Pertama adalah sensor cuaca dan tanah. Sebelum memasang sensor ini, Bayu dan timnya mengumpulkan data yang mencakup kebiasaan petani setempat, jenis pupuk yang digunakan, jumlah dosis yang diberikan, serta waktu pemupukan.
Semua data dimasukan dalam variabel, yang nantinya akan menjadi bahan rekomendasi bagi petani.
Dengan sensor tersebut maka dapat diketahui berapa banyak lagi pupuk yang harus ditambahkan, sehingga petani hanya memberikan pupuk sesuai dengan kekurangannya.
Bayu mengaku, bahwa mereka memberikan rekomendasi tergantung kearifan lokal daerah tersebut.
Di beberapa kasus seperti lahan pertanian bawang merah, penggunaan pupuk bahkan dapat direduksi hingga 50 persen. Saat pupuk langka, teknologi ini bisa sangat menguntungkan para petani.
Sensor ini dapat menangkap data dalam radius 100 hektare untuk lahan hamparan. Namun, untuk lahan bentuk teras atau bukit, maka sensor yang dibutuhkan lebih banyak.
Pemasangan sensor pun harus melalui prosedur pemeriksaan jenis tanah, sehingga tidak bisa dipasang secara sembarangan.
Sensor lainnya adalah sensor debit air di saluran irigasi. "Sensor ini menghitung debit di saluran tersier yang masuk lahan itu berapa, kita cocokan dengan fase pertumbuhannya."
"Misalnya pada padi. Pada fase awal, membutuhkan banyak air, dan saat mendekati musim panen, sebaiknya tidak dialiri air karena akan mempengaruhi kualitas panen," papar Bayu.
Teknologi sensor cuaca dan tanah ini membutuhkan dana sekitar 30 juta rupiah, yang sudah mencakup aplikasi, algoritma, rekomendasi, dan notifikasi.
Dibandingkan dengan sensor lain yang harganya mencapai seratus juta rupiah, namun konsumen biasanya hanya mendapatkan data mentah.
Sensor ini juga diklaim dapat bertahan sekitar dua tahun. Namun, menurut Bayu, penggunaan sensor ini menghadapi tantangan seperti pencurian atau dirusak anak-anak yang bermain di sawah.
Saat ini sudah ada 115 sensor yang dipasang di berbagai lahan di seluruh indonesia. Sensor terjauh dipasang di Manokwari, Papua untuk tanaman padi.
"Kami tidak menjual sensor secara putus, karena itu bukan solusi. Kami merancang ini untuk satu ekosistem atau kluster, makanya kami bekerja sama dengan Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia dan beberapa kementerian karena mereka memiliki kelompok-kelompok petani binaan," ujar doktor di bidang agro klimatologi dan perubahan iklim tersebut.
Komoditas yang menggunakan sensor ini mencakup padi, jagung, bawang merah, kopi dari Sumatra Utara, temu lawak dari Sukabumi, cabai, dan kedelai.
"Sensor ini untuk semua komoditas, dapat diset untuk komoditas apa saja, yang berpengaruh pada hasil rekomendasinya. Survei, sosialisasi dan rekomendasi itu sangat penting," ungkap Bayu lebih lanjut.
Baca juga: Marko Djuliarso, Insinyur Indonesia yang Ikut Bangun Roket NASA
MSMB dibantu olah sekitar 50 hingga 60 pekerja. 10 di antaranya adalah ahli di bidang sensor. Namun untuk mengadakan pelatihan bagi kelompok petani, MSMB bekerja sama dengan kementerian pertanian setempat.
Dalam setiap pelatihan, Bayu selalu mensyaratkan dua hal, yakni petani wajib mengikutsertakan anggota keluarga seperti anak, cucu atau keponakan mereka.
"Petani sekarang kebanyakan berusia di atas 50 tahun. Mereka kebanyakan tidak update dengan teknologi smartphone. Pasti ada anggota keluarga yang mengerti penggunakaan internet yang terhubung dengan smartphone," paparnya menjelaskan mengapa keikutsertaan anak muda menjadi tuntutan.