"Saya kira ke depan mereka (AS) akan memainkan peran strategis, isu normalisasi akan jadi isu pertama," lanjut Yoyo.
Namun beda halnya dengan kebijakan minyak, yang menurut Yoyo sudah dikurangi prioritasnya karena AS sudah menemukan alternatif lain dari energi terbarukan.
Dikutip dari New York Times. Presiden Chevron Technology Ventures Barbara Burger berkata, “Kami membutuhkan terobosan teknologi, dan tugas saya adalah menemukannya.”
Baca juga: Pilpres AS 2020, Ini Daftar Negara Bagian Unggulan Trump dan Joe Biden
Burger menambahkan bahwa transisi energi adalah sebuah proses yang bertahap, berkembang, terus menerus selama beberapa dekade.
Sementara itu Exxon juga melirik energi terbarukan dan telah menghabiskan sekitar 1 miliar dollar AS (Rp 14 triliun) dalam setahun, untuk penelitian dan pengembangan teknologi energi baru serta peningkatan efisiensi yang mengurangi emisi.
Exxon baru-baru ini mengumumkan kemajuan besar para ilmuwannya di Universitas California, Berkeley, dan Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley.
Mereka mengembangkan bahan yang membantu menangkap karbon dioksida dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) gas alam, dengan pemanasan dan pendinginan yang lebih sedikit daripada metode sebelumnya.
Baca juga: China Bakal Untung kalau Trump Menang Pilpres AS Lagi, Ini Sebabnya...
Hampir 2 dekade lamanya Afghanistan diinvasi AS. Lalu apakah situasi itu membawa perubahan budaya ke negara pimpinan Ashraf Ghani tersebut?
"Saya masih percaya dengan tesisnya Hisham Sharabi, bahwa masyarakat Arab itu sedang bertransformasi dari bentuk patriarki lama ke dalam bentuk patriarki baru (neo patriarki)," ucap Yoyo.
Patriarki baru yang dimaksud adalah demokrasi di kelompok tertentu. Contohnya di Mesir dan Irak yang belum menemukan format terbaik dari negara mereka.
Akan tetapi Yoyo menerangkan, perubahan budaya ini tidak terlalu banyak dipengaruhi AS karena sejak 1967 orang-orang Arab sudah fokus dengan isu-isu internal.
"Jadi pengaruh luar itu tidak terlalu besar dalam artian dari sisi dimensi transformasi kebudayan". Ada juga faktor "Ketidaksiapan para pemimpin Arab baru untuk melakukan transformasi yang sesungguhnya."
Yoyo menerangkan, yang betul-betul berhasil mengubah sistem politik maupun sistem kebudayaan pasca-Arab Spring adalah Tunisia, karena ada dialog dengan kelompok-kelompok lain kemudian menemukan solusi yang tepat berupa konstitusi 2014.
Baca juga: Mengenal Electoral College, Kunci Kemenangan di Pilpres AS
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.