Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ceritakan Realitas Kondisi Wuhan sejak Dilanda Pandemi Covid-19, Wanita Ini Dikritik Tidak Nasionalis

Kompas.com - 02/12/2020, 15:04 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Editor

BEIJING, KOMPAS.com - Fang Fang, seorang warga China, saat ini menjadi sasaran kemarahan warganet China yang tidak terima ia menulis catatan harian online tentang pandemi Covid-19 yang terjadi di Wuhan sejak pertama kali muncul.

Melansir BBC Indonesia pada Rabu (2/12/2020), Fang Fang tegas menyatakan bahwa dirinya tidak sudi dibungkam.

"Ketika menghadapi bencana, penting untuk menyuarakan opini Anda dan memberikan nasihat Anda," kata Fang Fang kepada BBC China dalam wawancara melalui email, sesuatu yang jarang dia lakoni bersama media internasional.

Pada akhir Januari, ketika Wuhan menjadi tempat pertama di dunia yang memberlakukan karantina wilayah alias lockdown, banyak dari 11 juta penduduk kota itu mendapatkan pelipur lara ketika membaca buku harian online karya Fang Fang.

Buku harian itu juga memberikan sekelumit gambaran mengenai kondisi kota saat virus corona mewabah pertama kali.

Setiap hari, perempuan berusia 65 tahun itu mengunggah tulisannya ke Weibo, aplikasi mirip Twitter di China.

Berbagai tulisannya mengisahkan kesehariannya bersama anjing peliharaannya selama lockdown, serta apa yang digambarkan dirinya sebagai sisi kelam aksi pemerintah.

Awalnya, tulisan-tulisan tersebut diterima dengan baik. Namun, belakangan memicu gelombang kritik dari kalangan yang menilai Fang Fang tidak nasionalis.

Sebagai bagian dari BBC 100 Women tahun ini, Fang Fang menceritakan kepada BBC bahwa dia tidak menyesal bersuara meski menuai kecaman.

Baca juga: China Temukan 1.000 Artefak di Makam Kuno, Ungkap Informasi Jalur Sutra

"Narasi hidup"

Fang Fang mengaku tulisan buku hariannya merupakan bagian dari proses yang membantu dirinya "menyalurkan pikiranya" dan berkontemplasi atas apa yang terjadi selama lockdown.

Dia memberikan gambaran, seperti apa rasanya diisolasi dari dunia luar, perasaan sakit dan kesedihan kolektif saat menyaksikan hilangnya nyawa, dan kemarahan pada para pejabat lokal yang dia nilai tidak becus menangani krisis.

Buku harian daring Fang Fang awalnya mendapat pujian di dalam negeri.

Media pemerintah China News Service menyebut beragam unggahan Fang Fang menginspirasi "dengan narasi hidup, emosi sungguhan, dan gaya blak-blakan".

Namun, penulis wanita ini mengatakan baghwa reaksi tersebut berubah drastis ketika dunia internasional menyorotinya.

Gelombang kritik meninggi ketika tersiar kabar bahwa buku hariannya akan diterjemahkan ke bahasa Inggris diterbitkan perusahaan penerbit HarperCollins di Amerika Serikat.

"Karena 60 unggahan buku harian yang saya tulis selama pandemi...Saya dipandang sebagai musuh oleh aparat," katanya.

Media-media China, menurutnya, diperintahkan untuk tidak menerbitkan artikelnya. Lalu, bukunya, termasuk karya baru dan cetak ulang, ditahan oleh para perusahaan penerbit China.

"Bagi seorang penulis, itu tindakan yang sangat, sangat keji," katanya kepada BBC.

"Mungkin karena saya mengutarakan simpati lebih banyak kepada orang awam ketimbang menyanjung pemerintah. Saya tidak menyanjung atau memuji pemerintah, karena itu saya bersalah," ucapnya.

Baca juga: [VIDEO] Wahana Antariksa China Berhasil Mendarat di Bulan, Mulai Kumpulkan Sampel 2 Hari ke Depan

Badai cacian

Fang Fang, yang bernama asli Wang Fang, mengatakan tindakan pada dirinya tidak sebatas ketidaksetujuan pemerintah.

Dia mengaku menerima puluhan ribu pesan berisi cacian, termasuk ancaman pembunuhan.

