Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU Baru Pernikahan Persulit Perceraian, Pasangan di China Panik Buru-buru Ajukan Gugatan

Kompas.com - 16/02/2021, 15:37 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

 

BEIJING, KOMPAS.com - Pasangan di China bergegas mengajukan gugatan cerai sebelum pemerintah memberlakukan undang-undang (UU) baru bisa membuat proses perceraian menjadi jauh lebih sulit dan lebih lama.

Undang-undang baru itu disahkan pada Mei tahun lalu, tetapi akan mulai berlaku tahun ini. Beleid baru mengharuskan pasangan mengambil bagian dalam periode "tenang" selama 30 hari sebelum mengajukan gugatan cerai.

Jika salah satu pihak dari pasangan memutuskan untuk membatalkan perceraian selama periode tersebut, pihak yang dirugikan harus mengajukan cerai lagi dan kembali memasuki periode “tenang” 30 hari tambahan.

Cheng Xiao, wakil presiden dan profesor Fakultas Hukum Universitas Tsinghua, mengatakan undang-undang itu dimaksudkan untuk mengekang perceraian "impulsif".

"Mereka mungkin bertengkar tentang urusan keluarga dan mereka bercerai karena marah. Setelah itu, mereka mungkin akan menyesalinya. Kita perlu mencegah perceraian impulsif semacam ini," katanya kepada surat kabar Chengdu, The Guardian melaporkan.

Baca juga: Baru Menikah, Pasutri Langsung Cerai Setelah Malam Pertama

Langkah ini dipandang oleh sebagian orang sebagai cara bagi China, untuk mencegah pasangan yang frustrasi agar tidak berpisah. “Negeri Tirai Bambu” menempatkan "keharmonisan keluarga" di pusat budayanya.

Business Insider melaporkan, pemimpin China berharap karantina akan menyebabkan ledakan bayi. Tetapi menurut para ahli, populasi negara itu justru mengarah ke periode "pertumbuhan negatif".

Pasca karantina, banyak pasangan China tetap ingin melarikan diri satu sama lain dengan bercerai. South China Morning Post (SCMP)bahkan mewartakan, calo online justru “panen” selama pandemi dengan menjual slot janji temu dengan pengacara perceraian.

Tingkat perceraian terus meningkat di China selama lima belas tahun terakhir ini, sejak aturan tentang pembubaran perkawinan agak longgar.

Menurut Bloomberg, pada 2003 setidaknya ada 1,3 juta pasangan bercerai. Tetapi pada 2018, jumlahnya meningkat menjadi 4,5 juta.

Undang-undang “waktu tunggu” ini dikatakan membuat pengecualian dalam kasus KDRT, menurut SCMP. Tetapi pengacara yang berbicara kepada outlet tersebut mengatakan bahwa pada kenyataannya, hal itu akan semakin memperumit masalah bagi korban KDRT.

Baca juga: Suami Positif HIV, Wanita Ini Aborsi Bayinya dan Ajukan Cerai

Masalahnya, pria dapat memutuskan apakah mereka ingin menceraikan atau mencabut lamaran mereka. Jika seorang wanita ingin dan pria tidak, wanita kemudian harus mengajukan tuntutan, menyewa pengacara dengan biaya pribadi dan finansial yang besar.

“Banyak wanita, terutama ibu rumah tangga penuh waktu, tidak dalam posisi untuk melakukan ini (tuntutan hukum)," Zhong Wen, seorang pengacara perceraian yang berbasis di provinsi Sichuan, mengatakan kepada outlet tersebut.

China, tambahnya, tidak memiliki jaringan yang kuat untuk perlindungan dan sumber kekerasan dalam rumah tangga. Artinya jika seorang wanita berhasil melarikan diri dari pasangannya yang kasar, dia mungkin tidak punya tempat tujuan.

Lusinan negara bagian AS juga memerlukan waktu tunggu. Sebagian besar negara bagian membutuhkan antara 30 dan 60 hari sebelum mengajukan perceraian.

Ohio, New York, Wyoming, Virginia, Illinois, Hawaii, New Jersey, Minnesota, Alaska, dan Maine tidak memerlukan waktu tunggu sama sekali. Sedangkan Maryland membutuhkan satu tahun penuh.

Baca juga: Cerai, Miliarder Rusia Berutang Rp 8 Triliun ke Mantan Istri

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

Global
PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

Global
Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Global
13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

Global
Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Global
Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Global
Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Internasional
Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Global
Siapa 'Si Lalat' Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Siapa "Si Lalat" Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Internasional
Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Global
2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

Global
AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

Global
Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Global
Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Global
China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com