, sesama anggota UE malah menyelamatkan diri masing-masing. Prilaku me first dalam penanganan Covid 19 ini justru membuka ruang manuver diplomasi corona bagi China.

Ketika negara anggota UE kekurangan alat kesehatan (alkes), China memberi bantuan. Selama pandemi, hampir semua anggota UE menerima bantuan alkes dan tenaga medis dari China.

Banyak pihak menilai pandemi dimanfaatkan China sebagai entry point untuk menanamkan pengaruh dan mengubah geo-politik Eropa.

Ketiga, ketika AS dan Eropa baru saja dilanda pandemi dan gamang menanganinya, China justru mendeklarasikan kemenangannya melawan Covid 19.

Mengalami pandemi pada Desember 2019, pertengahan Maret 2020 di sebuah rumah sakit di Wuhan, China sudah menyatakan menang perang melawan Covid 19 yang diliput media Barat secara luas.

Pernyataan menang perang ini seolah hendak menyampaikan pesan: China mau berbagi pengalaman dalam penanganan Covid 19 dengan dunia, termasuk Eropa.

China dicitrakan sebagai role model dalam penanganan pandemi. Narasi besar yang diproyeksikan oleh China di media Barat lebih serius lagi: dengan sistem politik partai tunggal nya yang berbasis sosialisme, China berhasil mengalahkan Covid 19 dengan cara yang padu, kuat, efektif dan efisien.

Narasi ini seolah ingin memperhadapkan sistem politik partai tunggal yang diklaim efektif dan efisien dengan demokrasi liberal Barat yang dinilai lamban, gaduh dan panik dalam pengambilan keputusan.

Ideologi

 

Pada titik inilah, tatkala penanganan pandemi Covid 19 dikait-kaitkan dengan sistem politik, isu pandemi ini sejatinya sudah merambah ke ranah ideologi.

Tampak permukaan, rivalitas AS dan Barat vis a vis China seolah sebatas kompetisi di bidang politik, ekonomi dan militer. Namun sejatinya, lebih serius dari itu. Rivalitas dua kekuatan dunia, AS dan China, adalah persaingan ideologis.

Mengutip dokumen Partai Komunis China yang berjudul Communique on the Current State of the Ideological Sphere, seorang analis isu internasional menyebutkan, ancaman terbesar bagi China saat ini adalah demokrasi, paham neo-liberal, kebangkitan masyarakat sipil dan pengingkaran terhadap sistem sosialis (Andrei Lungu, The US-China Clash is About Ideology After All, Foreign Policy, 6 April, 2021).

China menilai AS dan Barat sebagai ancaman dalam konteks nilai atau values. Sedangkan AS dan Barat mempromosikan nilai-nilai kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia dalam politik luar negerinya. Itulah ideologi Barat.

Tapi bagi China ideologi itu mengancam nilai dan sistem yang diyakininya selama ini: sistem partai tunggal dan sosialisme-komunisme – yang bagi Barat dicap sebagai sistem yang membuahkan otoritarianisme.

Dari sini tampak jelas bahwa, dalam konteks nilai dan idealisme, rivalitas AS-China didorong oleh persaingan ideologis dan sistem pemerintahan: antara demokrasi dan otoritarianisme (Matthew Kroenig, The Power Delusion, Foreign Policy, 11 November 2020).

Persaingan ideologis inilah yang kemudian tercermin dalam Deklarasi Carbis Bay, yang menyerukan penghormatan HAM suku Uighur di Xinjiang dan hak kebebasan dan demokrasi di Hongkong.

Yang menjadi pertanyaan: mengapa AS dan sekutunya G7 begitu gencar menyerang China dengan instrumen ideologis: kebebasan dan demokrasi?

Ilustrasi perang dagang AS-China.SHUTTERSTOCK Ilustrasi perang dagang AS-China.

Setidaknya ada tiga alasan.

Pertama, pada 2017 Presiden China Xi Jinping mendeklarasikan Visi China 2050. China memproyeksikan diri menjadi negara sosialis modern yang sederajat dengan negara maju (baca: AS, Eropa dan G7).