Pada media sosial dia dicap pengkhianat, dituduh berkonspirasi dengan Barat untuk menyerang pemerintah China.

Bahkan ada yang mengira dia dibayar badan intelijen Amerika Serikat, CIA, untuk menulis buku harian.

Fang Fang kaget dan bingung dengan kekejian serangan terhadapnya.

"Sangat sulit bagi saya untuk memahami kebencian mereka pada saya. Catatan saya obyektif dan ringan," katanya.

Serangan itu mengingatkannya pada Revolusi Budaya 1966-1976, periode ketika gerombolan kejam berkuasa yang berujung pada pembersihan kaum intelektual dan "musuh kelas", termasuk orang-orang yang berhubungan dengan negara-negara Barat.

"Kata-kata yang secara khusus dipakai dalam Revolusi Budaya, seperti 'perjuangan kelas' dan 'kediktatoran proletariat' bangkit lagi," ujarnya.

"Itu artinya reformasi-reformasi China sedang menuju kegagalan dan kemunduran," imbuhnya.

Baca juga: China Menolak Meminta Maaf kepada Australia Terkait Foto Tentara Palsu

Perlunya lockdown

Setelah menyaksikan penyebaran virus corona ke hampir setiap penjuru dunia, Fang Fang menyatakan keputusan China memberlakukan lockdown selama 76 hari di Wuhan adalah keputusan tepat, sikap yang tecermin dalam unggahan buku hariannya saat itu.

"Lockdown itu adalah harga mahal yang harus kami bayar untuk hidup bebas di Wuhan tanpa virus," paparnya.

Wuhan melaporkan tidak ada kasus lokal sejak April.

"Jika langkah ketat tidak diterapkan, situasi di Wuhan akan tambah tak terkendali. Jadi, saya mengutarakan dukungan bagi setiap langkah pengendalian penyakit," ujarnya.

Fang Fang mengatakan negara-negara lain bisa belajar dari beragam aspek pendekatan China.

"Selama wabah melanda, semua acara kumpul-kumpul dilarang, semua orang wajib memakai masker, dan kode QR kesehatan diperlukan untuk memasuki kompleks perumahan," terangnya.

"Saya pikir semua langkah ini sangat baik yang membantu China mengendalikan virus," imbuhnya.

Baca juga: Data Covid-19 China Bocor, Ternyata Sembunyikan Separuh Kasus dan Kematian

Pembelajaran

Namun, kesuksesan China memutus penyebaran virus corona di dalam negeri, menurutnya, tidak dibarengi dengan investigasi penanganan awal oleh para pejabat.

"Belum ada penyelidikan menyeluruh yang menelisik alasan mengapa perlu waktu begitu lama untuk menangani wabah," kata Fang Fang.

Dia mempertanyakan mengapa komisi Kesehatan Nasional awalnya mengatakan virus itu "bisa dicegah dan bisa dikendalikan".

Fang Fang mengatakan dunia, tidak hanya China, perlu belajar dari pandemi ini.

"Ini adalah kelalaian dan arogansi manusia yang membiarkan virus menyebar begitu luas dan lama," ucapnya.

Professor Michael Berry, selaku penerjemah buku harian Fang Fang ke bahasa Inggris, meyakini "keteguhan hatinya berakar pada pemahaman bahwa dia melakukan hal yang benar".

"Dia bukan pembangkang, dia tidak menyerukan penggulingan pemerintah, dia adalah seseorang yang mendokumentasikan apa yang dia lihat, rasakan, dan alami selama lockdown di Wuhan," jelas Berry.

Saat Fang Fang menulis dan mendokumentasikan, Berry menilai perempuan itu menjelajahi pertanyaan-pertanyaan lebih besar "tidak hanya mengenai penanganan pandemi, tapi juga masyarakat macam apa yang ingin diciptakan warga China untuk diri mereka."

Di Wuhan, Fang Fang terpukul ketika anjing peliharaannya yang berumur 16 tahun dan pendamping setianya selama lockdown, mati pada April lalu. Namun, dia tetap tabah.

Dia masih menulis dengan harapan karyanya kembali diterbitkan di China. Dia mengaku tidak punya penyesalan.

"Saya tentu tidak akan berkompromi, dan tidak perlu untuk bungkam," pungkasnya tegas.

Baca juga: China dan Korea Selatan Berseteru Lagi, Kali Ini soal Kimchi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com