Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hendak Menulis Berita Pemerkosaan, Wartawan Ini Ditangkap dan Dipenjara

Kompas.com - 09/03/2021, 14:25 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber BBC

NEW DELHI, KOMPAS.com - Hukuman yang dijatuhkan pada jurnalis India di Uttar Pradesh memunculkan kekhawatiran atas adanya perlakuan tidak ada pada kelompok minoritas dan kebebasan bersuara di India.

Laporan BBC pada Selasa (8/3/2021) mengungkap kasus Sidhique Kappan, seorang jurnalis berusia 41 tahun untuk portal berita berbahasa Malayalam, Azhimukham.

Hingga kini, pria itu sudah menjalani 150 hari masa pengurangan penjara atas tuduhan “tanpa bukti” yang dijatuhkan padanya.

Diceritakan bahwa Kappan, pada pagi 5 Oktober tahun lalu pergi ke sebuah desa di negara bagian Uttar Pradesh, India Utara. Perjalanan itu dilakukan untuk meliput apa yang kemudian dikenal sebagai "Kasus Hathras".

Beberapa hari sebelumnya, seorang wanita Dalit berusia 19 tahun meninggal. Kematian gadis itu diduga karena diperkosa oleh empat tetangga kasta atasnya di desa Bhulgarhi di Hathras.

Tapi jenazah wanita itu lalu dipaksa dikremasi pada tengah malam oleh polisi, tanpa persetujuan keluarganya. Kisah penyerangan brutal berujung kematian, itu telah menjadi berita utama di seluruh dunia.

Reporter BBC yang juga meliput kasus ini mengatakan sekitar jam 10 pagi, dia sampai di rumah wanita muda itu dan bertemu dengan keluarganya yang sedang berduka. Kerabat dan tetangganya kemudian menceritakan soal remaja cantik yang memiliki senyum lugu dan rambut hitam panjang tersebut.

“Mereka memberitahu saya tentang luka yang diderita di tubuhnya dan sikap tidak berperasaan di mana polisi dan pemerintah memperlakukannya dalam hidup dan mati,” kata wartawan dari media Inggris tersebut.

Menurutnya, Sidhique Kappan juga melakukan perjalanan yang sama dari Delhi tempat dia tinggal selama sembilan tahun belakangan. Tapi perjalanannya ternyata sangat berbeda dengan apa yang dialami reporter BBC.

Baca juga: India Klaim Banyak Warga Myanmar yang Antre di Perbatasan untuk Mengungsi

Tuduhan terorisme

Kappan ditangkap bersama tiga pria lainnya di dalam mobil sekitar 42 km (26 mil) dari Hathras. Minggu lalu, dia sudah menjalani hari ke-150 di penjara.

Menurut informasi yang dia berikan kepada keluarga dan pengacaranya, di penjara polisi malam itu, dia diseret dan dipukul dengan tongkat di paha, sampai mendapat tamparan di mukanya.

Kappan juga dipaksa untuk tetap terjaga dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Polisi berdalih hal itu harus dilakukan untuk kepentingan interogasi.

Selama itu dia mendapat penyiksaan mental yang serius. Sebagai seorang penderita diabetes, dia juga tidak mendapatkan pengobatannya.

Polisi membantah tuduhan itu. Mereka mengatakan penangkapan Kappan dilakukan karena dia pergi ke Hathras, sebagai bagian dari konspirasi untuk menciptakan masalah hukum dan ketertiban yang memicu kerusuhan kasta.

Tiga pria lainnya di dalam mobil tersebut dituduh melakukan pelanggaran serupa. Polisi mengatakan penumpang lain yang bersama Kappan berasal dari Front Populer India (PFI).

PFI disebut aparat India sebagai kelompok garis keras yang berbasis di Kerala. Mereka sering dituduh pihak berwenang memiliki hubungan dengan kelompok ekstremis sehingga pemerintah Uttar Pradesh ingin kelompok itu dilarang.

Polisi mengklaim Kappan hanya berpura-pura menjadi jurnalis dari surat kabar yang sudah tidak beroperasi. Dan pada kenyataannya menurut polisi, dia juga adalah anggota PFI.

Baca juga: Genap 100 Hari Berdemo Tolak UU Pertanian, Petani India Blokade Jalan

Kriminalisasi jurnalis

Klaim tersebut dibantah oleh Kerala Union of Working Journalists, pengacara Kappan, dan PFI.

Serikat wartawan, di mana Kappan bernaung, menuduh polisi Uttar Pradesh membuat "pernyataan yang benar-benar salah dan tidak benar" dan menyebut penahanan pria itu "ilegal".

Serikat pekerja bersikeras Kappan "hanya seorang jurnalis." Dia tengah berusaha mengunjungi Hathras untuk melaksanakan tugas jurnalistiknya.

Serikat pekerja telah mengajukan petisi ke Mahkamah Agung untuk meminta pembebasannya. Perusahaannya, Azhimukham, juga mengeluarkan pernyataan yang menyatakan dia ada dalam daftar gaji perusahaan itu, dan benar telah pergi ke Hathras untuk penugasan.

