Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Joe Biden Menang Pilpres AS, Akankah Para Pemimpin Teluk Arab Hadapi Kenyataan Baru?

Kompas.com - 13/11/2020, 20:11 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - "Anda harus memaafkan saya jika perhatian saya tampak sedikit teralihkan," kata Duta Besar Arab Saudi untuk Inggris saat pandangannya beralih ke ponselnya.

"Saya sedang mengawasi hasil yang datang dari Wisconsin," sambungnya lagi.

Hal itu ia ucapkan delapan hari yang lalu, ketika masyarakat dunia belum tahu siapa yang akan memasuki Gedung Putih pada Januari mendatang.

Ketika Joe Biden dinyatakan sebagai pemenang Pilpres AS 2020, pemerintah Arab Saudi di Riyadh membutuhkan waktu lebih lama untuk merespons dibandingkan saat Donald Trump terpilih pada pemilihan sebelumnya.

Ini tidak mengherankan. Pasalnya mereka baru saja kehilangan seorang teman.

Kemenangan Biden sekarang bisa berdampak luas bagi Arab Saudi dan negara-negara Teluk Arab lainnya.

Kemitraan strategis AS dengan kawasan itu dimulai pada 1945 dan kemungkinan bertahan, tetapi perubahan akan datang dan tidak semua perubahan tersebut diterima di wilayah itu.

Baca juga: Trump Akan Deklarasi Maju Pilpres 2024 Usai Sertifikasi Kemenangan Biden

Kehilangan sekutu utama

Presiden Trump merupakan sekutu besar dan pendukung keluarga Saud yang berkuasa di Arab Saudi.

Dia memilih Riyadh sebagai tujuan kunjungan luar negeri pertamanya saat menjabat sebagai presiden pada 2017.

Menantu laki-laki Trump, Jared Kushner, menjalin hubungan kerja yang erat dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS).

Ketika setiap badan intelijen Barat mencurigai sang putra mahkota berada di balik pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018, Trump menolak untuk langsung menyalahkannya.

Tidak mengherankan tim Mohammed bin Salman memberi tahu orang-orang pada saat itu: "Jangan khawatir, ini bisa diatasi."

Baca juga: Hubungan Diplomatik AS dengan Israel di Bawah Biden Diperkirakan Tidak Semulus pada Era Trump

Trump juga menolak seruan keras di Kongres untuk mengekang penjualan senjata ke Saudi.

Singkat kata, Arab Saudi, serta pada skala yang lebih kecil seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, akan kehilangan sekutu utama mereka di Gedung Putih.

Banyak hal tidak akan berubah tetapi berikut ini adalah beberapa hal yang kemungkinan besar akan berubah.

Perang Yaman

Mantan Presiden AS Barack Obama, yang Biden dampingi sebagai wakil presiden selama delapan tahun, ketika itu semakin tidak nyaman dengan sepak terjang Arab Saudi dalam peperangan melawan pemberontak Houthi di Yaman.

Saat Obama meninggalkan jabatannya, perang udara itu telah berlangsung selama hampir dua tahun dengan sedikit keberhasilan militer yang menimbulkan dampak kerusakan besar pada warga sipil dan infrastruktur negara.

Obama sadar ketidakpopuleran perang itu di kalangan Capitol Hill dan ia pun mengurangi bantuan militer dan intelijen AS untuk Arab Saudi.

Pemerintahan Trump memutarbalikkan langkah itu dan praktis memberikan keleluasaan kepada Arab Saudi di Yaman.

Sekarang tampaknya situasi itu akan berubah lagi, karena Biden baru-baru ini mengatakan kepada Dewan Hubungan Luar Negeri bahwa dia akan mengakhiri dukungan AS untuk perang yang dipimpin Arab Saudi di Yaman dan memerintahkan penilaian ulang hubungan AS dengan Arab Saudi.

Tekanan yang akan datang dari pemerintahan Biden terhadap Saudi dan Yaman untuk menyelesaikan konflik ini kemungkinan bakal meningkat.

Baca juga: Akhirnya, China Ucapkan Selamat Kepada Presiden AS Terpilih Joe Biden

Saudi dan UEA beberapa waktu lalu menyadari bahwa perang ini tidak akan pernah berakhir dengan kemenangan militer.

Mereka sendiri telah mencari jalan keluar yang dapat menyelamatkan wajah mereka sekaligus tidak meninggalkan pihak Houthi pada posisi yang sama ketika perang itu dimulai Maret 2015.