Ambisi yang sangat mungkin. Sebab sejak 2010 China ditahbiskan Bank Dunia sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, setelah AS.

Tentu AS melihat China berpotensi menyalip di tikungan, baik di bidang politik maupun ekonomi dunia. Bisa diduga, China menggunakan kemajuannya di bidang ekonomi, teknologi dan militer sebagai instrumen politik untuk membangun citra role model negara sosialis yang tidak mengharamkan kapitalisme.

China juga ingin menunjukkan citra sebagai negara dengan sistem partai tunggal yang mesin birokrasinya bekerja secara kuat, padu, efektif dan efisien, seperti terbukti dalam penanganan pandemi. Pada titik ini idealisme Barat (kebebasan dan demokrasi) akan berhadapan dengan idealisme China (partai tunggal dan otoritarianisme).

Kedua, kepentingan China di Eropa beririsan dengan agenda politik UE, yang secara ideologis sekutu AS. UE ingin merangkul negara bekas sosialis-komunis Eropa Timur agar sejalan dengan garis ideologi Eropa yang mengusung ekonomi terbuka, kebebasan dan demokrasi.

Tentu itu menjadi ancaman bagi China. Sebab, UE (yang sudah merangkul negara bekas sosialis-komunis) akan semakin rewel terhadap pelanggaran demokrasi dan HAM di China.

Masifnya bantuan ekonomi China kepada negara bekas Eropa Timur dapat dilihat sebagai politik kooptasi China terhadap negara bekas sosialis-komunis, yang dari sejarahnya memang memiliki irisan ideologis (sosialisme-komunisme) di era Perang Dingin.

Ketiga, di bawah Presiden Jinping China lebih agresif menebar pengaruh di berbagai belahan dunia, termasuk dalam geo-politik Eropa – kawasan tradisional aliansi politik-militer AS-UE.

Pada 2013, China mencanangkan program infrastruktur raksasa, Belt Road Initiative (BRI): pembangunan jalur kereta yang menghubungkan Beijing dengan benua Eropa dengan dukungan lembaga pendanaan AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank).

Dari 27 anggota UE, ada 18 negara yang ikut dalam proyek BRI dan menjadi anggota AIIB.

China tebar pengaruh

 

Terlihat jelas upaya China memanfaatkan kekuatan ekonomi sebagai instrumen pengembangan pengaruh di Eropa.

Upaya tebar pengaruh ini sudah dimulai jauh sebelum Covid 19 menerpa Eropa. Covid 19 hanya menjadi pintu masuk bagi China untuk mengukuhkan citra diri: negara sosialis yang merangkul kapitalisme dengan sistem partai tunggal yang bekerja efektif melawan pandemi.

Citra diri seperti ini dibaca Barat sebagai tantangan ideologis. Maka tidak heran jika pada KTT G7 di Cornwall minggu lalu, pemimpin G7 juga menawarkan program bantuan pembangunan infrastruktur bagi negara berkembang, seperti disinggung di awal tulisan ini.

Sepertinya program tersebut. untuk menandingi proyek BRI China yang sudah lebih dulu ditawarkan ke berbagai negara.

KTT G7 di Cornwall, Inggris, menawarkan program bantuan untuk pandemi Covid 19 dan pembangunan infrastruktur.

Dalam perspektif diplomasi dan politik luar negeri, Covid 19 tidak melulu masalah kesehatan. Pun infrastruktur, tidak menyangkut pembangunan fisik semata.

Dalam konteks hubungan antar-negara yang lebih luas, kedua program bantuan itu hanya sebagai instrumen diplomasi dan politik luar negeri.

Covid 19 dan infrastruktur adalah bagian kecil dari narasi besar yang sedang digaungkan dalam rivalitas ideologis dua kekuatan politik dunia: AS (dan Eropa) di satu pihak vis a vis China di pihak lain.

KTT G7 Cornwall usai sudah. Kini tinggal negara-negara di dunia menyaksikan teater politik internasional yang memainkan lakon pandemi Covid 19 dan infrastruktur dalam rivalitas ideologis AS dan China.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Global
143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

Global
Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com