Pengacara Wills Mathews, yang mewakili Kappan dan serikat jurnalis, mengatakan kepada BBC awalnya kliennya dituduh melakukan pelanggaran ringan yang dapat ditebus.

Tetapi dua hari kemudian, polisi menuduh Kappan melakukan penghasutan. Undang-Undang (UU) Pencegahan Kegiatan Melanggar Hukum (UAPA), yang ditakuti juga dijatuhkan padanya. UU anti-terorisme itu membuat jaminan terhadapnya hampir tidak mungkin dilakukan.

Mathews mengatakan kliennya 100 persen netral dan merupakan jurnalis independen. "Berbagi taksi dengan beberapa orang tidak membuatnya bersalah," tegasnya.

"Seorang jurnalis harus bertemu orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk mereka yang dituduh melakukan kejahatan. Hanya karena berada di dekat tertuduh lain tidak bisa menjadi alasan untuk penangkapan," tambahnya.

Selama berminggu-minggu setelah penangkapannya, menurut dokumen pengadilan, Kappan tidak diizinkan berhubungan dengan dunia luar.

Dia diizinkan untuk melakukan panggilan telepon pertama ke keluarganya pada 2 November, 29 hari setelah penangkapannya. Berbicara dengan istrinya delapan hari setelah itu. Mathews diizinkan untuk bertemu dengannya hanya setelah 47 hari, setelah dia mengajukan petisi ke Mahkamah Agung.

Raihanath, istri Kappan, mengatakan melalui telepon dari rumahnya di desanya di distrik Malappuram Kerala bahwa sampai panggilan teleponnya pada tanggal 2 November, dia "bahkan tidak yakin suaminya masih hidup".

Kemudian bulan lalu, Mahkamah Agung memberinya jaminan sementara lima hari untuk mengunjungi ibunya yang berusia 90 tahun. Sang ibu terbaring di tempat tidur dan sakit-sakitan.

Selama empat hari pria itu berada di sana, enam polisi dari Uttar Pradesh dan dua lusin penjaga lain dari negara bagian itu, berjaga di luar.

Itu adalah kunjungan yang melelahkan, kata Raihanath.

"Dia tegang dan khawatir kesehatan ibunya yang buruk, dia mengkhawatirkan keuangan kami dan masa depan ketiga anak kami," katanya.

Baca juga: Bujuk Terdakwa Pemerkosa Nikahi Korban, Ketua Mahkamah Agung India Diminta Mundur

Diskriminasi agama

Wanita itu menegaskan suaminya tidak melakukan kesalahan dan mengatakan dia telah menjadi sasaran karena dia seorang Muslim.

Menurut Raihanath, polisi berulang kali bertanya kepada suaminya apakah dia makan daging (banyak umat Hindu memuja sapi, dan dalam beberapa tahun terakhir Muslim menjadi sasaran karena makan daging atau mengangkut sapi).

Dia berkata bahwa mereka menanyainya tentang berapa kali dia bertemu dengan Dr Zakir Naik, seorang pengkhotbah Islam kontroversial India, yang dituduh melakukan ujaran kebencian dan pencucian uang dan tinggal di pengasingan di Malaysia (Naik menyangkal tuduhan tersebut).

Abhilash MR, seorang pengacara Senior Mahkamah Agung, mengatakan "Jika seseorang mengatakan penangkapan Sidhique Kappan adalah Islamofobia, saya akan mendukung pendapat itu".

Menurut Abhilash, yang telah mengikuti kasus ini dengan cermat, kasus ini termasuk "kriminalisasi politik" dan "kasus penganiayaan politik".

"Hak-hak fundamental Mr Kappan sedang diinjak-injak", protesnya.

Para kritikus menuduh pemerintah saat ini di Uttar Pradesh, yang dipimpin oleh biksu Hindu kontroversial berjubah, Yogi Adityanath, menargetkan muslim secara tidak adil.

Yogi Adityanath telah digambarkan sebagai politisi paling memecah belah dan kejam di India. Dia dituduh menggunakan demonstrasi pemilihannya untuk mengobarkan histeria anti-Islam di negara Asia Selatan itu.

Pemerintah dan kepolisiannya mengacuhkan kecaman global atas cara mereka menyelesaikan kasus pemerkosaan dan kematian perempuan muda di Hathras. Terutama setelah pihak berwenang mengkremasi tubuh gadis itu di tengah malam, dan menjauhkan keluarga dan media dari tumpukan kayu pemakamannya.

Baca juga: China dan India Berebut Pengaruh Politik Lewat Diplomasi Vaksin Covid-19

Pemerkosaan Hathras

Beberapa hari setelah kematian wanita muda Dalit, protes diadakan di seluruh India. Di Uttar Pradesh, petugas dikritik keras karena memukuli pengunjuk rasa dengan tongkat dalam upaya menghentikan mereka mengunjungi keluarga korban.

