JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia menolak resolusi R2P (Responsibility to Protect) untuk dijadikan agenda tahunan.
Penolakan R2P dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan tersebut dilakukan delegasi Indonesia di Sidang Umum PBB, Selasa (18/5/2021).
Selain Indonesia, ada 14 negara lain yang menolak resolusi tersebut. Sebanyak 115 negara mendukungnya dengan 28 negara memilih untuk abstain.
Baca juga: Indonesia Tolak Resolusi Pencegahan Genosida dalam Sidang Umum PBB
Melansir situs Global Centre for the R2P, rapat pleno Sidang Umum PBB tersebut dibuka pada Senin (17/5/2021).
Resolusi tersebut akhirnya diadopsi dengan 115 negara memberikan mendukung, 28 negara abstain, dan 15 negara menolaknya.
Dengan diadopsinya resolusi tersebut, negara-negara anggota PBB memutuskan untuk memasukkan R2P dalam agenda tahunan Majelis Umum PBB.
Selain itu, resolusi tersebut secara resmi meminta agar Sekretaris Jenderal PBB melaporkan setiap tahun tentang topik tersebut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah menerangkan, pihaknya memaparkan tiga pertimbangan kenapa Indonesia melakukan penolakan.
Baca juga: 3 Pertimbangan Indonesia Tolak R2P dan Pencegahan Genosida di Sidang Umum PBB
Pertama, tidak perlu membentuk mata agenda baru, karena selama ini pembahasan R2P di UNGA (Sidang Majelis Umum/SMU PBB) sudah berjalan dan penyusunan laporan Sekjen selalu dapat dilaksanakan.
Kedua, pembahasan R2P oleh SMU PBB selalu dapat dilaksanakan dan sudah ada mata agendanya yaitu follow up to outcome of millenium summit.
Ketiga, konsep R2P juga sudah jelas tertulis di Resolusi No 60/1 Tahun 2005 (2005 World Summit Outcome Document), paragraf 138-139.
Sementara itu, Executive Secretary ASEAN Study Center Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna, menggarisbawahi bahwa Indonesia hanya menolak R2P dijadikan agenda rutin tahunan, bukan menolak R2P secara keseluruhan.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional UI tersebut mengatakan, jika R2P menjadi agenda rutin tahunan dengan membahas konsep dan pelaksanaannya, akan muncul kekhawatiran baru.
Baca juga: Ketiga Kalinya, AS Blokade Pernyataan PBB Soal Aksi Israel di Jalur Gaza
Kekhawatiran baru tersebut berupa penggunaan R2P yang didasarkan oleh kehendak negara-negara yang kuat saja, namun tidak benar-benar mencapai tujuannya.
“Saya kira kekhawatiran Indonesia wajar bahwa jika (R2P) diadakan sebagai agenda tahunan,” kata Shofwan saat dihubungi Kompas.com via WhatsApp.
"Perdebatan panjang tentang konsep R2P yang tertuang dalam Resolusi PBB No 60/1 Tahun 2005 dibuka lagi tiap tahun dan membuat definisi dan konsepnya bisa ditarik ulur,” imbuh Shofwan.
Dia mengatakan, penolakan resolusi yang menjadikan R2P agenda tahunan bertepatan dengan momen yang tidak tepat.
Sehingga, sambung Shofwan, orang mengaitkan hal itu dengan kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar dan oleh Israel pada Palestina.
Baca juga: Israel-Palestina Hari Ini: Serangan Terparah di Gaza, DK PBB Rapat Darurat
Hal ini membuat orang-orang beranggapan bahwa penolakan resolusi R2P menjadi agenda tahunan sama saja tidak mendukung penerapan R2P untuk kasus-kasus tersebut.
“Namun, hal itu adalah kesalahpahaman. Justru Israel dan AS turut mendukung (esolusi R2P menjadi agenda tahunan), karena jelas R2P tidak akan bisa diterapkan untuk Israel karena pasti akan diveto oleh AS,” tambah Shofwan.
Shofwan menuturkan, secara konsep, R2P adalah konsep yang baik. Namun secara praktik, R2P banyak digunakan oleh negara-negara besar untuk melakukan intervensi, tapi tidak bisa digunakan untuk benar-benar mencegah genosida.
“Tepat atau tidak mungkin nanti biar sejarah yang melihat, tapi posisi Indonesia wajar dan dapat dimengerti,” sambung Shofwan.
Baca juga: AS Kembali Memblokir Draf Pernyataan PBB Terbaru tentang Konflik Israel-Palestina
Dia juga menuturkan bahwa konsep ideal dari R2P kerap kali berhadapan dengan realitas politik internasional.
“Yang kuat bisa menggunakan konsep ideal ini untuk mendorong agendanya sendiri, makanya penerapannya tebang pilih,” kata Shofwan.
Kendati demikian, dia menegaskan bahwa konsep R2P merupakan konsep yang harus ada karena memberi masyarakat internasional sebuah ruang untuk melakukan intervensi guna mencegah kejahatan kemanusiaan.
“Tapi praktik dan konstelasi politik internasional membuat kita harus berhati-hati,” tutur Shofwan.
Baca juga: Bisakah Hak Veto Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB Dihapuskan?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.