Iran

Warisan besar Presiden Obama di Timur Tengah adalah kesepakatan nuklir Iran yang diperoleh secara susah payah - yang disebut Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).

Kesepakatan tersebut mencabut rangkaian sanksi terhadap Iran, sedangkan Iran bakal mematuhi batasan aktivitas nuklir dan inspeksi fasilitas nuklirnya.

Trump lantas menyebut kesepakatan itu sebagai kesepakatan terburuk yang pernah ada dan menarik AS keluar dari perjanjian itu.

Sekarang, Biden tampaknya akan membawa AS kembali ke perjanjian itu.

Ini membuat geram Arab Saudi. Pada musim gugur lalu, tak lama setelah serangan rudal misterius di pabrik petrokimia Arab Saudi, reporter BBC menghadiri konferensi pers di Riyadh yang digelar Menteri Luar Negeri Adel al-Jubeir, yang mengecam kesepakatan nuklir Iran.

Baca juga: Enggan Ucapkan Selamat ke Joe Biden, Presiden Bolsonaro: Apakah Pemilu AS sudah Selesai?

Kesepakatan itu adalah bencana, katanya, karena tidak memperhitungkan (padahal tidak pernah dimaksudkan untuk itu) program rudal strategis Iran yang ekspansif maupun penyebaran milisi proksi di Timur Tengah.

Seluruh kesepakatan tersebut, dia menyiratkan, adalah bagian dari warisan cacat dari pemerintahan Obama yang tidak memahami bahaya yang ditimbulkan oleh Iran.

Arab Saudi dan beberapa sekutu Teluk mereka diam-diam bertepuk tangan ketika pada Januari, AS melakukan serangan pesawat tak berawak di Irak yang membunuh Jenderal Qasem Soleimani, komandan pasukan operasi luar negeri Garda Revolusi Iran, Pasukan Quds.

Sekarang mereka khawatir apakah tim Gedung Putih yang baru akan tergoda untuk melakukan tawar-menawar dengan Teheran yang melemahkan kepentingan mereka sendiri.

Baca juga: Cucu Joe Biden Rayakan Kemenangan Sang Kakek di TikTok

Qatar

Qatar menampung pangkalan Pentagon terbesar dan paling strategis di Timur Tengah yaitu Pangkalan Udara Al-Udeid.

Dari sana, AS mengarahkan semua operasi udaranya di wilayah Komando Pusat, dari Suriah hingga Afghanistan.

Namun, Qatar masih menghadapi boikot dari kuartet negara Arab yakni Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir - yang semuanya sangat marah atas dukungan Qatar terhadap gerakan politik Islamis seperti Ikhwanul Muslimin.

Boikot itu dimulai tak lama setelah kunjungan Trump ke Riyadh pada 2017 yang banyak dipuji. Pada saat itu, kuartet itu berpandangan bahwa mereka mendapat dukungan Trump.

Faktanya, Trump pada awalnya mendukung Qatar secara terbuka. Namun, sokongan itu hanya berlangsung singkat sampai dia mendapat penjelasan bahwa Qatar adalah sekutu AS dan bahwa Al-Udaid merupakan pangkalan penting bagi departemen pertahanan AS.

Pemerintahan presiden terpilih Joe Biden kemungkinan akan mendorong pemulihan hubungan negara-negara Teluk ini. Selama ini hal tersebut bukan menjadi kepentingan AS, dan tentunya bukan untuk kepentingan negara-negara Teluk Arab sendiri.

Baca juga: Akses Informasi Intelijen yang Penting untuk Biden Ditunda oleh Trump

Hak asasi manusia

Beberapa negara Teluk memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk.

Tetapi Trump tidak pernah menunjukkan ketertarikan untuk menghukum sekutu-sekutu Arabnya atas masalah ini.

Dia berargumen bahwa kepentingan strategis AS dan kesepakatan bisnis mengesampingkan kekhawatiran tentang aktivis hak perempuan yang dipenjara; dugaan pelecehan tenaga kerja asing di Qatar; atau fakta bahwa pada Oktober 2018 petugas keamanan pemerintah Arab Saudi terbang dengan pesawat resmi ke Istanbul untuk membungkam Khashoggi dan membuang jenazahnya yang tidak pernah ditemukan hingga hari ini.

Presiden terpilih Biden dan pemerintahannya tidak mungkin begitu pemaaf soal hal tersebut.

Baca juga: Presiden AS Terpilih Joe Biden Dikabarkan Berbicara dengan Paus Fransiskus, Apa Isinya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Global
143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

Global
Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com