Para pemimpin oposisi yang bergabung dengan protes juga didorong.

Pada 4 Oktober, sehari sebelum Kappan dan reporter BBC pergi secara terpisah ke Hathras, Adityanath mengklaim bahwa ada "konspirasi internasional" untuk menodai citra India.

Dia mengklaim "insiden itu dieksploitasi oleh mereka yang marah pada kemajuan pemerintahannya."

Kondisi ini membuat khawatir para aktivis kebebasan pers, yang mengatakan mereka khawatir India semakin tidak aman bagi jurnalis.

Tahun lalu, negara itu menduduki peringkat 142 pada Indeks Kebebasan Pers Dunia dari 180 negara. Peringkatnya dalam laporan yang disusun setiap tahun oleh Reporters Without Borders tersebut, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.

Pada Februari, polisi mengajukan tuntutan pidana terhadap delapan jurnalis yang meliput protes petani di Delhi.

Jurnalis wanita dan orang-orang dari komunitas Muslim secara khusus dipilih karena diejek di media sosial.

Polisi tidak dapat memberikan satu pun bukti yang memberatkan Kappan, kata Abhilash, pengacara Mahkamah Agung.

Namun menurutnya, aparat dan pemerintah India sudah berhasil dalam satu hal, yaitu mengirim peringatan kepada wartawan untuk tidak pergi ke Hathras.

Penangkapan Kappan "berbeda dengan penangkapan orang biasa", kata pengacaranya, Matthews.

“Membungkam media adalah akhir dari demokrasi,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Senator AS Apresiasi Sikap Biden Tak Jadi Kirim Bom Seberat 907 Kg untuk Israel

Senator AS Apresiasi Sikap Biden Tak Jadi Kirim Bom Seberat 907 Kg untuk Israel

Global
Untuk Pertama Kalinya, Pejabat Militer Pentagon Mundur karena Perang Gaza

Untuk Pertama Kalinya, Pejabat Militer Pentagon Mundur karena Perang Gaza

Global
Jutaan Migran Tak Bisa Memilih dalam Pemilu Terbesar di Dunia

Jutaan Migran Tak Bisa Memilih dalam Pemilu Terbesar di Dunia

Internasional
Pesawat Tempur Israel Mengebom Kamp Pengungsi Nuseirat, 14 Tewas Termasuk Anak-anak

Pesawat Tempur Israel Mengebom Kamp Pengungsi Nuseirat, 14 Tewas Termasuk Anak-anak

Global
AS Tak Percaya Terjadi Genosida di Gaza

AS Tak Percaya Terjadi Genosida di Gaza

Global
AS Hancurkan Sebagian Jembatan Baltimore yang Ambruk untuk Bebaskan Kapal Terjebak

AS Hancurkan Sebagian Jembatan Baltimore yang Ambruk untuk Bebaskan Kapal Terjebak

Global
Pedemo Israel Cegat Truk Bantuan ke Gaza, Banting Makanan sampai Berserakan

Pedemo Israel Cegat Truk Bantuan ke Gaza, Banting Makanan sampai Berserakan

Global
[POPULER GLOBAL] Lampu Lalin Unta | Thailand SIta 1 Ton Meth Kristal

[POPULER GLOBAL] Lampu Lalin Unta | Thailand SIta 1 Ton Meth Kristal

Global
Rangkuman Hari Ke-810 Serangan Rusia ke Ukraina: Gempuran 30 Kota | Apartemen Roboh

Rangkuman Hari Ke-810 Serangan Rusia ke Ukraina: Gempuran 30 Kota | Apartemen Roboh

Global
Ukraina Serang Fasilitas Energi Rusia Dekat Perbatasan

Ukraina Serang Fasilitas Energi Rusia Dekat Perbatasan

Global
Kampanye Keselamatan Lalu Lintas, Perancis Gaungkan Slogan 'Berkendaralah Seperti Perempuan'

Kampanye Keselamatan Lalu Lintas, Perancis Gaungkan Slogan "Berkendaralah Seperti Perempuan"

Global
Rusia Gempur 30 Kota dan Desa di Ukraina, 5.762 Orang Mengungsi

Rusia Gempur 30 Kota dan Desa di Ukraina, 5.762 Orang Mengungsi

Global
Demonstrasi Pro-Palestina di Kampus-Kampus AS Bergulir ke Acara Wisuda

Demonstrasi Pro-Palestina di Kampus-Kampus AS Bergulir ke Acara Wisuda

Global
Afghanistan Kembali Dilanda Banjir Bandang, Korban Tewas 300 Lebih

Afghanistan Kembali Dilanda Banjir Bandang, Korban Tewas 300 Lebih

Global
Nasib Migran dan Pengungsi Afrika Sub-Sahara yang Terjebak di Tunisia

Nasib Migran dan Pengungsi Afrika Sub-Sahara yang Terjebak di Tunisia

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com