Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Para Korban Penembakan Maut Aparat Myanmar, dari Penyuka TikTok hingga Tukang Ojek

Kompas.com - 13/04/2021, 18:10 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

Si penggembira yang ingin jadi pengrajin emas

Zin Min Htet akan melakukan apapun untuk membantu teman-temannya.

"Tidak peduli seberapa besar kesulitan keuangan yang dia alami, dia akan membantu teman-temannya dengan uang atau apa pun. Dia memiliki jiwa yang baik. Dia selalu tersenyum," kata temannya Ko Sai kepada BBC.

Beberapa saat sebelum dia ditembak mati pada 8 Maret, pria berusia 24 tahun itu berada di garis depan protes anti-kudeta dengan hanya bersenjatakan perisai. Ia mencoba melindungi pengunjuk rasa lainnya.

Ibunya, Daw Ohn Ma, buru-buru menuju ke rumah sakit ketika dia mendengar anaknya ditembak.

"Saya ingin mendengar kata-kata terakhirnya memanggil saya 'ibu'. Tapi itu tidak terjadi. Ada darah di mana-mana. Saya tidak tahan melihatnya. Dia pucat dan dingin, dia sudah kehilangan banyak darah," katanya pada BBC.

Baca juga: Militer Myanmar Jatuhkan Dakwaan Pidana Baru untuk Suu Kyi

"Apa yang bisa saya katakan? Itu kejam dan bengis.

"Yang saya tahu adalah bahwa saya harus membawa tubuhnya kembali ke rumah secepat saya bisa."

Zin Min Htet - yang telah belajar menjadi pengrajin emas selama tiga tahun - adalah anak bungsu dan putra satu-satunya.

Ibunya ingat bahwa putranya itu telah berjanji padanya bahwa dia akan membelikannya rumah setelah dia menghasilkan cukup uang.

"Dia memiliki sikap yang penggembira dan santai. Dia tidak pernah membuat saya kesal atau sedih. Dia sangat menyukai masakan saya, dia sering menolak makan makanan lain dan sering mengundang teman-temannya untuk makan malam di rumah kami."

Pada hari dia meninggal, Zin Min Htet memberi tahu ibunya bahwa dia akan bekerja. Dia berbohong karena ibunya telah mencoba menghentikannya bergabung dengan protes malam sebelumnya.

Tapi kata ibunya, setidaknya anaknya meninggal saat melakukan apa yang dia inginkan.

"Saya bangga dengan anak saya, dia adalah seorang pahlawan," katanya. "Dia terlalu bersemangat untuk berkontribusi pada negara."

Baca juga: Duta Besar Myanmar untuk PBB Desak Larangan Terbang ke Myanmar, Usai Lebih dari 600 Jiwa Tewas

Pengemudi ojek yang ditembak di depan istri

Pada 28 Februari, Hein Htut Aung dan istrinya Ma Zin Mar sedang dalam perjalanan menuju protes anti-kudeta.

Pasangan itu terbiasa menghadiri protes setelah mereka selesai bekerja. Namun pada hari itu, hanya Ma Zin Mar yang pulang.

Mereka naik bus untuk mengikuti protes. Namun bus tersebut dihentikan dan penumpang harus turun karena tembakan.

"Dia ditembak saat kami menyeberang jalan," katanya kepada BBC.

Tidak jauh dari kami, ada beberapa pengunjuk rasa yang menghalangi jalan dengan tempat sampah dan kawat berduri karena mereka ditembak.

Baca juga: Aparat Myanmar Tembakkan Granat, 80 Demonstran Tewas

"Dia berteriak kesakitan dan saya melihat darah di dadanya. Saya mencoba untuk menahan dan menekan lubang itu."

Dia dilarikan ke rumah sakit, tapi sudah terlambat.

Hein Htut Aung adalah seorang pengemudi ojek, jadi semua orang di lingkungan itu mengenalnya.

"Dia adalah orang yang sangat sederhana. Dia orang yang tenang dan tidak banyak bicara dengan orang lain. Dia hanya bermain gim di ponsel di waktu luangnya. Dia merawat keluarganya dengan apa pun yang dia dapatkan dengan jujur ??dari pekerjaannya."

Orang-orang berduka atas kematian Hein Htut Aung. Dia menjadi salah satu korban tewas kebrutalan aparat Myanmar.COURTESY OF FAMILIES via BBC Indonesia Orang-orang berduka atas kematian Hein Htut Aung. Dia menjadi salah satu korban tewas kebrutalan aparat Myanmar.

Pasangan itu telah menikah lima tahun setelah bertemu secara online dan menjalani "kehidupan yang tenang" di kotapraja South Dagon.

"Kami dulu selalu bersama kemanapun kami pergi. Saya merindukannya."

Sekarang, Ma Zin Mar mengatakan dia akan terus memprotes sampai kudeta berakhir.

"Saya mengagumi keluarga orang-orang yang mengorbankan hidup mereka. Saya ingin mereka tetap kuat. Saya merasakan hal yang sama dengan mereka karena saya juga telah kehilangan suami saya.

Baca juga: Pemuda Myanmar Sebar “Molotov” Lawan Pemutusan Internet Junta

"Tapi kita tidak bisa berhenti. Kita tidak bisa mundur sekarang. Jika kita melakukannya, akan ada lebih banyak kematian."

Seperti yang diceritakan kepada BBC Burma dan Grace Tsoi

Grafis oleh BBC East Asia Visual Journalism dan BBC Burmese

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com