KOMPAS.com - Sebuah serikat pekerja di Australia mengusulkan adanya perubahan aturan agar "pencurian upah" tidak dialami lagi pekerja pemetik buah asing.
Pasalnya, pemetik buah asing diketahui dibayar 3 dollar Australia per jam, atau sekitar Rp 30.000 per jam.
Dengan demikian, mereka hanya mendapat upah sekitar 60 dollar Australia, atau sekitar Rp 600.000 per hari.
Pada Selasa (15/12/2020), Serikat pekerja Australia Workers Union (AWU) membawa usulan ke Fair Work Commision (FWC) untuk memastikan upah pekerja pertanian dan perkebunan di Australia adalah sekitar Rp 240.000 per jam.
Dalam aturan yang ada sekarang, pemilik ladang pertanian misalnya tidak harus membayar upah minimum per jam dan menggunakan metode pembayaran lain.
Baca juga: Tambang Seng dan Timbal Rusak Situs Suci, Suku Aborigin Minta Ganti Rugi Pemerintah Australia
Mereka membayar dengan sistem per buah yang dipetik, sehingga total gaji berdasarkan berapa banyak buah atau sayur yang mereka petik dalam sehari, bukan berdasarkan berapa lama mereka bekerja.
Sebuah laporan yang dibuat ABC awal Desember lalu mengungkapkan beberapa pekerja muda yang bekerja memetik blueberi di Coffs Harbour, Negara Bagian New South Wales, Australia, ada yang mendapat bayaran sekitar 3 dollar Australia atau sekitar Rp 30.000 per jam.
Ini didasarkan penelitian yang dilakukan oleh McKell Institute atas permintaan serikat pekerja TWU, yang menemukan beberapa kontraktor di ladang pertanian berhasil meyakinkan para pekerja Working Holiday Visa (WHV) untuk menerima upah rendah sebagai bagian dari syarat perpanjangan visa mereka.
Sebagai bagian dari syarat untuk bisa mendapatkan visa WHV tahun kedua dan ketiga, pemilik visa WHV harus bekerja di kawasan regional selama 88 hari.
Ketentuan ini, menurut AWU, sering dijadikan para kontraktor dan pemilik lahan untuk menekan pemegang visa WHV.
Baca juga: Pemetik Buah di Australia Minta Kenaikan Gaji, Pemilik Kebun Tak Sepakat
Industri holtikultur, seperti buah-buahan, menarik sekitar tiga ribu pekerja asing setiap tahunnya.
Kawasan Coffs Harbour yang memproduksi sekitar 65 persen blueberi di Australia bisa menarik sekitar 2.000-an pekerja WHV.
Peneliti dari McKell Institute Edward Cavanough menemukan beberapa pekerja asing ini ada yang dibayar hanya Rp 50.000 per jam.
"Bila mereka dibayar sesuai aturan, maka upahnya adalah Rp 240.000 per jam. Jarang sekali ada pekerja yang mendapat sebanyak itu," kata Edward.
"Beberapa cerita yang kami dengar sangat menyedihkan. Banyak pemegang WHV ini mengalami hal buruk dengan para subkontraktor. Kami menyaksikan insiden para pekerja diperlakukan buruk, mereka harus mengejar upah dari majikan. Ini adalah beberapa contoh kasus ekploitasi terburuk pekerja di Australia," sambung Edward.
Para pekerja yang diwawancarai untuk laporan tersebut menceritakan adanya tarif per buah yang berubah setiap hari dan majikan yang mengubah tarif tersebut sesuai dengan kehendak mereka sendiri dengan alasan mengikuti harga pasar.
Baca juga: Konflik Dagang dengan China Memanas, Australia Mengadu ke WTO
ABC berbicara dengan tiga pekerja asing yang bekerja di ladang blueberi, yang mengatakan mereka mendapat perlakuan buruk dengan upah yang sangat rendah.
"Saya betul-betul terkejut. Saya tidak pernah membayangkan hal ini bisa terjadi di Australia. Saya membayangkan negeri ini sebagai negara yang adil dengan kondisi kerja dan upah," kata Lautiro Wickmann, seorang pekerja asal Argentina.
"Tidak ada yang mengeluh, karena kami butuh pekerjaan. Mereka tahu bahwa kami perlu bukti bekerja," imbuh Wickmann.
Isabel pemegang WHV dari Ekuador tidak bisa mendapatkan pekerjaan di Sydney selama pandemi dan kemudian bekerja memetik blueberi namun bayaran per kotak atau per buah tidak cukup utuk membiayai dirinya sendiri.
"Ketika saya mulai, mereka mengatakan akan dibayar per kotak. Sekitar Rp 60.000 sampai Rp 80.000. Pada pekan pertama, bayarannya rendah sekali dan saya hanya dibayar Rp 1,2 juta sepekan," kata Isabel.
Baca juga: Mahasiswa Indonesia Rayakan Kebebasan Setelah Selesai Karantina di Australia
"Masalahnya saya tidak punya waktu lagi untuk menyelesaikan persyaratan 88 hari tersebut, jadi saya dipaksa menerima kondisi yang ada," imbuh Isabel.
Isabel mengatakan kepada ABC bahwa jika perilaku beberapa kontraktor demikian buruknya sehingga terasa seperti perbudakan modern.
Para kontraktor adalah mereka yang menjadi perantara yang mempertemukan pemegang visa dengan pemilik lahan pertanian di Australia.
Sekretaris nasional Serikat Pekerja AWU, Daniel Walton, mengatakan kepada ABC bahwa upah rendah akibat kuatnya pengaruh para kontraktor harus dihentikan dan perubahan aturan adalah salah satu caranya untuk mengatasinya.
"Industri ini sudah menjadi pusat eksploitasi di seluruh negeri. Banyak orang yang tahu bahwa industri buah dan sayuran adalah tempat dimana eksploitasi paling banyak terjadi," kata Walton.
Baca juga: Selandia Baru Buka Travel Bubble dengan Australia Awal 2021
"Kami ingin industri ini memberikan tawaran pekerjaan yang layak. Namun, kalau kita tidak membersihkan dan melakukan penerapan hukum di industri ini, maka cerita mengenai mereka yang dibayar Rp 30.000 per jam akan terus terjadi," sambungnya.
Menteri Hubungan Perindustrian Australia, Christian Porter, sudah mengusulkan hukuman dan denda yang lebih berat bagi mereka yang tidak membayar upah sesuai ketentuan.
Sementara Menteri Pertanian Australia, David Littleproud, sebelumnya mengatakan bahwa tuduhan pembayaran upah yang rendah merupakan hal yang memalukan dan bila memang benar terjadi, berpotensi merusak citra sektor pertanian.
Federasi Petani Australia (NFF) yang mewakili para pemilik lahan pertanian membela kebijakan pembayaran upah per buah, namun mengatakan masih akan menunggu keputusan Fair Work Commision.
Baca juga: Sejumlah Muslim Australia Menganggap Pendidikan Seks Sangat Penting
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.